1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

261010 Nahost Medien

27 Oktober 2010

Penangkapan, penahanan dan sensor, demikian laporan kelompok HAM mengenai situasi kebebasan pers di Timur Tengah. Tapi media Arab juga menilai kritis terhadap rekan-rekan mereka di Barat.

https://p.dw.com/p/Pq89
Gambar simbol kebebasan persFoto: picture-alliance / dpa

Satu hal yang disepakati para pekerja media Barat dan Arab adalah bahwa jurnalis harus mencek fakta, menganalisa dan obyektif. Tetapi, bekerja sebagai wartawan Arab di Timur Tengah bukan hal mudah. Harian berbahasa Arab "Al Quds al Arabi" misalnya, berkantor pusat di London. Abdelbari Atvan, pemimpin redaksinya, menuturkan, "Kami tidak bisa menerbitkan koran di Timur Tengah. Di Inggris kami menikmati kebebasan pers. Sebaliknya, di negara-negara Arab koran kami dilarang, bahkan situs internet kami diblok .“

Laporan terbaru organisasi "Wartawan Tanpa Batas Negara" menyebutkan, jika menyangkut kebebasan pers dan sensor, negara-negara Arab berada di urutan terbawah. Posisi Libanon di urutan ke 78, adalah yang terbaik di antara negara Arab lainnya. Meski begitu, orang harus membuat pembedaan jika menyangkut kebebasan pers di dunia Arab, kata Michael Slackman,yang sejak lama menjadi koresponden New York Times di kawasan tersebut.

"Orang tidak bisa menggeneralisasi. Apakah kita bicara tentang Suriah, di mana sama sekali tidak ada kebebasan pers dan pemerintah mengontrol semua arus informasi? Koran Mesir Al-Ahram, biasanya sumber informasi yang dapat dipercaya, kecuali menyangkut pemerintahnya sendiri. Al-Jazeera sangat profesional, tapi tak pernah kritis melaporkan Qatar," papar Michael Slackman.

Qatar adalah kedudukan utama Al-Jazeera. Emir negara itu membiayai sebagian besar aktivitas stasiun televisi tersebut. Areef Hijjavi, Direktur Program Al-Jazeera yakin, lokasi stasiun televisinya lah yang memungkinkan pemberitaan kritis, "Tuan Slackman betul, kami tidak pernah melaporkan tentang Qatar, tapi New York Times juga tidak melakukannya. Di Qatar tidak ada peristiwa besar untuk diliput. Betul bahwa mereka membiayai kami, tapi bukan mendikte apa yang boleh kami ucapkan.“

Sepanjang menyangkut kebebasan pers, posisi media Jerman dalam indeks 'Wartawan Tanpa Batas Negara' nyata lebih baik. Dibandingkan tahun 2009 lalu, Jerman turun satu peringkat menjadi ke-17. Meski begitu terdapat potensi perbaikan menyangkut standar jurnalsitik seperti obyektivitas dan kehati-hatian. Ini juga dilihat banyak jurnalis Jerman. Terutama tampak dalam pemberitaan mengenai dunia Islam. Tingginya tekanan aktualitas di banyak media bertanggungjawab untuk itu, kata para pakar. Topik yang kompleks membutuhkan penggolongan dan analisa. Yang justru sering sangat pendek, kata spesialis Timur Tengah Yassin Musharbash dari Spiegel Online, salah satu portal berita terbesar di Jerman. "Tentu saja peristiwa-peristiwa aktual lebih menjual, tapi saya perhatikan besar sekali permintaan tentang latar belakang peristiwa itu. Saya yakin, pembaca menginginkannya."

Laporan tentang latar belakang sebuah peristiwa bukan hanya jarang ia temui di media Jerman, tapi juga di media Arab, kata Musharbash. Sebuah solusi ditawarkan Ayse Karabat, kolumnis di koran Istanbul “Todays Zaman“. Ia yakin, harus lebih aktif dilakukan pertukaran antara jurnalis di seluruh dunia.

Diana Hodali/Renata Permadi

Editor: Yuniman Farid