1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mampukah Agama Selamatkan Lingkungan?

6 Juni 2018

Organisasi lingkungan Greenpeace menggandeng MUI, NU dan Muhamadiyah buat menggalakkan kampanye anti sampah plastik. Kenapa agama tiba-tiba menjadi primadona untuk kampanye lingkungan?

https://p.dw.com/p/2z11y
Indonesien Plastikmüll in Bali
Foto: Getty Images/AFP/S. Tumbelaka

Bagaimana mengatasi masalah sampah plastik yang melanda Indonesia? Menurut Majelis Ulama Indonesia, Greenpeace dan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup adalah dengan memanfaatkan sumber daya terbesar yang ada di tanah air, yakni umat muslim.

Selama Ramadan tahun ini organisasi lingkungan sibuk mengajak pemuka agama untuk mempopulerkan tradisi berbuka tanpa plastik alias Eco Iftar. Dalam pernyataan pers yang disebar ke berbagai media, Greenpeace mengaku ingin memanfaatkan pengaruh agama lewat MUI untuk menyebarkan pesan cinta lingkungan dan mengajak umat Islam berhenti menggunakan plastik sekali pakai.

Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu sumber polutan sampah plastik terbesar di dunia. Setiap tahun rata-rata penduduk membuang 17 kg sampah plastik dalam berbagai bentuk. Akibatnya 187,2 juta ton limbah plastik dari Indonesia membanjiri samudera Bumi setiap tahunnya.

Sedotan Keren Bisa Dimakan

Agama sebagai kendaraan untuk gagasan konservasi bukan kali pertama dicoba di Indonesia. Tahun 2014 silam MUI yang saat itu diketuai Din Syamsuddin mengeluarkan fatwa yang mengharamkan perburuan satwa langka. Sejak beberapa tahun terakhir organisasi lingkungan, Islamic Foundation for Ecology and Environmental Sciences, juga menggandeng sejumlah pesantren dan sekolah di Indonesia untuk mengkampanyekan program School4Trees.

Kenapa agama tiba-tiba menjadi primadona untuk kampanye lingkungan? Menurut Media Zainul Bahri, dosen studi agama-agama di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, karena Islam menyimpan segudang pesan pelestarian lingkungan. "Kalau di al-Quran malah ada banyak ancaman. Jadi Allah menyalahkan manusia jika terjadi kerusakan lingkungan," tuturnya kepada DW.

Menurutnya selama ini pesan tersebut cenderung dilupakan karena "belum adanya masalah lingkungan" seperti yang terjadi saat ini. Sebab itu "tema-tema pengajaran dari tahun 1950an sampai sekarang lebih banyak bicara tentang soal-soal teologis yang pusatnya manusia, muslim dan non-muslim."

Agama pernah berperan menyalamatkan lingkungan di negara lain. Pada 2008 silam, kelompok konservasi berideologi sekuler The Alliance for Religions and Conservation (ARC) meluncurkan proyek lingkungan dengan menggandeng pemuka agama lokal buat mengajak nelayan berhenti menggunakan bahan peledak untuk mencari ikan di pulau Pemba, Tanzania.

"Ide konservasi ini tidak datang dari orang kulit putih," kata seorang nelayan yang bersedia mengikuti program pelestarian ketika diwawancara The Christian Science Monitor saat itu. "Tapi dari al-Quran," imbuhnya.

Kini kitab suci umat muslim diharapkan bisa menyelamatkan Indonesia dari dampak negatif kerusakan lingkungan. Namun tanpa keterlibatan organisasi konservasi, pemuka agama akan kesulitan mengolah isu yang selama ini terlupakan. "Banyak ustad atau kyai yang tidak punya pemahaman memadai tentang bagaimana alam bekerja dan bagaimana harus menjaga ekosistem," kata Media Zainul Bahri.

Tugas tersebut kini diemban Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah. Bersama Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia itu mendeklarasikan Gerakan Pengurangan Sampah Kantong Plastik di Jakarta, Rabu (6/6).

"Intinya kita ingin mengajak umat agar sadar bahwa komitmen ini juga sesuatu yang Islami. NU sendiri sudah banyak mengupayakan pengurangan sampah plastik, seperti daur ulang atau dengan bank sampah termasuk sosialisasi gaya hidup tanpa plastik,” kata Direktur Bank Sampah Nusantara LPBI NU Fitria Ariayani kepada Media Indonesia.

rzn/yf (kompas, detik, cnn, bbc)