1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikUkraina

Lima Hal dari Perang Ukraina yang Mengubah Dunia

Sonya Angelica Diehn
3 Juni 2022

Rusia menginvasi Ukraina 100 hari yang lalu. Invasi teritorial pertama ke sebuah negara berdaulat di Eropa dalam 80 tahun telah meninggalkan jejaknya — dengan beberapa dampak yang dirasakan di seluruh dunia.

https://p.dw.com/p/4CB4D
Demonstrasi menentang kenaikan biaya hidup di UK
Foto: Jeff J Mitchell/Getty Images

Ketika Rusia menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022, hal itu adalah perang agresi skala besar pertama di Eropa sejak Perang Dunia II. Perang yang tak terbayangkan bagi banyak orang ini telah berdampak luas pada tatanan dunia. Berikut adalah lima hal yang berubah akibatinvasi Rusia ke Ukraina.

Arus pengungsi

Sejak invasi Rusia, sekitar 6,8 juta warga Ukraina telah meninggalkan negara mereka. Arus pengungsian juga membawa setidaknya 7,7 juta warga Ukraina mengungsi ke wilayah lain yang aman di negara mereka.

Setelah mengungsi ke negara tetangga, UNHCR menyebut setidaknya 3 juta pengungsi Ukraina melanjutkan perjalanan mereka ke wilayah lainnya. Di luar Polandia, saat ini Jerman dan Republik Ceko tercatat sebagai negara yang paling banyak menampung pengungsi. Jerman saat ini menampung 727.000 pengungsi dan Republik Ceko menampung 348.000 pengungsi.

Hampir 2 juta orang Ukraina telah kembali ke negara mereka sejak pertama kali melarikan diri dari perang. Meski demikian, menurut UNHCR beberapa di antara pengungsi saat ini bolak-balik dari negara tetangga ke negara mereka untuk mengungsi.

Para pengungsi dari Ukraina di sejumlah negara Uni Eropa memanfaatkan sistem sosial yang ada di negara tujuan. Untuk beberapa waktu, para pengungsi yang telah menetap di negara baru umumnya sangat bergantung dengan jaminan sosial di negara tersebut.

Krisis pangan

Ukraina adalah salah satu lumbung pangan di Eropa. Negara itu memproduksi sekitar setengah dari minyak bunga matahari dunia, menyuplai 15 persen dari kebutuhan jagung dunia, dan 10 persen gandum dunia. Konflik telah memutus ekspor produk-produk dari Ukraina. Hal ini tidak lepas dari upaya Rusia yang terus memblokade jalur-jalur ekspor dan perdangangan Ukraina di Laut hitam.

Cengkeraman ini terutama dirasakan di negara-negara yang bergantung pada impor biji-bijian dan minyak goreng Ukraina, seperti Mesir dan India. Namun, efek konflik ini jauh lebih luas. Beberapa pakar memperingatkan bahwa konflik, bersama dengan cuaca ekstrem akibat perubahan iklim dan guncangan ekonomi akibat pandemik akan memicu krisis pangan global.

PBB memperingatkan bahwa tingkat kelaparan di seluruh dunia telah mencapai "tingkat tertinggi baru", menambahkan bahwa puluhan juta orang dapat menghadapi kelaparan jangka panjang akibat perang. Pada Mei, sekitar 23 negara telah memberlakukan pembatasan ekspor makanan. Hal ini sebagai indikasi memudarnya ketahanan pangan.

Keamanan energi

Sebelum perang berkecambuk, Rusia telah menjadi sumber energi utama bagi seluruh Eropa. Rusia adalah pengekspor gas alam terbesar di dunia, pemasok minyak mentah terbesar kedua, dan pengekspor batu bara terbesar ketiga.

Tiga perempat dari gas produksi Rusia dan hampir setengah dari minyak mentahnya telah dikirim ke Eropa. Pada tahun 2020, minyak, gas, dan batu bara Rusia menyumbang seperempat dari konsumsi energi Uni Eropa (UE).

Namun, setelah Rusia menginvasi Ukraina, UE berusaha untuk mengakhiri ketergantungannya pada energi Rusia. "Kami tidak bisa mengandalkan pemasok yang secara eksplisit mengancam kami," kata Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen pada Maret lalu.

Pada bulan Maret, Komisi Eropa menguraikan niat untuk mengakhiri kebergantungan UE sepenuhnya dari bahan bakar fosil Rusia pada tahun 2030. UE juga berencana untuk secara drastis mengurangi penggunaan gas Rusia sebesar dua pertiga pada akhir tahun ini.

Memaksimalkan penyimpanan gas adalah salah satu poin dalam rencana itu. Impor gas alam cair, misalnya dari Amerika Serikat merupakan opsi lain. Sementara itu, beberapa ahli memperkirakan potensi kekurangan gas hingga kemungkinan sistem ‘penjatahan' yang akan berlaku.

Banyak yang melihat krisis tersebut sebagai peluang bagi UE untuk tidak hanya membebaskan diri dari ketergantungan pada energi Rusia, tetapi juga memenuhi komitmen blok tersebut terhadap perlindungan iklim dengan membangun energi terbarukan dan meningkatkan efisiensi energi. Namun, ada batasan seberapa cepat hal ini dapat dilakukan. Kebijakan ini telah menciptakan lonjakan permintaan energi yang berasal dari luar Rusia dan membuat harga energi melonjak tajam.

Kenaikan harga dan inflasi

Kekurangan stok pangan dan energi telah berdampak besar pada perubahan dalam kehidupan banyak orang sejak perang Ukraina dimulai, yakni kenaikan harga. Hal ini tidak lepas dari hukum ekonomi di mana ketika suplai barang menipis, nilainya akan meningkat. Hal ini juga berdampak juga pada harga pangan dan bahan bakar yang ikut melambung sejak perang.

Harga makanan khususnya melonjak. Indeks harga pangan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), menyebut harga komoditas pangan telah mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada Maret 2022 lalu.

Di sisi lain, inflasi yang ditandai dengan daya beli masyarakat berkurang telah menjadi tolok ukur ekonomi. Saat ini di seluruh dunia, inflasi telah terjadi selama lebih dari dua kali lipat selama satu tahun terakhir. Organisasi Perburuhan Internasional di zona Eropa mencatat inflasi mencapai rekor tertinggi pada 8,1 persen pada bulan lalu.

Namun, inflasi diperkirakan akan memukul negara-negara berpenghasilan rendah lebih keras lagi. Sementara pandangan IMF baru-baru ini memproyeksikan inflasi sebesar 5,7 persen untuk negara-negara industri dan 8,7 persen untuk negara-negara berkembang. Sementara itu, para ahli memperkirakan bahwa harga bisa tetap tinggi untuk tahun-tahun mendatang.

Perang Siber dalam Konflik di Ukraina

Kebangkitan NATO

Invasi Rusia ke Ukraina juga berpengaruh pada isu geopolitik. Beberapa ahli memperkirakan munculnya perpecahan baru menjadi blok geopolitik dan ekonomi Timur dan Barat, dengan Rusia dan Cina di satu sisi, dan Uni Eropa dan AS memimpin di sisi lain.

Pakta Keamanan Atlantik Utara yang dikenal sebagai NATO, didirikan setelah Perang Dunia II pada tahun 1949 dan menyatukan AS, Kanada, dan 10 negara Eropa. Sebagai anak dari Perang Dingin, ia menjadi semacam payung bagi demokrasi dan pasar bebas di Eropa, dengan ekspansi besar-besaran ke timur pada tahun 2004.

NATO dalam perjanjiannya menjabarkan prinsip pertahanan kolektif. Ini artinya, jika ada anggota yang diserang, akan dianggap sebagai serangan terhadap seluruh anggota yang lain. Sejumlah analisis menilai perang di Ukraina membuat aliansi militer paling kuat di dunia sekarang menjadi pusat perhatian. Hal ini tidak lepas dari ketakutan negara lain pada ambisi imperialis Rusia di bawah kekuasaan Putin. Finlandia dan Swedia baru-baru ini mengumumkan niat mereka untuk bergabung dengan NATO sebagai wujud dari ketakutan itu.

Sementara, Vladimir Putin melihat NATO sebagai ancaman bagi Rusia dan telah berulang kali memperingatkan konsekuensinya jika aliansi itu mengizinkan Ukraina untuk bergabung. Para pengkritik NATO mengatakan ekspansi yang dilakukan pakta ini ke timur merupakan provokasi.

NATO telah memasok Ukraina dengan senjata dan peralatan militer, meskipun telah menolak permintaan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy untuk memberlakukan zona larangan terbang di negara itu. Untuk saat ini, NATO melanjutkan tariannya yang halus untuk tetap melangkah dengan ringan sehingga tidak akan memicu Perang Dunia III.

(rs/yf)