1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Mengajarkan Desain Fesyen kepada Remaja dari Berbagai Negara

Marjory Linardy
17 Februari 2023

Jika bekerja di negeri orang, bukan berarti hanya belajar sesuaikan diri dengan kebudayaan negara yang didatangi. Karena profesinya di Swiss, Joel Yonathan juga dituntut menyesuaikan diri dengan orang dari banyak negara.

https://p.dw.com/p/4Newx
Joel Yonathan | Modedesigner und Lehrer
Foto: Privat

Joel Yonathan lahir di Jakarta. "Di Sunter," kata Joel, "besarnya, ya di sekitar-sekitar sana juga." Dia bercerita, dia dari dulu memang senang jalan-jalan, tapi bukan sekedar melihat daerah baru. "Lebih ke explore [eksplorasi] budaya." Jadi dulu, sebelum bekerja di Swiss, dia sudah pernah berkunjung ke sana sebagai wisatawan.

Setelah berkunjung ke berbagai negara, dia menarik kesimpulan: "Kayaknya yang paling cocok itu, kalo ga Jepang, Swiss, gitu lo." Kemudian dia mulai berusaha melamar pekerjaan di kedua negara, dan jawaban yang positif didapat dari Swiss. Sekarang dia sudah bermukim dan bekerja di Swiss selama tiga tahun.

Dia dulu berkuliah di sekolah fesyen dan desain ESMOD di Jakarta. Sekolah fesyen itu berasal dari Prancis, dan membuka cabang di Jakarta. Ketika ditanya apakah mudah mencari pekerjaan di Swiss hanya dengan sertifikat S1 dari Indonesia, Joel menjelaskan bahwa sejak tahun 2012/2013, dia punya perusahaan yang bergerak di bidang desain fesyen di Jakarta. Sehingga ketika melamar pekerjaan di Swiss dia tidak hanya membawa sertifikat pendidikan, melainkan juga pengalaman sekitar sepuluh tahun di bidang itu.

Dia bercerita, walaupun sekarang bekerja di Swiss, perusahaannya di Indonesia tetap berjalan. "Saya kan punya dua adik. Jadi mereka yang mengurus administrasi dan day-to-day activity-nya [aktivitas sehari-harinya].  Bagi Joel tidak masalah bahwa dia sekarang bekerja dalam waktu tertentu dan jadwal tertentu, yang tentu berbeda dengan dulu, ketika bekerja bagi perusahaannya.

Joel menjelaskan, prinsip hidupnya adalah, selama masih muda dia ingin belajar dan mengeksplorasi apa saja yang ia mau. "Jujur, dengan pekerjaan ini, saya tuh belajarnya luar biasa banyak. Jadi ga cuman tentang uang atau apapun, tapi kesempatan-kesempatan yang saya dapetin itu banyaknya luar biasa. Jadi selama masih muda, it's OK [tidak apa-apa]."

Lebih jauh dia menjelaskan, murid-muridnya berasal dari manca negara. Jadi dia mendapat banyak input dari kebudayaan yang berbeda-beda. "Pelajaran yang paling berharga adalah, kemampuan untuk beradaptasi dengan sangat cepat," papar Joel. Memang dia mengakui juga, semakin lama orang berkecimpung di dunia yang sangat multinasional, kemampuan beradaptasi tentu akan semakin baik.

Ketika ditanya, mengapa dia tertarik pada dunia fesyen, dia harus berpikir terlebih dahulu, dan akhirnya mengatakan, tidak tahu. Yang jelas, dia memang sejak dulu suka art atau kesenian secara umum, dan dalam berbagai bentuk. Spesial untuk fashion design, entah mengapa sejak dulu dia gemar melihat-lihat majalah fashion, juga mix and match atau mencocok-cocokkan motif dan warna.

Mengajarkan pengembangan konsep

Uniknya, ketika masih di Indonesia, di samping menjalankan perusahaannya dengan sokongan sebuah tim, dia juga mengajar dan mengambil edukasi untuk mengajar. Itulah yang juga membuat dia cocok dengan pekerjaannya di Swiss sekarang.

Pekerjaannya yang utama adalah mempersiapkan anak-anak yang berusia setaraf SMA untuk berkuliah, misalnya di bidang arsitektur atau desain interior dan sebagainya. Tetapi fokus pengajaran dari Joel memang desain fesyen, agar mereka bisa masuk ke sekolah tinggi desain di mana pun di dunia.

Joel Yonathan | Modedesigner und Lehrer
Joel Yonathan ketika berwisata di SwissFoto: Privat

Joel menjelaskan lebih lanjut, "Sekolah-sekolah fesyen terkenal seperti di New York, Paris, Milan dan London, yang istilahnya Harvard-nya fesyen, ingin mahasiswa yang sudah punya keahlian sebelum mereka masuk kuliah." Jadi Joel bertugas mempersiapkan mereka untuk bisa membuat Portfolio, yaitu kumpulan dokumen, hasil karya dan pencapaian, untuk diserahkan saat mendaftar di sekolah tinggi.

"Mereka harus udah bisa jait, bisa nggambar. Dan yang paling penting sebetulnya bukan menjahit dan menggambar, melainkan mengembangkan konsep," begitu dipaparkan Joel. Itulah yang dinilai oleh sekolah desain ternama di seluruh dunia. Jadi tidak masalah pakaian jenis apa yang ingin dibuat, yang penting bagaimana sebuah konsep dikembangkan sampai hasilnya terwujud.

Dia mengambil contoh, misalnya seorang murid ingin membuat koleksi beachwear, atau pakaian untuk di tepi pantai, dan dia mengambil inspirasinya dari keramik. Langkah pertama untuk merealisasikan itu adalah dengan melakukan riset tentang keramik. "Bentuk-bentuk keramik, detail-detail keramik. Nanti itu bisa diperluas menjadi detail-detail di baju, dan gimana caranya dikembangkan menjadi sebuah koleksi."

Setelah konsepnya dikembangkan, Joel juga mengajarkan bagaimana menjahitnya, dan cara merealisasikan konsep. Untuk itu tentu dia juga harus bisa menjahit, dan kemampuan itu dia peroleh ketika kuliah di Jakarta. Joel bercerita, sekolah desain fesyen ESMOD memang memberikan pelajaran kepada mahasiswa mulai dari nol, sampai bisa mengadakan fashion show atau peragaan busana sendiri.

Di sekolah tempat Joel bekerja sekarang, dia bertugas membuat semacam kurikulum bagi para murid. Dia menjabarkan lebih lanjut, para pengajar biasanya sudah tahu ke sekolah fashion mana seorang murid ingin melanjutkan pendidikan. "Katakanlah requirements [tuntutan] dari universitas itu adalah membuat koleksi a-b-c. Tapi si anak kan dalam realitanya ga punya kemampuan itu," kata Joel, jadi di sekolah tempat dia mengajar, dalam dua tahun anak-anak mendapat jadwal dan kurikulum dari pelajaran-pelajaran yang harus dia ikuti untuk memenuhi tuntutan di universitas nanti.

Joel bercerita, selama ini, dia sudah berkali-kali berurusan secara profesional dengan anak-anak yang sesungguhnya kurang memiliki kreativitas di bidang desain. "Kami sebagai pengajar, kan tetap mengajarkan. Tapi pada akhirnya, kalau si anak itu kurang kreatif, dia akhirnya akan nyadar sendiri istilahnya, gitu lo." Jadi ada anak-anak yang akhirnya beralih dari fashion design ke fashion business, atau bisnis fesyen. Atau mereka mungkin mengganti bidangnya seratus persen. "Ga bisa kita yang cut [memotong], karena biar gimanapun ini pekerjaan kita, gitu lo," kata Joel. Jadi lebih baik kalau muridnya yang sadar sendiri. Sebagai pembimbing, dia tentu tetap akan membimbing.

Menyesuaikan diri dengan berbagai kebudayaan

Dalam hal pekerjaan seperti ini, Joel juga merasakan adanya perbedaan antar budaya. Bisa dibilang itulah tantangan terbesarnya di dalam pekerjaan pula. Terutama jika berkaitan dengan privacy, atau masalah pribadi. Dia bercerita, ada hal-hal yang bagi orang Indonesia tidak termasuk masalah pribadi, dan boleh diketahui oleh orang lain, tetapi bagi murid-muridnya yang orang Jerman kemungkinan itu tidak layak dibeberkan sehingga orang lain bisa tahu.

Dalam hidup sehari-hari dia tidak terlalu mengalami tantangan, kecuali dalam satu hal yang ia temui ketika mulai bermukim di Swiss, dan masih dia rasakan sekarang juga. Yaitu dalam hal sosialisasi bersama masyarakat Swiss. Joel bercerita, ketika baru mulai bermukim di sana, orang-orang negara di pegunungan Alpen itu bagi dia terasa sangat tertutup, berbeda sekali dengan orang Indonesia.

"Apalagi saya tuh orangnya sosial banget," kata Joel, "pas di Jakarta juga punya banyak banget temen segala macem. Terus pas sampe di sini, apalagi pas pandemi, jadi kaya ga ada temen gitu, kan." Itu ditambah lagi dengan masalah bahasa, yang di Swiss bukan sekedar bahasa Jerman seperti di Jerman, melainkan bahasa Jerman dengan dialek Swiss.

Joel Yonathan | Modedesigner und Lehrer
Joel YonathanFoto: Privat

Dia bercerita juga, Tahun Baru Cina atau Imlek di Swiss tidak dirayakan. Di sekolah tempat dia bekerja, memang ada murid-murid yang berasal dari Cina, dan mereka berkumpul serta merayakan. Tetapi hanya di kalangan mereka saja.

Untungnya Joel tidak terlalu merindukan perayaan Imlek bersama keluarga. "Perasaan kehilangan sih ada aja, tapi mau digimanain juga, jadi ya udah lah," katanya sambil tersenyum. Dia menambahkan, "Mungkin karena keluarga saya bukan yang terlalu sampai gimana, gitu, ya sama Imlek." Joel mengaku malah lebih kangen keluarganya di masa Natal. "Karena dulu kan kalau Natal sama-sama ke gereja."

Tapi dari pengalaman hidupnya selama ini di Swiss, dan mengingat latar belakangnya di Jakarta, Joel sangat menyadari pentingnya komunitas. Di Swiss, setelah masa penyesuaian yang tidak mudah di awal, dia menemukan sokongan dari komunitas gereja. Dia bercerita, kalau tidak ada komunitas gereja, dia agak bingung untuk mencari tempat di mana bisa mendapat teman. Sedangkan komunitas gerejanya membuat dia merasa welcome, atau diterima kedatangannya di Swiss.

Sebelum datang ke Swiss memang dia sudah mendengar berbagai cerita, bahwa berteman dengan orang Swiss perlu waktu. "It takes time for them to open up [mereka butuh waktu untuk membuka diri]," kata Joel, apalagi dia tingal bukan di kota besar seperti Zürich. Awalnya, dia juga mencoba ikut berbagai pertemuan sosial lewat internet, tetapi dampaknya kurang ia rasakan. Untungnya di gerejanya sekarang, meskipun sebagian besar orang Swiss, mereka lebih terbuka untuk bergaul dan menerima orang yang belum mereka kenal.

"Bagi saya ini berharga sekali. Karena ini bukan soal agama saja, tapi juga sebagai komunitas. Jadi di kota yang bukan kota besar ini, kompak dan doing life together [maksudnya: saling membantu dalam hidup sehari-hari]," demikian dijelaskan Joel. Alhasil dia sekarang punya banyak teman di Swiss, dan itu salah satu yang sangat penting, kata Joel. "Karena menurut saya, kalau di dalam hidup kita tidak punya orang-orang yang penting, hidup itu tidak ada artinya, karena kita musti sharing [berbagi] dengan orang lain."

Dia bercerita, ketika baru beberapa kali datang ke gereja, dia tidak mengerti apa-apa, karena ibadah juga berjalan dalam bahasa Swiss German, atau bahasa Jerman dengan dialek Swiss. Salah seorang yang datang ke ibadah saat itu kemudian mengatakan ke rekannya, "Orang Asia itu [maksudnya Joel] paling cuma bertahan tiga minggu." Tapi ternyata setelah lebih dari setahun, Joel tetap hadir dan mereka sekarang jadi teman dekat yang kompak. Sekarang Joel juga sudah mengerti 70% dari apa yang mereka bicarakan dalam bahasa Jerman berdialek Swiss.

Bagi orang Indonesia yang ingin bekerja di Eropa atau di Swiss, Joel menyarankan untuk jangan pernah berhenti belajar. "Apalagi di jaman sekarang, kan ada berbagai short course [kursus singkat] baik online atau in person [langsung]. Itu bisa berguna untuk personal development [pengembangan diri]." Karena menurut Joel, jika melihat orang Barat, cara berpikir mereka sangat kritis.

Bagi dia, orang Swiss sangat pemikir. Kadang bagi orang Indonesia mungkin terlalu mendetail. Karena misalnya ada masalah, mereka mengutarakan bukan hanya detailnya, melainkan juga akar masalahnya dan penanganannya. Walaupun tentu tidak semua orang, tapi sebagian besarnya begitu. Tapi karena orang Barat lebih individual, mereka juga bersedia menerima pendapat orang orang lain. Joel  menambahkan, "Di Swiss saya juga merasa lebih nyaman karena lebih bisa mengutarakan apa yang saya pikir." (ml/hp)