1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Masa Depan Libya Tidak Jelas

23 Agustus 2011

Berakhirnya era Muammar Gaddafi masih menjadi sorotan media internasional.

https://p.dw.com/p/12M39
An explosion is seen near Muammar Gadhafi's main compound in the Bab al-Aziziya district in Tripoli, Libya, Tuesday, Aug. 23, 2011. Fresh fighting erupted in Tripoli on Tuesday hours after Moammar Gadhafi's son turned up free to thwart Libyan rebel claims he had been captured, a move that seems to have energized forces still loyal to the embattled regime. (Foto:Sergey Ponomarev/AP/dapd)
Serangan pemberontak meledak dekat pangkalan militer Gaddafi Bab al-Aziziya, TripoliFoto: dapd

Harian Perancis La Croix menulis:

„Kepuasan dan kebangaan baru akan sempurna, bila Libya menempuh jalan demokrasi. Semuanya harus dipersiapkan. Tokoh-tokoh yang kompeten, wakil negara yang dapat memerintah dengan baik dan dapat melawan segala pihak yang hendak menceraiberaikan persatuan Libya. Angin perlawanan akan terus ada, seperti di Tunisia dan Mesir. Masa transisi di Libya akan terus dibayangi oleh perang saudara, kekerasan dan kebencian, dan bekas lukanya tidak akan menghilang begitu saja. Barat tentunya harus mendampingi Libya dalam membentuk masa depan baru.“

Kemudian harian lain L'Est Républicain menulis:

„Bersorak-sorak merayakan jatuhnya rezim Muammar Gaddafi, tentu boleh-boleh saja. Juga patut dipuji keberhasilan Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Inggris David Cameron saat mengambil risiko tanpa didukung Amerika Serikat yang ragu keterlibatannya dalam krisis berkepanjangan serta mencemaskan pembantaian. Namun harus tetap waspada, karena dengan berakhirnya era Gaddafi, hanya merupakan sebuah awal baru. Keberhasilan pemerintah Perancis dan Inggris akan dinilai dari terwujudnya perdamaian atau tidak. Artinya, dilihat dari keterlibatan mereka membantu negara itu dalam pembangunan kembali serta mendukung persatuan nasional.“

Lalu harian Bulgaria Standart yang terbit di Sofia juga memberikan komentarnya terkait situasi di Libya. Harian itu menulis:

„Jika seorang diktator berhasil digulingkan, maka dunia internasional boleh merasa lega. Tetapi, pengalaman-pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa revolusi di negara-negara Arab tidak selalu memenuhi harapan bangsanya. Kalangan pengamat membandingkan situasi di Libya dengan situasi di Irak. Masalah sekarang adalah, siapa yang akan memimpin negara itu, bagaimana lembaga pemerintahan dapat berfungsi dengan baik, akankah dilakukan reformasi demokrasi atau adakah diktator lain yang akan memerintah di Libya? Perebutan kekuasaan akan menjadi lebih intensif lagi dan aktivis Islam akan ikut dalam perebutan ini.

Kemudian harian Belanda de Volkskrant menulis:

„Di Libya Dewan Transisi Nasional (NTC) harus meyakinkan, dengan diusirnya Gaddafi dari Libya, eranya pun akan berakhir. Mengingat dari awal barat mendukung pemberontak, kini Gaddafi itu seolah-olah mengubah haluannya dan menjadi pejuang kebebasan. Karena itu, untuk sementara ini selama Libya tidak memintanya, dunia internasional jangan mengirim pasukan perdamaian ke Libya dulu.“

Tema lain yang juga mendapat perhatian pers internasional adalah pembatalan kasus Dominique Strauss-Kahn. Harian Le Progrès di Lyon menulis:

„Apa yang terjadi antara Dominique Strausss-Kahn dan Nafissatou Diallo, kita tidak akan mengetahuinya. Tetapi beginilah adanya. Kasus ini telah dibatalkan dan kebenaran tidak akan terungkap. Mulai sekarang selalu ada dua versi. Versi Nafissatou Diallo dan versi Dominique Strauss-Kahn. Tetapi yang terburuk adalah, karena kebenaran kejadian ini tidak terungkap, maka salah satu dari mereka akan dianggap selalu sebagai yang bersalah."

AN/EK/dpa/afpd