1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Liao Yiwu - Penulis Sejarah Kelas Bawah Cina

Matthias Bolinger15 Oktober 2012

Minggu (14/10/12), Liao Yiwu menerima Hadiah Perdamaian dari Ikatan Penjual Buku Jerman. Penulis Cina ini menarik sisi tergelap dari Cina menuju cahaya dan memberikan suara kepada mereka yang tidak memilikinya.

https://p.dw.com/p/16Pyi
Foto: Lin Yuli

Amarah merebak di Liao Yiwu pada saat aksi protes di lapangan Tiannanmen mulai digelar pada tahun 1989. Kemarahannya bukan tertuju pada pemerintahan atau korupsi, juga bukan terhadap rakyat yang berdemonstrasi di jalanan. Melainkan sebuah kelompok penyair yang menamakan dirinya “penyair obskur”. Dalam sebuah pertemuan sastrawan bawah tanah, kelompok itu secara verbal melecehkan kelompok sastrawan, di mana ia bergabung. Dengan kesal ia pulang kampung, menghabiskan waktu bersama beberapa teman, sementara di Beijing situasi terus meruncing.

"Tembak! Tembak!"

Lalu pada 3 Juni 1989, Yiwu menerima kabar bahwa panser sudah mulai bergerak ke tengah kota Beijing. Ia pun tergerak menulis puisi. "Pembantaian“ dengan sarkastis mengomentari perkembangan di Tiannanmen. "Tembak! Tembak! Orang-orang tua, anak-anak, tembaki para perempuan. Juga mahasiswa, pekerja, guru, tembaki itu penjual dan pengasong. "Tembaki mereka! Tembaki!“.(...) Tentara menembaki mereka semua, Begitu indah wajah mereka di antara gelembung busa yang membanjir"

Puisi itu dia ciptakan pada malam menjelang 4 Juni di propinsi Sezhuan, ribuan kilometer jaraknya dari Beijing. Bagai ramalan, beberapa jam kemudian panser-panser militer itu mulai menembaki para demonstran. Fantasi kekerasan dalam puisi Yiwu menjadi kenyataan. Empat tahun lamanya Liao Yiwu ditahan akibat menulis puisi itu. Di kamp tahanan ia dipaksa membanting tulang. Program "pendidikan kembali lewat bekerja“ ternyata mengubahnya. Ia tidak lagi menulis puisi. "Di kamp tahanan saya betul-betul dididik ulang," tutur Yiwu, "dari penyair saya berubah menjadi jurnalis, yang merekam kondisi zaman."

Penulis yang hari Minggu (14/10) ini di Frankfurt, menerima penghargaan Perdamaian dari Ikatan Penjual Buku Jerman, bukan lagi penyair avant-garde seperti sebelumnya. Setelah masa tahanannya ia menjadi seorang pengamat dan jurnalis. Ia bercerita tentang orang-orang yang pernah ditemuinya, orang-orang yang berada di lapisan paling bawah masyarakat: pelacur, tahanan, penjaga WC, perias jenazah. Ia merasa sebagai bagian dari lapisan iu. "Tidak sulit mengajak mereka bercerita," ungkapnya, "Saya pernah dipenjara dan telah dua kali bercerai. Di mata mereka, situasi saya lebih buruk dari mereka."

Buchcover Liao Yiwu Fräulein Hallo und der Bauernkaiser
Kover buku "Nona Hallo dan orang kecil"

Neraka yang Tak Terbayangkan

Beberapa cerita itu diterbitkan dalam buku "Nona Hallo dan orang kecil: masyarakat kelas bawah Cina" , yang 2009 juga diterbitkan dalam Bahasa Jerman. Tahun 2011 lalu setelah berada dalam eksil di Jerman, Liao Yiwu menerbitkan apa yang ia sebut sebagai karya utamanya. "Untuk satu lagu dan ribuan lainnya" menggambarkan pengalamannya di penjara. Setebal 500 halaman, buku itu melaporkan sadisme para penjaga dan brutalitas antara para tahanan, yang menjadikan penjara bagai neraka. Secara rinci diceritakannya, penyiksaan terhadap tahanan-tahanan baru.

Sebelum melarikan diri ke Jerman, pemerintah Cina mengancam akan menjebloskan Yiwu kembali ke penjara, apabila ia menerbitkan buku ini di luar negeri. Naskah ceritanya pernah dua kali disita, dan setiap kali ia menulisnya ulang. "Tentu saja berat dibebani rasa takut bahwa sebuah karya bisa dijadikan alasan untuk dipenjara lagi," tuturnya, "Tapi ketakutan yang lebih besar adalah untuk dilupakan. Karena bila berhenti menulis, maka seluruh masa di penjara itu akan kehilangan makna dan kehidupan menjadi sia-sia“

Mengenang para Perusuh

Dalam buku terbarunya "Peluru dan Opium", Liao Yiwu kembali ke pembantaian di Lapangan Tiannanmen pada tahun 1989. Kembali ia memberikan suara kepada mereka, yag di Cina kini telah terlupakan. Liao telah mewawancari para korban selamat dari pembantaian 4. Juni itu. Rangkaian pembicaraan itu diterbitkan dalam bukunya. Kali inipun bukan suara para mahasiswa dan kaum intelektual yang disorotinya, melainkan pendapat para warga biasa yang maju ke depan untuk menghalangi panser-panser militer itu. Pemerintah Cina mencap ribuan orang sebagai perusuh, banyak yang kemudian dihukum mati atau terpaksa berahun-tahun mendekam di penjara. Para "perusuh" ini kemudian begitu saja dilupakan. Padahal hukuman mereka biasanya lebih berat daripada yang dijatuhkan pada kaum mahasiswa dan intelektual, penyulut gerakan itu.

Bildergalerie China Geschichte Niederschlagung der Demokratiebewegung Tiananmen
Liao: "Telah tiba waktunya untuk mengenang mereka"Foto: AP

Dari ribuan laporan mengenai pembantaian Tiannanmen yang terbit di lua negeri, hanya ada segelintir yang menyebutkan keberadaan mereka. Begitu ungkap Liao Yiwu. "Orang-orang kecil terpaksa menanggung beban yang paling berat. Waktunya telah tiba untuk mengenang mereka kembali."