1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Media Sebagai Pendorong atau Penghambat Perdamaian

9 Juni 2008

Peranan media sebagai pendorong perdamaian dan pencegah konflik dibahas dalam Global Media Forum yang digelar Deutsche Welle. Sebab di era globalisasi, media masih sering menjadi alat propaganda dan penyebar kebencian.

https://p.dw.com/p/EEU6
Plakat Global Media Forum

Tapi apa dan bagaimana yang dapat dilakukan media agar dapat menjalankan fungsi sebagai alat perdamaian. Riset yang baik tentang latar belakang peristiwa dan analisa konflik yang terperinci, memiliki fungsi penting dalam pemberitaan tentang perang dan konflik di tengah era media global. Tapi apakah media juga dapat mencapai partai-partai yang berkonflik dan menciptakan suasana pendekatan satu sama lain pasca terjadinya perang? Hal itu akan tercapai lebih mudah dengan format siaran berbentuk hiburan. Demikian dikatakan Hans Dembowski, pimpinan redaktur majalah terbitan Jerman, Entwicklungszusammenarbeit atau Pembangunan dan Kerjasama

„Jika Anda ingin mengatasi sikap memusuhi dan sentimen pasca terjadinya perang, masalahnya bukan menyangkut fakta. Orang-orang mungkin dapat setuju tentang fakta, tapi yang tidak mereka setujui adalah bagaimana menginterpretasikan fakta tersebut dan di sini latar belakang kehidupan mereka, perasaan, pandangan secara subjektif memiliki peranan penting. Dan jika Anda ingin membina perdamaian Anda harus menjalin kontak dengan emosi tersebut.“

Karena emosi jugalah yang dapat memicu terjadinya perang, seperti yang terjadi di Balkan, Ruanda atau di Srilanka dimana konflik etnis dan agama memainkan peranan.

Perang bukan menyangkut masalah intelektual, demikian pendapat John Marks, ketua lembaga swadaya masyarakat internasional Search for Common Group. Oleh sebab itu dalam situasi pasca perang, hal yang terutama adalah mengubah perasaan manusia, sikap dan pandangan mereka. Di Afrika saja, LSM Search of Common Group menggagas dan memproduksi program radio dan televisi di 10 negara. Demikian John Marks

„Di Burundi kami memiliki stasiun radio bernama Studio Ijambo, yang mempekerjakan jurnalis dari suku Hutu dan Tutsi. Setiap hari mereka bersama membuat berita, acara rubrik. Dan mereka juga merancang opera sabun. Sejumlah garapan opera sabun ini bahkan meraih 87 persen pendengar. Itu hal yang sangat positif.“

Produser program radio, merefleksi alasan-alasan konflik yang terjadi dan mencoba memberikan orientasi pilihan kepada publik dengan tokoh-tokoh dan dialog yang mengarah ke perdamaian. Menurut John Marks

„Pengevaluasi independen menyimpulkan, hal itu mengubah cara berpikir negara tentang perdamaian dan rekonsiliasi, acara-acara telah mengubah perbendaharaan kata dalam politik suatu negara.“

Juga bagi Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Bank Dunia peran media dalam masa pasca perang semakin menjadi faktor penentu. Justru dalam masyarakat yang terpecah, warga sangat membutuhkan informasi dan dialog yang dapat membantu pembentukan demokrasi. Itu juga berarti perubahan mendasar dalam organisasi yang bersangkutan. Demikian disampaikan Henriette von Kaltenborn-Stachau, pakar Bank Dunia

„Dalam jajaran direksi di tempat saya bekerja, kami berusaha melakukan perubahan haluan politik. Hal itu sebelumnya belum pernah dipraktekkan dalam Bank Dunia ataupun negara-negara donor yang lebih besar.“

Radio Pendorong Perdamaian di Afrika

Semakin banyak pemancar radio di Afrika yang mendorong pendekatan dan perdamaian. Dibanding dulu, ketika radio disalahgunakan sebagai alat kampanye kebencian dan genosida. Radio sebagai media untuk membenci. Istilah ini muncul di tahun 1990-an. Contoh utamanya adalah stasiun radio Ruanda „Radio bebas seribu gunung“. Saat terjadinya genosida tahun 1996 para moderator radio dengan sengaja menyerukan untuk membunuh kelompok Tutsi dan Hutu yang moderat. Misalnya Radio Mega FM

Jika radio siaran swasta di Uganda Utara Mega FM mengudara, dalam satu pekan pendengarnya mencapai lebih dari satu setengah juta orang. Selama enam tahun terakhir Mega FM adalah stasiun radio paling populer di kawasan tersebut. Terutama untuk acara „Dwaco Put yang artinya kembali ke rumah“. Sebagai pembicara di mikrofon tidak hanya moderator tapi juga para pemberontak Lord Resistance Army. Namun bukan tujuan pimpinan redaksi Mega FM, David Okidi menciptakan plattform propaganda bagi mereka.

„Hanya dalam waktu singkat resonansnya sangat bagus. Kami mengundang para pemberontak ke studio agar mereka menyampaikan pengalamannya. Mereka menyebutkan namanya, saya dulu termasuk kelompok pemberontak, sekarang saya kembali ke keluarga saya. Orang menerima saya kembali dengan ramah dan keadaan saya baik. Lalu mereka menyerukan kepada bekas rekan-rekannya agar juga meninggalkan kelompok pemberontak.“

Kemudian banyak pemberontak yang menghentikan kegiatannya dan kembali ke rumah. Dua tahun lalu acara itu mencapai misinya. Dan baru pimpinan redaktur David Okidi menghentikan acara Dwaco Put.

Meskipun di Uganda Utara tidak lagi terjadi lagi kerusuhan, redaksi Mega FM yang terdiri dari 25 orang cukup sibuk. Program baru diharapkan membantu mengatasi dua tantangan baru yang dihadapi penduduk, yakni mempersatukan masyarakat yang terpecah dan membangun kembali negaranya. Untuk itu misalnya dibuat acara talk show Ter Yat. Dalam acara itu pendengar dapat mengungkapkan kesulitannya misalnya untuk memperoleh penghasilan. Kesulitan yang juga dialami Mega FM, demikian diungkapkan pimpinan redaksi David Okidi

„Masalahnya adalah kami beroperasi dalam suatu situasi dimana orang-orang baru saja terbebas dari konflik dan dilanda kemiskinan. Karena pendengar kami miskin, bisnis periklanan tidak berminat mengiklankan produknya pada radio kami, sebab tidak ada pendengar yang punya uang untuk membeli produk tersebut. Paling tidak dengan sedikit pemasukan kami bisa menutup kebutuhan.“

Karena Mega FM memiliki sumber pemasukan lainnya. Masing-masing acara disponsori organisasi bantuan pembangunan. Antara lain dari yayasan Jerman Konrad Adenauer Stiftung.(dk)