1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

020709 Amnesty Gaza

2 Juli 2009

Ofensif Israel ke Jalur Gaza akhir tahun lalu adalah tindakan penghancuran yang sengaja tidak mengindahkan jatuhnya korban jiwa sipil. Demikian menurut laporan organisasi HAM Amnesty International (AI).

https://p.dw.com/p/IfUN
Foto: AP

Laporan organisasi HAM Amnesty International menggambarkan kengerian ofensif Gaza yang dilancarkan Israel akhir tahun lalu. 117 halaman mendokumentasikan kematian, penderitaan dan kehancuran yang mengungkung warga Jalur Gaza akibat ofensif militer Israel yang berlangsung selama 22 hari.

Dalam laporan itu tercantum, besar dan intensitas serangan militer Israel tidak ada tandingannya. Ofensif Israel tersebut menelan 1.400 korban jiwa, di antaranya ratusan warga sipil dan sedikitnya 300 anak-anak. Ratusan gedung hancur dan ribuan warga Jalur Gaza kehilangan seluruh harta bendanya.

Dalih operasi militer tetap tidak cukup untuk membenarkan amukan yang membawa kehancuran itu. Justru sebaliknya, anggota Amnesty International yang dikirim ke Jalur Gaza malah menemukan bukti bahwa kerusakan hebat terjadi karena disengaja dan tanpa pandang bulu. Akibatnya, banyak warga sipil yang tidak bersalah menjadi korban.

Misalnya di Jebalia, di utara Jalur Gaza. Lima anak perempuan yang berusia antara empat dan 17 tahun tewas di bawah reruntuhan rumahnya pada tanggal 29 Desember. Rumah mereka ambruk karena mesjid yang terletak persis di samping rumah itu menjadi sasaran bom. Mesjid itu diduga merupakan tempat berkumpul anggota Hamas. Korban lainnya jatuh saat Israel menggunakan senjata presisi tinggi, senjata yang biasa digunakan militer Israel untuk membunuh target secara terarah, demikian menurut laporan Amnesty.

Temuan Amnesty International sesuai dengan hasil penelitian yang diajukan organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) dua hari lalu. Laporan itu menyelidiki tentang penggunaan pesawat tak berawak yang biasanya digunakan untuk mengintai. Di Jalur Gaza, pesawat pengintai itu juga dimanfaatkan sebagai senjata. Pakar senjata organisasi Human Rights Watch Marc Garlasco:

"Selama operasi militer Israel, sedikitnya 87 warga sipil tewas karena pesawat tak berawak Israel. Senjata itu adalah senjata paling terarah yang dimiliki militer manapun di dunia. Perlengkapan optisnya luar biasa, orang yang mengoperasikannya dapat melihat dengan jelas di mana pesawat berada dan apakah sasaran yang akan diserang adalah target militer atau sipil."

Israel bertanggung jawab atas sejumlah kejahatan perang berat, kata dokter dan politisi Palestina Mustafa Barghouti. Di siaran Bahasa Inggris stasiun televisi Al Jazeera Barghouti menuduh Israel menyerang warga sipil dan menghalang-halangi tenaga medis yang hendak merawat korban. Selain itu, Israel menggunakan senjata ilegal seperti fosfort. Barghouti menambahkan, Israel sadar telah melakukan kejahatan perang, karena itu Israel menolak penyelidikan oleh organisasi internasional:

"Kami hanya ingin agar kebenaran terungkap. Tapi, kami juga ingin masyarakat internasional bereaksi atas kebenaran itu. Tidak dapat diterima, bila Israel diizinkan bertindak seolah-olah hukum internasional tidak berlaku bagi mereka. Keadaan tanpa hukum ini tidak dapat diterima karena akan menghancurkan masa depan, termasuk masa depan Israel."

Awal pekan ini, penyelidik khusus PBB Richard Goldstone berada di Jalur Gaza untuk memeriksa tuduhan kejahatan perang. Tanya jawab dengan korban dan saksi mata ofensif militer Israel disiarkan langsung di sejumlah stasiun televisi Arab. Israel menolak untuk bekerja sama dengan praktisi hukum asal Afrika Selatan yang bekerja sebagai jaksa penuntut di Mahkamah Kriminal Internasional di Yugoslavia dan Ruanda di tahun 90an.

Organisasi HAM Amnesty International juga memeriksa situasi di Israel Selatan. Sebelum dan selama ofensif militer Israel berlangsung, ratusan roket kecil menghantam kawasan itu. Roket yang ditembakkan dari Jalur Gaza itu menewaskan tiga warga sipil Israel.

Bettina Marx/Ziphora Eka Robina
Editor: Luky Setyarini