1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

KTT Iklim di Bangkok Gagal Capai Kemajuan

9 Oktober 2009

KTT Iklim di Bangkok berakhir tanpa kemajuan berarti. Para delegasi memang berhasil mencapai terobosan dalam merumuskan teks rancangan perjanjian, namun sejumlah tema belum dibahas tuntas.

https://p.dw.com/p/K3KF
Kepala Sekretariat Iklim PBB, Yvo de BoerFoto: AP

Menjelang berakhirnya konferensi di Bangkok, delegasi Amerika Serikat kembali menegaskan bahwa pihaknya berkeinginan mengikat diri dalam sebuah perjanjian iklim yang baru. Pernyataan tersebut sekilas tampak sebagai isyarat baik, tapi jelas usang dan tidak bersifat resmi.

Pasalnya perjanjian iklim yang sejatinya akan disahkan pada KTT Iklim di Kopenhagen Desember mendatang dan akan menggantikan Protokol Kyoto tahun 2012, harus dapat diukur, diandalkan dan mengikat. Soal hal itu para kepala negara dan pemerintahan telah sepakat, terutama sejak KTT Iklim di New York, demikian Kepala Sekretariat Iklim PBB, Yvo de Boer.

“Di New York para kepala negara dan pemerintahan telah berjanji akan menyambut perjanjian iklim baru yang secara prinsip mengandung seluruh elemen bagi sebuah perjanjian yang sukses. Tapi di sisi lain, keterikatannya secara hukum harus dapat diuji dan digugat. Itu diperlukan jika dunia ingin dapat bereaksi cepat atas perubahan iklim yang berbahaya," ujarnya.

Meski pertemuan di Bangkok mampu menghasilkan kemajuan dalam perumusan teks perjanjian, sejumlah isu penting masih diabaikan, yakni soal pembiayaan dan sasaran penurunan emisi jangka menengah.

Hingga tahun 2050, demikian sasaran jangka panjang yang disepakati negara-negara industri maju, dunia harus mampu menurunkan kadar emisi CO2 hingga 80 persen dibandingkan tahun 1990. Namun hingga saat ini dunia belum mau menyepakati sasaran penurunan kadar emisi pada tahun 2020, kecuali sebuah konsensus bahwa tidak satu negarapun akan mengambil langkah pertama jika yang lain tidak segera mengikuti.

Cuma negara produsen minyak Eropa, Norwegia yang mencoba mengubah sikap di hari terakhir perundingan dan berjanji akan mengurangi kadar emisinya sebesar 40 persen hingga tahun 2020.

Masalah penting lainnya adalah dukungan finansial bagi negara-negara berkembang. Pasalnya negara-negara tersebut paling rentan terkena dampak perubahan iklim dan membutuhkan teknologi serta dana untuk membiayai kebijakan penurunan gas rumah kaca dan investasi untuk teknologi yang ramah lingkungan.

Bantuan finansial tersebut harus tercantum dalam perjanjian baru, kembali Kepala Sekretariat Iklim PBB Yvo de Boer. “Orang tidak akan bisa memotong kue tanpa pisau. Sama halnya seperti dunia ingin mencapai perjanjian global tanpa peralatan yang memadai."

Waktu yang ada saat ini tidak banyak. Bumi kini berada di tepi bencana iklim. Namun para ilmuwan meyakini, dunia masih dapat menahan laju pemanasan global dengan menurunkan suhu rata-rata bumi sebanyak dua derajat.

Sasaran tersebut juga disepakati oleh kepala negara dan pemerintahan di New York. Tapi sayangnya belum ada langkah-langkah kongkrit.

„Waktu yang kita miliki sangat sedikit. Antara 2015-2020 kita harus mencapai titik klimaks atau titik balik, setelahnya kita harus menurunkan emisi CO2. Karena jika tidak, kita tidak akan lagi mampu memecahkan masalah ini dan gagal mencapai sasaran dua derajat. Kita membutuhkan pionir dan kepemimpinan, yakni pembuat kebijakan di tingkat internasional untuk mencapai kemajuan," ujar Dirk Messner, Direktur Institut untuk Politik Pembangunan dan salah seorang perumus studi CO2 di Jerman.

Pada 7 Desember Pertemuan Puncak Iklim di Kopenhagen akan dibuka. Hingga saat itu para delegasi cuma memiliki lima hari untuk merumuskan rancangan pernjanjian iklim, yakni pada KTT di Barcelona awal November mendatang.

Helle Jeppesen/Rizki Nugraha

Editor: Dyan Kostermanns