Masjid Raden Saleh: Digotong Hingga Jadi Cagar Budaya
Berawal dari surau sederhana di Cikini, masjid yang pembangunannya diprakarsai pelukis Raden Saleh menyimpan sejarah panjang. Mulai dari penggotongan hingga persengketaan, sampai akhirnya menjadi cagar budaya.
Berawal dari surau sederhana
1860, Raden Saleh dan masyarakat sekitar membangun surau panggung berdinding gedek dan berbahan kayu di halaman kediaman sang pelukis di Cikini. Setelah sang maestro meninggal dunia, keluarganya menjual tanah tersebut - tidak termasuk surau - ke keluarga Alatas. Putra Alatas yang tak tahu perjanjian tersebut menjualnya ke yayasan rumah sakit Belanda. Pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan.
Digotong rakyat
Akhirnya terjadilah pemindahan surau ke lokasi lain yang dilakukan masyarakat dengan cara digotong. Bahkan pagarnya pun ikut dipindahkan. Ketika pihak yayasan meminta agar surau dipindahkan lebih jauh, tokoh-tokoh Islam saat itu seperti HOS Tjokroaminoto, Haji Agus Salim, KH Mas Mansyur, dan lain-lain berkeras mempertahankannya. Mereka berusaha agar Belanda tak mengusik Masjid Jami Al Ma’mur.
Pemugaran masjid
Dengan dukungan bantuan Sarekat Islam, masjid yang mengandung arsitektur Belanda ini kemudian dipugar oleh para tokoh-tokoh Islam seperti Haji Agus Salim, dkk. pada tahun 1932-1934.
Menampung banyak jemaat
Konflik dengan pihak yayasan rumah sakit diselesaikan dan sertifikat diserahkan kepada pengurus masjid. Masjid dengan dominasi warna hijau dan putih itu terdiri dari dua lantai, sehingga mampu menampung banyak jemaat.
Cagar budaya
Masjid ini kemudian dijadikan bangunan Cagar Budaya oleh Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 9 Tahun 1999. Masjid tersebut kemudian juga dikenal dengan nama Masjid Cieh Raden Saleh atau Masjid Jami Cikini Editor : ap/as (berbagai sumber)