1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menangkal Faham Radikal, Mencari Wajah Islam Indonesia

16 Desember 2015

Nahdhatul Ulama meluncurkan film dokumenter tentang Islam Nusantara. Kampanye tersebut ikut mewarnai pergolakan di tanah air tentang siapa yang paling berhak mewakili Islam Indonesia.

https://p.dw.com/p/1HO6i
Indonesien Propaganda Islamischer Staat
Foto: picture-alliance/AP Photo

Ketika segerombol kecil orang mengklaim diri sebagai wajah Islam lewat kekejaman dan kebiadaban, maka selayaknya mayoritas mengangkat suara. Hal serupa dilakukan Nahdhatul Ulama dengan merilis film dokumenter berjudul Rahmat Islam Nusantara buat menangkal faham radikal.

Organisasi Islam terbesar di dunia itu sedang menggiatkan kampanye untuk "menghidupkan kembali gagasan Islam Nusantara sebagai jawaban atas Islam radikal," ujar Gus Yahya Staquf, pimpinan Pondok Pesantren Raudlathut Tholibin Rembang. "Islam kita berbeda dengan Islam Timur Tengah," imbuhnya.

"Selama ratusan tahun kaum Muslim di Indonesia hidup berdampingan secara harmoni dengan pemeluk agama yang lain, " kata Staquf. "Kita harus menangkal ajaran ekstremisme." Film tersebut ingin menampilkan peran Wali Songo yang ikut membentuk wajah Islam Indonesia yang toleran dengan meleburkan ajaran Islam dan tradisi lokal.

Sekilas beberapa adegan di film dokumenter yang dibuat atas kerjasama dengan Universitas Vienna, Austria, itu terlihat seperti video kampanye Islamic State, dengan algojo yang menembak mati tahanan satu per satu.
Tapi musik yang melatarinya justru melantunkan tembang jawa bercorak keislaman. "Banyak yang menghafal Al-Quran dan Hadith gemar mengecam orang lain sebagai Kafir, sementara mereka melupakan kekafirannya sendiri terhadap Allah S.W.T."

"Kita harus mengubah pandangan hidup kita dengan mengkaji ulang konsep kita tentang tuhan, tentang persaudaraan dan kemanusiaan," tutur KH. Mustofa Bisri dalam film tersebut.

Tidak semua sepakat dengan kampanye yang digalang Nahdhatul Ulama. Rizieq Syihab, pentolan Front Pembela Islam, misalnya mengecam bahwa "NU menolak syariat Islam dengan dalih budaya Arab," tulisnya dalam situs resmi FPI. "Dengan mempropagandakan kearifan lokal, mereka pelan-pelan menghapus Islam."

Sebaliknya buat Gus Yahya Staquf, justru langgam kehidupan masyarakat nusantara lah yang "menghasilkan ekspresi keagamaan yang lebih mencerminkan substansi dari Islam itu sendiri."

rzn/yf (dpa,rtr)