1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masih Diperlukan Perubahan Sosial Bagi Perempuan di Dunia Arab

12 Desember 2009

Di negara-negara Arab perempuan berada dalam posisi yang tertekan. Ini menyebabkan terhambatnya pembangunan di kawasan tersebut. Demikian hasil laporan penelitian dari berbagai organisasi internasional.

https://p.dw.com/p/L0z6
Foto: dpa

Kini mulai terjadi pergerakan. Beberapa negara mensahkan reformasi undang-undang yang berkaitan dengan persamaan hak bagi perempuan dan laki-laki di mata hukum. Kemajuan ini antara lain tercapai berkat kerja keras para pejuang hak asasi perempuan disana. Deutsche Welle berbicara dengan empat perempuan yang tidak kenal lelah memperjuangkan perubahan sosial bagi perbaikan situasi perempuan di dunia Arab.

„Ada jurang yang dalam antara dunia nyata dan dunia hukum. Ada jurang antara hak resmi perempuan dan hak perempuan dalam masyarakat. Ini jelas tampak pada masalah keuangan, sosial dan hukum.“ Demikian pendapat Iman Mandour yang tinggal di Kairo, ibukota Mesir. Ia adalah anggota dewan pengamat FEMNET, Jaringan Pembangunan dan Komunikasi Perempuan Afrika. Iman bisa dibilang adalah wujud dari emansipasi perempuan yang juga sukses di bidangnya. Sama seperti Maha Siada dari Suriah dan Malika Benradi, profesor hukum dari Rabat Marokko. Sosok-sosok ini lah yang mengusahakan agar perempuan memiliki hak dan kesempatan yang sama dengan laki-laki. Malika menyebut dirinya sebagai ‚aktivis ham perempuan yang militan‘. Baginya, reformasi hukum adalah langkah awal berarti agar terjadinya perubahan.

„Hukum adalah hal yang penting. Bagaimana pun juga tujuan hukum adalah mengubah sikap dalam masyarakat. Ini jika dipatuhi dan dijalankan dengan benar. Beberapa waktu yang lalu, anak perempuan yang berusia 14 tahun sudah boleh menikah. Kini undang-undang di Marokko menetapkan, bahwa mereka setidaknya harus berusia 18 tahun terlebih dahulu. Orang tua harus menghormati hukum tersebut dan menunggu hingga anaknya berusia 18 tahun. Ini akan diperiksa terlebih dahulu oleh pihak hukum.“

Sebagai anggota Komisi Nasional bagi Reformasi Hukum, Malika Benradi berkonsentrasi pada perubahan undang-undang dalam masalah hak-hak bagi perempuan Marokko. Di beberapa negara-negara Arab masih belum ada batas usia bagi perempuan yang akan menikah, poligami pun belum dilarang. Baik di Marokko mau pun Mesir, perempuan masih harus memiliki alasan dan bukti-bukti yang kuat jika ingin bercerai. Sebaliknya, pihak suami bisa menceraikan istrinya begitu saja. Fakta bahwa banyak perempuan yang tidak bisa membaca dan menulis, tidak membantu perbaikan situasi tersebut. Lagi pula mereka tidak memiliki penghasilan sendiri. „Khususnya di wilayah pedesaan Mesir, perempuan harus menghadapi berbagai masalah hukum. Hal yang mendasar misalnya, banyak diantara mereka yang tidak memiliki akte kelahiran atau kartu identitas. Jika di mata negara mereka tidak eksis, bagaimana mereka bisa bersekolah atau bekerja?“, ujar Iman Mandour, yang selain aktif di FEMNET juga bekerja di kantor konsultasi hukum bagi perempuan di Mesir. Maha Siada yang berasal dari Suriah membenarkan komentar Iman. Ia dibesarkan di Damaskus, dan dari kecil didukung penuh oleh orang tuanya sehingga ia bisa bersekolah. Tetapi ia tahu betul tidak semua perempuan di Suriah seberuntung dirinya. Maha kini bertanggung jawab bagi proyek perempuan di UNDP, program pembangunan PBB. Menurut Maha, reformasi hukum tidaklah cukup untuk bisa meyakinkan para perempuan betapa pentingnya pendidikan bagi kehidupan mereka nantinya.

„Di Suriah kami juga bekerja dengan para pemuka agama. Mereka lah faktor yang menentukan dalam hal hak perempuan. Masyarakat mau mendengar perkataan mereka. Apalagi saat mereka khotbah shalat Jumat di mesjid.“

Maha Siada berusaha memperkuat posisi pemuka agama yang progresif, yang mendukung interpretasi baru hukum Syariah. Ia berdialog dengan para kepala adat, dengan para guru, dengan para kepala keluarga.

Bagaimana reformasi hukum bisa mengubah kehidupan perempuan di dunia Arab, ditelusuri oleh Mariz Tardoz. Ia adalah seorang dosen di Institut bagi Ilmu Pembangunan di Universitas Sussex Inggris. Bertahun-tahun ia bekerja sebagai wartawan dan berbagai LSM di negara-negara muslim. Mariz mengemukakan, „Menurut saya, hal terpenting dalam persamaan gender adalah memandangnya secara keseluruhan. Kita harus mempertanyakan, mengapa sebuah keluarga hidup dalam kemiskinan, mengapa mereka tidak memiliki akses ke sistem jaminan sosial, mengapa orang tua tidak menganggap pendidikan adalah bentuk jaminan keuangan bagi anak perempuannya, dan seterusnya. Apa yang kita butuhkan adalah perspektif utuh dalam hal persamaan hak, bukan hanya memandangnya dari tiap-tiap konteks.“

Pesan terakhir dari keempat pejuang hak perempuan ini adalah : Tuntutan hukum bagi emasipasi perempuan di banyak negara-negara Arab memang kini telah membaik. Tetapi penyebab perbedaan persamaan hak yang berasal dari masalah sosial dan ekonomi juga harus ditelusuri dan diubah. Sehingga perubahan tidak hanya terjadi secara resmi dan tertulis di atas kertas, tetapi juga dalam masyarakat dimana para perempuan di dunia Arab harus menjalani kehidupan nyata mereka.

Sarah Judith Hofmann/Vidi Legowo-Zipperer

Editor : Hendra Pasuhuk