1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

“Turunkan Ekspektasi Jika Mau Menikah Saat Pandemi”

Prihardani Ganda Tuah Purba
12 Mei 2020

Seperti apa rasanya menikah di tengah pandemi corona? Bagi Lucky dan Adinda, menikah di tengah pandemi berarti bersyukur dengan kesederhanaan, bahwa esensi menikah adalah niat baik untuk beribadah dan berkeluarga.

https://p.dw.com/p/3c7Rh
Pernikahan di tengah wabah corona di Indonesia (privat)
Foto: privat

Langkah-langkah pembatasan guna mencegah penyebaran wabah COVID-19 di Indonesia telah mengubah banyak hal. Imbauan untuk tetap tinggal di dalam rumah selama masa pandemi membuat banyak kegiatan penting, seperti belajar, bekerja, bahkan beribadah terpaksa dilangsungkan dari dalam rumah.

Namun, bukan hanya itu saja. Acara pernikahan yang biasanya diramaikan dengan kehadiran keluarga dan kerabat dalam sebuah pesta resepsi bahagia, kini terpaksa harus ditiadakan.

Di DKI Jakarta, peraturan gubernur terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) menyebutkan bahwa pernikahan boleh dilakukan asal "meniadakan acara resepsi pernikahan yang mengundang keramaian”.

Lantas, seperti apa rasanya menikah di masa pandemi seperti sekarang? Lucky dan Adinda, pasangan suami istri yang baru saja melangsungkan pemberkatan nikah pada tanggal 2 Mei lalu, berbagi suka dukanya kepada DW.

Protokol kesehatan benar-benar dijalankan

Lucky (32) dan Adinda (31) melangsungkan pemberkatan nikah di Gereja Kapel St. Theresia Lisieux Jakarta Barat pada 2 Mei lalu. Sejak awal keduanya sudah memutuskan untuk menikah tanpa resepsi, sehingga menikah di tengah pemberlakuan PSBB bagi mereka tidak jadi masalah. "Rasanya senang-senang saja, dari dulu kita ingin menikah intimate,” kata Adinda saat diwawancara DW melalui sambungan skype, Rabu (06/05).

Keduanya sadar bahwa di tengah pandemi corona saat ini, protokol kesehatan dalam pemberkatan nikah harus benar-benar dijalankan. Masker, sarung tangan, dan hand sanitizer jadi beberapa logistik utama yang harus disediakan di gereja. 

Aturan PSBB yang ketat juga membuat prosesi pemberkatan nikah di gereja hanya boleh dihadiri oleh keluarga inti. Adinda menceritakan bahwa prosesi pemberkatan nikah yang mereka jalani hanya dihadiri oleh sekitar 10 orang, itu pun sudah termasuk dokumentasi dan Romo yang memimpin jalannya pemberkatan nikah.

"Sedih banget sih kayak di gereja, choir aja tidak boleh, orangnya terbatas banget jadi satu orang bisa ngerjain tiga deskjob masing-masing,” kata Lucky saat diwawancara DW. "Tapi untungnya kita tetap merasa hikmat juga ya, tetap dapat intinya,” timpal Adinda.

Pernikahan dihadiri sedikit orang
Adinda dan Lucky di gereja. Proses pemberkatan nikah hanya dihadiri sekitar 10 orang. Foto: privat

Bukan keputusan mudah

Memutuskan menikah di tengah pemberlakuan aturan PSBB seperti sekarang bagi mereka bukanlah keputusan yang mudah. Ada berbagai kekhawatiran yang muncul terutama dari keluarga Adinda yang berdomisili di luar Jakarta, yang bahkan sampai detik-detik terakhir menjelang pernikahan meminta pernikahan untuk diundur saja.

"Keluarga aku yang terus-terusan sampai detik-detik terakhir pun nanya kayak mundurin aja deh, Jakarta ini apalagi PSBB kan, mulai tiba-tiba di akhir Mei itu dibilang akan ditutup, mundurin aja deh ini ribet dan kayaknya Jakarta zona merah untuk masuknya juga takutnya seram,” kata Dinda mengisahkan kekhawatiran dari keluarganya.

"Akhirnya lumayan kita keras kepala sih tarik-tarikan bilang, pak ini prosesnya cuma 30 menit di gereja, let's just do this, mohon maaf aku keras kepala, kayak gitu,” tambahnya.

Tapi tidak hanya pertimbangan dari keluarga saja, keduanya pun mengaku sempat berpikir untuk menunda pernikahan. Namun, karena urusan pranikah di gereja Katolik yang mereka jalani tidak semudah yang dibayangkan, dan untuk memutuskan menunda pernikahan dan mengulang prosesnya dari awal dirasa sangat sulit, akhirnya mereka memutuskan melanjutkan rencana pernikahan meski digelar seadanya.

"Ada time limit seperti khusus pernikahan itu 6 bulan, terus juga setelah itu ada proses pemeriksaan sungguh-sungguh kita berdua mau menikah, namanya proses kanonik, itu juga expired-nya dalam rentang waktu yang sama. Jadi kalau harus mundur, kita harus mikir mengulang prosesnya dari awal. Itu kayaknya sulit,” pungkas Adinda.

Sempat dipertimbangkan untuk mengundur pernikahan.
Adinda dan Lucky bersama keluarga. Sempat ada kekhawatiran dari keluarga yang meminta pernikahan untuk diundur.Foto: privat

"Turunkan ekspektasi”

Meski memutuskan menikah tanpa resepsi, bukan berarti keduanya tidak ingin hari bahagia mereka dihadiri oleh kerabat dan sahabat-sahabat terdekat. Pilihan untuk membuat siaran langsung secara online sempat mengemuka. Namun pilihan itu urung dilakukan karena dikhawatirkan bisa menimbulkan salah prasangka dari warga yang menganggap keduanya menggelar pesta besar di kala pandemi. Bagi keduanya, kerinduan akan kehadiran sahabat-sahabat terdekat terjawab lewat teman-teman mereka yang sejak awal direkrut untuk membantu jalannya pernikahan.

"Jadi kita hire semuanya teman-teman lokal, koneksi-koneksi kita sekalian bantuin. Jadi meskipun segitu intimate-nya, kami tetap merasakan sedikit kehadiran teman-teman, lumayan mengobati,” jelas Adinda.

Menurut Adinda, pasangan yang saat ini diterpa dilema terkait pernikahan akan dihadapkan pada dua pilihan. "Kalau mau lanjut turunin ekspektasi, kalau mau perpanjang juga berbesar hati,” ujarnya.

Baginya dan suami, menikah di kala pandemi berarti bersyukur dengan kesederhanaan, bahwa esensi dari menikah adalah niat baik untuk berkeluarga.

"Berbahagia dengan kembali ke intinya saja, bahwa pernikahan itu adalah untuk beribadah, untuk bahagia,” tutupnya. (gtp/hp)