1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

290311 Leiko Ikemura

12 April 2011

Leiko Ikemura termasuk perupa kontemporer terpenting dari Jepang. Di Jerman, ia menjual karyanya dan menyumbangkan hasil penjualan kepada para korban tsunami.

https://p.dw.com/p/10rsm
"Wolke" karya Leiko IkemuraFoto: Leiko Ikemura

„Welle“ atau gelombang, itu nama sebuah lukisan Leiko Ikemura dari tahun 2007. Lukisan itu menunjukkan seorang gadis berambut pirang yang mengenakan baju berwarna putih. Gadis itu berdiri di depan sebuah gelombang raksasa berwarna gelap. Langit kelihatan hitam pekat. Pemandangannya tampak menakutkan. Lukisan ini mengacu pada sebuah lukisan dari ukiran kayu dari perupa Jepang ternama, Katsuhika Hokusai dari abad ke-18. Namun dalam kaitannya dengan bencana di Jepang, lukisan itu membawa arti yang lain. Di sini Leiko Ikemura kelihatannya seakan-akan sudah menduga kedatangan tsunami yang dahsyat itu.

Kekuatan alam sejak dulu merupakan tema besar bagi seniman perempuan usia 59 tahun itu. Dan ini juga punya latar belakang otobiografis. Ikemura mengetahui bahwa alam tidak dapat dikendalikan, "

Kami hidup langsung berhadapan dengan laut. Air mengelilingi kami dari semua arah. Di satu sisi ini indah, tetapi alam itu begitu sulitnya untuk ditebak. Selalu ada ketakutan yang mendalam bahwa sesuatu akan terjadi. Tapi kekuatan alam tidak hanya negatif. Saya juga menganggapnya luar biasa, bila kita sangat menghormatinya. Namun risikonya juga sangat tinggi.”

20 tahun yang lalu Leiko Ikemura datang ke Jerman setelah sebelumnya sempat tinggal di Spanyol kemudian di Swiss. Saat ini ia menetap di Köln dan juga di Berlin, di mana ia menjadi dosen di perguruan tinggi senirupa, Kunsthochschule Berlin. Di Berlin, ia jberkenalan dengan banyak orang Jepang yang kemudian menjadi temannya. Mereka kini merencanakan untuk mengumpulkan uang bagi korban bencana tsunami di Jepang.

Bagi Ikemura, tanggal 11 Maret 2011 itu telah mengubah seluruh dunia, “Ini tidak hanya merupakan masalah Jepang, melainkan juga masalah planet bumi. Jepang tentunya sangat menderita melalui Hiroshima dan Nagasaki. Tragisnya saat ini adalah karena Jepang sekali lagi menghadapi masalah atom. Tetapi, kenapa kita menerima semuanya ini begitu saja?”

Tradisi Jepang dan kosmos gambaran-gambaran Eropa menyatu dalam karya seni Leiko Ikemura. Hal ini tercermin secara sempurna dalam karya lukisan dalam buku-buku seni dan lukisannya yang kini dipamerkan di Troisdorfer Bilderbuchmusem, di dekat Bonn. Ikemura menyebut dorongan yang dirasakannya untuk menoreh garis-garis di atas kertas, sebagai perasaan “seperti dalam pertarungan samurai” yang muncul sebelum dia sempat berpikir.

Pada tahun 80-an sebuah buku berisikan lukisan diciptakannya untuk tema “Kucing-kucing liar dan jinak”. Baginya kucing adalah sebuah simbol untuk kehidupannya sendiri dalam perjalanan antara berbagai budaya dan tahap kehidupan.

Dalam karya siklus terbarunya yang mengangkat judul berbahasa Spanyol “todo y nada”, segalanya atau sama sekali tidak, ia menyelami permasalahan alam. Dengan torehan-torehan yang menyimpan makna ia melukis misalnya pemandangan-pemandangan dengan awan gelap yang ditiup oleh angin kencang. Tuturnya, “Juga pada karya saya “Todo y nada” saya bertanya, bagaimana sampai ide itu bisa lahir. Munculnya seperti sebuah energi yang sangat kuat, seperti muntahan dari dalam tubuh saya sendiri. Mungkin saya mendapat ilham tanpa menyadarinya.”

Leiko Ikemura tampak bingung bila berbicara tentang peristiwa di Jepang. Dia merasa sedih, namun juga heran melihat bagaimana tenangnya perilaku mereka. Sementara di Jerman demonstran anti nuklir ramai turun ke jalan, hanya sedikit sekali orang di Jepang yang melancarkan protes atas penggunaan tenaga nuklir. Kembali Ikemura, “Mungkin mereka masih schock. Saat ini semua berpikir bagaimana untuk selamat dan mencari pihak yang bertanggung jawab. Tetapi saya harap, mereka nantinya akan memikirkan aksi-aksi protes semacam itu.”

Leiko Ikemura akan ke Jepang bulan depan untuk memimpin sebuah workshop. Sebuah pameran besar dari karyanya direncanakan digelar di Tokyo Agustus mendatang. Sekarang pun ia sudah merasa gelisah. Tetapi yang penting baginya adalah pembangunan kembali tanah airnya, dan budaya juga berperan dalam upaya tersebut. Ia jelaskan, “Kehidupan terus berjalan, apalagi sekarang. Meskipun sedikit yang dapat kami lakukan, tapi itu juga sudah berarti sesuatu.”

Sabine Oelze / Christa Saloh
Editor: Edith Koesoemawiria