1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Melihat Nasib 'Tahanan Abadi' di Penjara Guantanamo

Oliver Sallet
12 Januari 2022

Sempat berulang kali ingin ditutup, penjara teror di Guantanamo kini berusia 20 tahun. Upaya penutupan melesu ketika harapan narapidana untuk mendapat pengadilan yang layak menipis. Laporan Oliver Sallet dari Guantanamo.

https://p.dw.com/p/45OFr
Penjara militer di Kamp Guantanamo, Kuba
Penjara militer di Kamp Guantanamo, KubaFoto: John Moore/Getty Images

Selama 14 tahun lamanya Mohamedou Ould Slahi mendekam di penjara teror Guantanamo. Sebanyak 70 hari dalam setahun dia mengalami penyiksaan, 18 jam sehari selama tiga tahun. Mohamedou dituduh memangku fungsi penting di jajaran pemuka al-Qaida dan ikut merencanakan serangan teror 11 September.

Namun, selama masa penahanan yang panjang itu, militer Amerika Serikat tidak mampu mengumpulkan bukti hukum untuk meloloskan dakwaan. Selama itu pula dia menjalani hukuman kurung tanpa proses pengadilan.

Mohamedou yang kini berusia 50 tahun akhirnya dibebaskan tanpa syarat. Dakwaan terhadapnya digugurkan.

Kamp Guantanamo membuat Amerika menjadi negara, "di mana prinsip negara hukum tidak dihormati,” kata Nancy Hollander, pengacara yang berulang kali mewakili narapidana Guantanamo. 

Menurutnya, "situasinya serupa bencana,” terkait nasib 13 narapidana yang hingga kini tanpa pengadilan, dan juga terdakwa pelaku teror 11 September yang dijuluki "tahanan abadi,” karena masih menunggu pengadilan, 20 tahun setelah serangan tersebut.

Pelanggaran prinsip negara hukum

Menurut Daphne Eviatar dari Amnesty International, ketidakjelasan status hukum narapidana Guantanamo termasuk bagian dari kalkulasi politik bekas Presiden George W. Bush. "Mereka membangun penjara di luar negeri untuk tidak terikat hukum Amerika Serikat,” kata dia.

Dalam laporan Amnesty, AS dituduh melakukan pelanggaran HAM berat di Guantanamo, termasuk penyiksaan terhadap narapidana. Menurut Daphne, laporan tersebut disusun dari berbagai penyelidikan, termasuk laporan komisi dinas rahasia di Senat AS.

Kamp Guantanamo di pesisir selatan Kuba sudah menjadi pangkalan militer AS sejak lebih dari 100 tahun lalu. Namun, baru pada Januari 2002, kompleks tersebut direnovasi untuk ikut menampung sebuah penjara rahasia untuk tersangka teroris.

Anthony Natale, kuasa hukum terdakwa teroris, Abdul Rahim al Nashiri, ikut mengecam kebijakan di Washington. "Kita mengorbankan semua yang menjadikan negara ini sebuah negara bebas, dengan kesetaraan hak untuk semua,” tukasnya.

Rencana penutupan

Rencana awal penutupan Guantanamo sudah pernah diumumkan pada era George W. Bush. Penerusnya, bekas Presiden Barack Obama juga menjanjikan penutupan. Namun, AS saat itu kesulitan mencari negara yang mau menampung bekas tahanan Guantanamo.

Obama kehilangan momentum politik ketika Partai Republik merebut mayoritas di Kongres, yang kemudian meloloskan Undang-undang untuk melarang "semua individu yang pernah ditahan di Guantanamo untuk memasuki wilayah AS,” kata Nancy Hollander. Dengan begitu tertutup kemungkinan untuk memindahkan para tahanan dari Guantanamo ke daratan Amerika.

Upaya politik menutup penjara Guantanamo terhenti di era bekas Presiden Donald Trump. Dia secara terang-terangan mengumumkan niat untuk tetap membuka penjara teror di negeri jiran tersebut. Partai Republik berdalih, Guantanamo masih menjadi jaminan keamanan bagi AS untuk menghadapi terorisme global. 

Kini giliran Presiden Joe Biden yang mengumumkan niat untuk menutup Guantanamo selama masa jabatannya. Namun, ketika komisi dinas rahasia di Senat AS membahas rencana tersebut, tidak seorang pun pejabat pemerintahan Biden yang ikut hadir.

Hal itu, kara Nancy Hollander, membuktikan betapa pemerintahan AS "tidak pernah berusaha menepati janjinya.”

Penjara tanpa bukti

Saat ini pemerintahan Biden sedang disibukkan oleh proyek infrastruktur dan anjloknya tingkat kepuasan publik di AS. Guantanamo sebabnya diyakini belum akan mendapat prioritas utama. Bagi narapidana, situasi ini semakin mengaburkan harapan untuk segera dibebaskan.

Sebagian tahanan saat ini sudah bisa menghirup udara bebas, antara lain berkat perjanjian pemulangan narapidana dengan negara asal. "Ketika jumlah tahanan terus berkurang, maka semakin jelas betapa anehnya semua ini,” kata Nancy Hollander. 

Menurutnya biaya operasi penjara di Guantanamo mencapai USD 13 juta atau sekitar Rp182 miliar per tahun untuk setiap tahanan. Biaya akan lebih murah jika tahanan dipindahkan ke Amerika Serikat, katanya.

"Kita tidak bisa menahan orang sealama 20 tahun tanpa dakwaan, karena kurangnya bukti-bukti, tapi bersikeras bahwa mereka berbahaya.”

Masa depan Guantanamo tidak lagi bisa ditentukan dengan argumen rasional, kata dia. (rzn/ha)