1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PerdaganganIndonesia

Menanti Transparansi Tata Kelola Sawit di Indonesia

Betty Herlina
25 Februari 2022

Industri sawit berkembang pesat di Indonesia dalam 30 tahun belakangan. Namun, perkembangan ini tidak dibarengi transparansi otoritas dan masih lemahnya tata kelola.

https://p.dw.com/p/47Xo9
Ilustrasi perkebunan sawit
Ilustrasi perkebunan sawitFoto: Willy Kurniawan/REUTERS

Sebagai negara produsen minyak sawit mentah terbesar, Indonesia saat ini tengah menikmati tren naiknya harga minyak sawit di pasar dunia. Data dari Indonesia Palm Oil Association (IPOA), menunjukkan bahwa di tahun 2020 total ekspor minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO) Indonesia mencapai 35 juta ton.

Kemenko Perekonomian juga mencatat industri minyak sawit memberikan kontribusi 3,5% terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) Indonesia. Jumlah tersebut melampaui jumlah pendapatan dari sektor migas. Pemerintah mengklaim bahwa di tahun 2020 saja, industri sawit baik di hulu maupun hilir menciptakan kurang lebih 16,2 juta lapangan kerja.

Sayangnya, pesatnya perkembangan industri sawit di Indonesia tidak dibarengi dengan transparansi otoritas dan masih lemahnya tata kelola. Selain itu, ada tekanan dari pasar Eropa yang ingin memastikan setiap rantai pasok sawit Indonesia harus ramah lingkungan.

Tata kelola dinilai masih lemah

Andika Putraditama, Deputi Direktur Program Agrikultur Hutan dan Tata Guna Lahan, World Resources Institute (WRI), mengatakan ekspansi sawit selama 3 dekade belakangan ini memang menjadikan Indonesia sebagai negara penghasil minyak sawit mentah terbesar di dunia. Namun akibat tata kelola industri sawit yang lemah, lingkungan pun menjadi korban.

Ia mengutip temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI bahwa sebanyak 81% perkebunan sawit di Indonesia tidak memenuhi aturan yang berlaku. Contohnya mulai dari persoalan tidak adanya izin, hak guna usaha (HGU) yang tidak sesuai, serta pelaporan keuangan yang lebih kecil, ujar Andika.

"Akibatnya, pungutan pajaknya masih jauh (lebih kecil) dari potensi sebenarnya. Belum lagi biaya-biaya konflik sosial bisa mencapai 2,5 juta dolar per tahun, ini berdasarkan riset sampel dari 5 perkebunan yang ada di Indonesia. Semua ini tidak akan terjadi jika kita bisa mengelola sawit dengan baik. Sawit jelas penting untuk ekonomi Indonesia, untuk itu harus dikelola dengan baik," ujar Andhika dalam webinar Indonesia's Future in Palm Oil Economy, Kamis (24/02). 

Tekanan dari pasar Eropa

Uni Eropa sebagai tiga besar pasar tujuan ekspor sawit Indonesia, setelah Cina dan India, mewajibkan Indonesia sebagai negara pemasok bersih dari segala tudingan deforestasi. Dalam perspektif Uni Eropa, klaim sawit Indonesia bebas dari deforestasi masih perlu bukti lebih lanjut.

"Harus ada data yang bisa ditunjukan dan diverifikasi pihak ke-3 ini implentasinya bagaimana. Tidak hanya Eropa, namun Tiongkok saat ini juga sedang bersiap-siap untuk melakukan hal serupa dengan Eropa, jadi alangkah lebih baiknya jika kita bersiap-siap, daripada berargumen namun transparansinya tidak ada," kata Andika.

Hal serupa disampaikan Kepala Departemen Ekonomi, Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar Hirawan. Menurutnya, penting bagi Indonesia untuk melakukan penyesuaian terhadap permintaan Eropa sebagai destinasi ekspor sehingga Indonesia tidak kehilangan pasar ekspor.

"Kita masih sangat bergantung pada kelapa sawit. High cost economy untuk memenuhi standar pasar harus dioptimalkan. Sembari mencari konsumen baru terkait biodiesel," ujar Fajar Hirawan.

ISPO dan DMO, mampukah perbaiki tata kelola?

Ketua Indonesia Palm Oil Association (IPOA), Joko Supriono mengatakan tetap ada keinginan untuk memperbaiki tata kelola untuk memenuhi komitmen pasar.

"Yang penting kita melakukan perbaikan dalam tata kelola. Ini bukti perusahaan Indonesia memiliki perbaiki tata kelola. ISPO digunakan sebagai alat untuk mengatasi segala konflik yang ada," katanya.

Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) adalah kebijakan pemerintah Indonesia melalui Kementerian Pertanian. Kebijakan ini sejak tahun 2009 untuk membuat minyak kelapa sawit dari Indonesia memiliki daya saing yang besar di pasar global. Sertifikasi ISPO diperkuat dengan Permentan No. 38 Tahun 2020 yang berisi tentang Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Selain itu, seperti dilansir dari detik.com pada 31 Januari 2022, untuk menjaga stok bahan baku minyak goreng, pemerintah memberlakukan kebijakan wajib memenuhi pasar domestik, atau domestic market obligation (DMO) sebesar 20%. Seluruh eksportir wajib memasok 20% dari volume ekspornya dalam bentuk CPO dan RBD Palm Olein ke pasar domestik dengan harga Rp 9.300/kg untuk CPO dan harga RBD Palm Olein Rp 10.300/kg.

Joko mengklaim bahwa DMO bisa menjadi langkah untuk memperbaiki tata kelola industri sawit dan mengatasi kelangkaan minyak goreng di pasaran yang banyak dikeluhkan masyarakat belakangan ini.

Secara hitung-hitungan, ujarnya, ekspor Indonesia setahun 34 juta ton, maka 20 persennya sudah 6,8 juta ton. "Kebutuhan minyak goreng di Indonesia 5,7 juta ton. Sebenarnya sudah cukup. Namun harus diperkuat mekanisme kontrolnya sehingga apa yang dialokasikan benar-benar menjadi minyak goreng," kata Joko Supriono. (ae)