1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mari Menata Kesadaran Arsip di Indonesia

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
24 Agustus 2018

Dari sekian nama tokoh pahlawan kemerdekaan Indonesia, mungkin tidak ada sosok yang jasa besarnya lebih unik daripada B.M. Diah. Kenapa demikian? Simak opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/32fE3
Indonesien Präsident Sukarno erklärt die Unabhängigkeit 17. August 1945
Foto: picture alliance/CPA Media

Saat itu dini hari 17 Agustus 1945, namun kediaman Laksamana Muda Tadashi Maeda di kawasan Menteng masih ramai. Sukarno, Hatta, serta Achmad Soebardjo baru saja merampungkan teks tertulis naskah Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang lalu disalin dan diketik ulang oleh Sayuti Melik.

Mungkin karena sudah merasa puas dengan versi ketikan, ditambah faktor kelelahan fisik dan mental, teks Proklamasi hasil tulisan tangan Sukarno yang memiliki nilai historis tinggi itu terbuang ke tong sampah oleh para perumusnya. Beruntung, Burhanuddin Mohammad Diah, atau yang lebih dikenal dengan nama B.M. Diah, seorang tokoh pemuda yang hadir pada saat itu berinisiatif untuk memungut dan menyimpannya.

Penulis: Rahadian Rundjan
Penulis: Rahadian RundjanFoto: Rahadian Rundjan

Ada dua hal yang dapat dimengerti dari peristiwa ini. Pertama, bahwa kelalaian bangsa Indonesia dalam mengarsipkan dokumen penting sudah terjadi sejak negara ini diproklamasikan.

Presiden Sukarno dalam otobiografinya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, mengakui bahwa ia bahkan juga tidak terpikir untuk "menyimpan pena bersejarah yang dipakai menuliskan kata-kata yang akan hidup abadi itu (naskah Proklamasi).”

Yang kedua, yakni fakta sederhana bahwa sejak awal partisipasi perseorangan merupakan komponen penting dalam dinamika arsip di Indonesia. Apa yang B.M. Diah lakukan saat itu, meski sekedar ‘memungut sampah', akhirnya berperan penting dalam pembangunan pemahaman terhadap sejarah perumusan naskah Proklamasi dengan lebih menyeluruh.

Naskah asli Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang diselamatkan oleh B.M. Diah disimpan olehnya secara pribadi selama 46 tahun sebelum akhirnya dikembalikan kepada Presiden Soeharto, selaku wakil negara Indonesia, pada tanggal 19 Mei 1992. Atas aksi heroik uniknya ini, saya rasa titel "Pahlawan Arsip” pertama bangsa Indonesia layak disematkan kepada pria berdarah Aceh tersebut.

Arsip dan Kejernihan Sejarah

Salah jika mengira bahwa arsip hanyalah puing-puing dari masa lalu yang lekat dengan kesan berdebu, kumuh, dan tidak penting. Nyatanya, ia adalah ingatan yang terekam; sebuah relikui yang membuat masa lalu terasa dekat dan dipahami oleh publik di masa kini. Karenanya, saya kira, sadar arsip merupakan titik tolak pembangunan mentalitas manusia Indonesia yang sadar akan sejarah.

Mudah dipahami mengapa B.M. Diah terpikir untuk menyelamatkan naskah teks Proklamasi, mengingat latar belakang profesionalnya di dunia pers yang tentu membuatnya peka akan nilai penting sebuah dokumentasi dan pemanfaatannya demi kepentingan publik. Sukarno berpesan, "Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah,” yang artinya, publik Indonesia dituntut untuk selalu menghadirkan sejarah sebagai refleksi dalam menanggapi isu-isu kekinian.

Dalam hal seperti itulah peran arsip dan dokumentasi yang baik menjadi vital. Untuk bidang akademis, sejarawan memanfaatkan arsip untuk menulis sejarah yang bersumber pada kebenaran. Pun di bidang sosial kemasyarakatan, eksistensi arsip kerap kali menjadi kunci penyelesaian sengketa politik, ekonomi, sosial, budaya, dan lain-lain.

Untuk kasus yang terakhir, keberadaan arsip menjadi kritis nilainya, terutama apabila yang dipersengketakan terkait dengan kepentingan negara. Sayangnya, aparatur pemerintah masih lalai dalam menata arsipnya. Contoh termutakhirnya, saat Gubernur DKI Jakarta yang lalu, Djarot Saiful Hidayat, menyatakan bahwa lemahnya pengarsipan menjadi salah satu alasan kerap kalahnya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam urusan sengketa lahan dengan pihak swasta, sehingga rencana-rencana pembangunan di ibukota kerap terhambat.

Sistem arsip negara ini memang harus dibenahi, baik dari segi administrasi, sarana prasarana, maupun mentalitas para pelaku yang berkecimpung di dalamnya. Saya cukup familiar dengan institusi Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) yang terletak di Jalan Ampera Raya, Jakarta Selatan. Di tempat ini dokumen-dokumen bersejarah Indonesia disimpan untuk dimanfaatkan demi kepentingan publik, terutama untuk penelitian.

Saya rasa, ANRI, juga pusat-pusat dokumentasi serupa di seluruh wilayah Indonesia, harus terus berbenah memoles citra dirinya sebagai institusi populer bagi peneliti-peneliti sejarah muda yang belakangan karya-karyanya dapat ditemukan dalam forum-forum penulis dunia maya maupun cetak.

Selain kebutuhan digitalisasi arsip yang mendesak untuk menjangkau khalayak luas, juga sudah waktunya bagi arsiparis, menemani sejarawan dan pegiat masa lalu lainnya, untuk turut hadir dalam perdebatan isu-isu sejarah, misalnya dengan aktif menulis di media massa.

Tertib atau tidaknya suatu sistem arsip kembali bergantung pada kemampuan sang arsiparis, seperti ditulis oleh Francis X. Blouin Jr. dan William G. Rosenberg dalam Processing the Past: Contesting Authority in History and the Archives. Menurut mereka, arsiparis harus mampu "menyeimbangkan kepentingan institusi dengan kepentingan komunitas pengguna yang lebih luas untuk menjamin penyimpanan catatan dalam jangka panjang dan juga akses yang efektifbagi generasi di masa depan, apapun bentuknya."

Bagi saya, pernyataan itu tidak harus ditujukan kepada arsiparis profesional atau mereka yang terikat dengan institusi resmi. Publik secara umum juga memiliki tanggung jawab moral untuk melaksanakan tugas-tugas kearsipan, minimal dengan cara membangun pemahaman personal akan pentingnya arsip keluarga dan lingkungan sekitar. Arsip-arsip yang berada di tengah-tengah masyarakat inilah yang akan menjadi rujukan para sejarawan Indonesia, utamanya sejarawan publik yang fokus meneliti sejarah orang-orang kecil, di masa depan kelak.

Mentalitas Sadar Arsip

Tentu saja kita tidak menginginkan kasus kalahnya Indonesia dalam sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan melawan Malaysia di Mahkamah Internasional pada 2002 silam terulang kembali.

Saat itu pihak Indonesia kalah karena dokumen-dokumen yang ditunjukkan, berupa serangkaian laporan survey kapal-kapal Belanda dan patroli TNI AL, serta laporan kegiatan nelayan setempat, ternyata tidak lebih kuat daripada dokumen pihak Malaysia berupa peraturan pengumpulan telur penyu, perlindungan satwa burung, dan pemeliharaan mercusuar, yang sudah berlaku sejak masa penjajahan Inggris dan masih tersimpan dengan baik.

Arsip adalah memori bersama, dan ia harus dijaga bersama-sama pula oleh segenap bangsa Indonesia. Membangun sebuah ketertiban sistem arsip merupakan wajib hukumnya jika Indonesia ingin mempersiapkan masa depan yang gemilang. Sosialisasi menyeluruh terhadap Undang-undang Nomor 43 tahun 2009 tentang Kearsipan, yang tampaknya sampai saat ini masih asing bagi khalayak umum, harus terus dilakukan seluas-luasnya.

Masih banyak yang harus dibenahi, namun saya yakin membangun mentalitas sebagai manusia Indonesia yang sadar arsip adalah prioritas utama yang pantas dikejar. Sebuah mental yang membuat kita tidak lagi melihat kertas bertorehkan tinta hanya sebagai barang sambil lalu semata. Secarik kertas arsip berisikan nilai sejarah tak terhingga, seperti yang B.M. Diah katakan tentang teks Proklamasi yang ia selamatkan:

"Saya hanya ingin menegaskan bahwa kertas yang saya simpan ini mempunyai nilai-nilai berharga. Kalaupun ada yang mengatakan bahwa teks proklamasi yang diketiklah yang sah secara yuridis internasional, maka hal ini tidak menjadi masalah karena saya hanya ingin mengungkapkan proses pembuatan dan nilai dari beberapa kata yang terkandung di dalamnya,” ujar B.M. Diah.

Penulis:

@RahadianRundjan

Esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis

*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.