1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

100811 China Führungsrolle

10 Agustus 2011

Kejayaan Amerika sudah lewat. Kini saatnya bagi Asia. Sejak lama kalangan pakar memprediksi hal tersebut. Dapatkah Cina menggantikan AS sebagai negara adidaya politik dunia?

https://p.dw.com/p/12EL6
A Chinese investor checks stock prices next to an electronic stock board at the Zhong Xin securities stock trading house in Beijing, China, Friday, Aug. 5, 2011. Asian stock markets tumbled Friday amid fears the U.S. may be heading back into recession and Europe's debt crisis is worsening. (AP Photo/Andy Wong)
Bursa di CinaFoto: dapd

Setiap peluang yang ada digunakan oleh Cina untuk membuktikan betapa hebatnya negeri itu yang berhasil menjadi setara dengan dunia barat. Cina menyelenggarakan olimpiade, pameran dunia, mengirimkan astronot ke alam semesta dan kapal selam penelitian ke laut dalam serta membangun jaringan kereta cepat terbesar di dunia dalam waktu hanya lima tahun.

Zaman, dimana Beijing menjadi murid panutan pemerintah Amerika Serikat, telah berakhir, tutur Jin Canrong, profesor Universitas Rakyat di Beijing.„Situasinya tidak seperti lima tahun yang lalu. Kini Cina menempatkan diri setara dengan AS. Di masa lalu AS yang selalu menuntut dari Cina. Dan Cina saat itu menuruti saja kemauan AS seperti layaknya murid yang menjawab pertanyaan gurunya. Dulu Cina memainkan peran pasif.“

Kini Cina lebih mandiri. Negeri tirai bambu itu kini merumuskan sendiri kepentingan utamanya. Khususnya menyangkut kawasannya. Tibet misalnya, diklaim oleh Cina sebagai kawasannya, begitu juga Taiwan yang disebutnya sebagai provinsi pembelot, papar David Zweig, pakar politik Universitas Hong Kong. „Cina sudah merasa dirinya semakin kuat dan bila memungkinkan Cina ingin mengahalangi AS menjual senjata kepada Taiwan. Sebaliknya, AS cemas akan upaya Cina yang menambah persenjataannya. Karena itu, AS memantau terus militer Cina, yang oleh Cina dikatakan sebagai campur tangan urusan dalam negeri Cina.“

Hal ini juga dikatakan oleh kader-kader Partai Komunis Cina tanpa tedeng aling-aling. Dikatakan, bahwa menteri luar negeri AS Hillary Clinton tidak berhak mendukung negara tetangga Cina seperti Vietnam dan Filipina dalam sengketa kawasan di Laut Cina Selatan. Ini merupakan konflik kawasan, kata pemerintah Cina. Dengan Jepang, Cina juga bertikai. Yang dipertikaikan adalah sebuah pulau kecil menyangkut hak mineral atas ladang minyak di bawah laut. Namun ketakutan bahwa Cina akan menjadi negara adidaya militer, tidak dapat dibenarkan oleh Profesor Jin Canrong. „Tidak ada orang Cina yang menyebut negaranya sebagai Global Player. Cina menggambarkan dirinya sebagai penguasa kawasan di Asia Timur. Yang memang memiliki pengaruh besar di seluruh dunia, tetapi belum menjadi sebuah kesatuan nasional. Soal Taiwan saja, hingga kini belum terselesaikan.“

Walaupun demikian, Profesor Jin sependapat dengan rekannya dari AS David Zweig. „Antara AS dan Eropa juga ada banyak masalah, tetapi pada dasarnya mereka saling percaya. Berbeda dengan AS dan Cina. Ada janji yang tidak dipenuhi seperti dalam konferensi iklim, pertemuan dengan Dalai Lama, pasokan senjata, semua itu membuat kedua pihak saling mencurigai karena ada kecemasan, ingin melebihi lawannya.“

Profesor Jin memprediksi masa mendatang yang akan dihadapi Cina. „Cina menyadari, kekuasaan yang diraihnya juga berarti tanggung-jawabnya bertambah. Dan Cina memang bersedia mengambil tanggung-jawab lebih banyak. Di sejumlah sektor Cina juga bekerja sama dengan AS seperti dalam memberikan bantuan bagi korban bencana, pemberantasan wabah, perang melawan terorisme serta bajak laut. Saya pikir di masa mendatang Cina akan mengambil lebih banyak tanggung-jawab lagi.“

Namun menurut David Zweig, Cina akan tetap mengejar sasaran utamanya yaitu menciptakan dan mempertahankan stabiliasi di dalam negerinya.

Frank Hollmann/Andriani Nangoy Editor: Hendra Pasuhuk