1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengapa ISIS Menarik bagi Perempuan Jepang?

14 September 2017

Menurut laporan, lima perempuan Jepang termasuk yang ditahan setelah jatuhnya markas besar "Islamic State" dekat Mosul. Mengapa mereka pergi dari negaranya yang aman dan damai untuk pergi ke kawasan perang?

https://p.dw.com/p/2jyh4
Japan Tokyo Modenschau für Muslime
Pagelaran busana Muslim di Tokyo, Jepang (November 2016)Foto: Reuters/T. Hanai

Berita bahwa beberapa perempuan Jepang ditahan di Irak, setelah mengadakan perjalanan ke sana untuk menikahi salah seorng anggota organisasi teror yang menyebut diri Islamic State (ISIS) mengejutkan banyak orang di Jepang. Namun demikian, tidak banyak simpati diutarakan bagi penderitaan kelima perempuan itu.

Laporan media dari Irak mengungkap lebih dari 1.330 perempuan asing, juga anak-anak saat ini ditahan di sebuah camp pengungsi di bagian utara Irak. Warga negara asing tersebut, yang menurut Associated Press adalah keluarga para pejuang IS, menyerahkan diri kepada pasukan Kurdi akhir Agustus 2017 setelah markas ISIS Tal Afar dekat Mosul jatuh ke tangan pasukan Kurdi. Warga asing diperkirakan berasal dari 14 negara, dan menurut majalah Jepang Shukan Bunshun, lima orang adalah warga negara Jepang.

Pemerintah Jepang tidak memberikan informasi apapun, misalnya tentang nama atau umur lima orang itu. Tapi ada spekulasi, setidaknya seorang dari perempuan yang ditahan mengadakan perjalanan ke Irak untuk menikahi seorang pejuang ISIS. Dari lima orang itu kemungkinan juga ada anak-anak.

Laporan mengejutkan Jepang, karena selama ini, satu-satunya laporan bahwa ada warga Jepang yang berusaha bergabung dengan IS adalah seorang mahasiswa dari universitas Hokkaido yang ditahan setelah mengatakan akan ikut revolusi.

Orang Jepang juga bisa terpengaruh ISIS

Di Eropa, laporan tentang perempuan yang pergi untuk menjadi istri pejuang ISIS selalu dapat perhatian besar. Ceritanya selalu berawal dengan perempuan muda yang mudah terpengaruh, yang dirayu lewat media sosial, dan diyakinkan untuk pergi dari negaranya yang damai dan stabil untuk tinggal di kawasan perang.

Makoto Watanabe, profesor bidang komunikasi dan media di Universitas Hokkaido Bunkyo, mengatakan kepada DW bahwa kemungkinan besar cara serupa juga digunakan untuk menarik perempuan Jepang.

Ia menambahkan, "Kaum muda Jepang semakin terpisah dari masyarakat. Itu adalah dampak internet dan media sosial." Menurut Watanabe, mereka kerap kesepian dan berusaha mencari identitas diri. Mereka juga kerap punya banyak pertanyaan, dan "Pertanyaan mereka bisa mencakup agama atau Tuhan. Dan jawaban yang mereka dapat di internet bisa jadi sangat menarik."

Selain itu, kebudayaan Timur Tengah, kesenian, sejarah, dapur dan agamanya pernah jadi trend di kalangan kaum muda, terutama perempuan. Banyak dari mereka cukup tertarik sehingga ikut acara di majid di distrik Shibuya, Tokyo.

Seorang juru bicara The Japan Muslim Association mengatakan, ia tidak sadar ada laporan tentang perempuan Jepang yang pergi ke Irak untuk bergabung dengan IS, dan menolak memberikan komentar tentang kemungkinan penyebabnya.

Kemiripan dengan Kult Aum

Watanabe percaya, mungkin ada kemiripan antara orang yang bergabung den IS, dan yang bergabung dengan Aum Shinrikyo, kult Jepang yang meramalkan kiamat, merencanakan penggulingan pemerintah dan mendirikan negaranya sendiri. Tujuan mereka bubar setelah beberapa anggotanya melepas gas sarin di jaringan kereta bawah tanah Tokyo tahun 1995, dan menyebabkan tewasnya 12 orang dan mencederai 4.000.

"Mereka yang bergabung dengan sekte Aum berusaha menemukan tempat dan makna bagi diri mereka, dan tertarik pada organisasi yang punya kredo kuat," demikian Watanabe.

Apapun motivasinya, perempuan yang telah menikahi pejuang ISIS tidak bisa mengharapkan sambutan hangat jika kembali ke Jepang, walaupun pemerintah kemungkinan tidak akan mengambil tindakan apapun terhadap mereka.

Penulis: Julian Ryall (ml/hp)