1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Krisis Pakistan Bisa Berujung Pada Kudeta Militer

Shamil Shams18 Januari 2013

Para pengamat tidak tutup kemungkinan militer Pakistan mengambil alih pemerintahan. Mahkamah Agung memerintahkan penangkapan Perdana Menteri. Aksi protes masih berlangsung.

https://p.dw.com/p/17LuI
Demonstrasi long march dipimpin oleh Tahirul Qadri
Demonstrasi long march dipimpin oleh Tahirul QadriFoto: DW

Aksi protes yang disebut sebagai ”long march” dipimpin oleh Tahirul Qadri, ulama yang punya warganegara ganda Pakistan dan Kanada dan baru saja kembali ke Pakistan. Qadri menuntut reformasi dalam sistem pemilihan parlemen yang direncanakan berlangsung bulan Mei tahun ini. Ia mengancam akan melumpuhkan parlemen dengan aksi-aksinya jika tuntutannya tidak dipenuhi.

Kekacauan politik makin besar setelah Mahkamah Pakistan hari Senin lalu (14/01) memerintahkan penahanan Perdana Menteri Raja Pervez Ashraf atas tuduhan melakukan korupsi. Tapi Ashraf dan pendukungnya menolak tuduhan itu dan menyatakan mereka tidak bersalah.

Organisasi non pemerintah Human Rights Commission of Pakistan (HRCP) mengeluarkan pernyataan bahwa penahanan Perdana Menteri akan mengancam sistem demokrasi di negara itu.

”Setiap upaya merongrong sistem demokrasi dalam kondisi sulit ini akan mengguncang integritas Pakistan dan menghancurkan perspektif generasi masa depan,” demikian dikatakan ketua HRCP Zohra Yusuf.

”Ada Rekayasa”

Banyak pengamat di Pakistan percaya bahwa bukan kebetulan kalau perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung muncul pada waktu bersamaan dengan aksi protes massal menentang pemerintah yang sedang mencapai puncaknya.

Aktivis hak asasi Asma Jahangir menyatakan, pihak-pihak yang ingin berkuasa sekarang sedang menggunakan kekuatannya. Menurut dia, ”long march” yang dilakukan Qadri dan perintah penangkapan yang dikeluarkan Mahkamah Agung ”sudah direncanakan sebelumnya”.

Pendukung Presiden Asif Ali Zardari dari PPP berpendapat, pihak yudikatif saat ini didukung oleh kelompok militer dan anggota dinas rahasia ISI sedang berusaha mengguncang supremasi parlemen dan pemerintahan sipil yang demokratis.

Dalam sebuah keputusan kontroversial bulan Juni tahun lalu, Mahkamah Agung Pakistan juga mendiskualifikasi Perdana Menteri saat itu, Yousuf Raza Gilani. Gilani kemudian harus meletakkan jabatan dan diganti oleh Raja Pervez Ashraf. Ketika itu, Gilani juga dituduh terlibat korupsi.

Pemerintah Tidak Populer

Para pengamat politik mengatakan, krisis terbaru yang melanda Pakistan lebih berbahaya dari sebelumnya, karena Pakistan sedang mempersiapkan diri menghadapi pemilu. Menurut pandangan mereka, kedatangan Qadri yang tiba-tiba dari Kanada dan keberhasilannya menggalang aksi protes dengan dukungan dana besar adalah sesuatu yang sudah direncanakan dengan baik.

PM Ashraf memimpin pemerintah yang tidak populer
PM Ashraf memimpin pemerintah yang tidak populerFoto: picture-alliance/dpa

Jurnalis senior di Karachi, Ghazi Salahuddin mengatakan kepada Deutsche Welle: ”Kebanyakan orang di Pakistan berpikir bahwa Qadri didukung oleh kelompok mapan, terutama kelompok militer.” Ia menambahkan, tidak tertutup kemungkinan akan ada kudeta militer dalam situasi ini. Pakistan sudah mengalami tiga kali kudeta militer dalam sejarahnya sejak didirikan 65 tahun lalu.

Salahuddin juga berpendapat, pemerintah saat ini memang tidak populer. Banyak orang yang tidak ingin pemerintah saat ini terus berkuasa. Walaupun begitu, ia tidak setuju dengan cara Tahirul Qadri mencoba menggulingkan kekuasaan.

”Pemerintahan PPP sudah gagal selama lima tahun terakhir. Ada aksi pembunuhan di Quetta dan cara pemerintah menangani insiden itu membuat banyak orang makin marah. Memang betul, pemerintah saat ini sedang mengalami guncangan”, demikian tanggapan Salahuddin.

Tapi peneliti dan pengamat politik Sartaj Khan percaya, kalangan liberal di Pakistan menentang Qadri karena dia sedang menentang status quo. ”Kaum liberal ingin menyelamatkan pemerintahan PPP yang korup dan mereka mau mempertahankan pemerintahan ini lima tahun lagi atas nama demokrasi. Namun yang penting dalam protes anti pemerintah ini sebenarnya bukanlah siapa Qadri, melainkan apa yang diperjuangkan. Orang sudah jemu dengan sistem yang sekarang.” Sartaj Khan selanjutnya menerangkan, pendukung PPP sekarang ingin menakut-nakuti orang dengan isu kudeta militer, supaya PPP bisa memperpanjang masa kekuasaannya.

Aktivis HAM di Islamabad, Tahira Abdullah berpendapat lain. Ia mengatakan, proses demokrasi selalu perlu waktu. Demokrasi hanya bisa dilakukan melalui pemilihan umum. ”Kami tahu bahwa penguasa sekarang korup. Tapi orang bisa mengganti mereka melalui pemungutan suara dalam pemilihan umum. Hanya pemilihan umum reguler yang bisa menjamin pemerintahan yang baik,” kata Abdullah.

Implikasi Regional

Para pengamat politik mengatakan, Amerika Serikat sebagai negara pemberi bantuan terbesar kepada Pakistan, mengawasi dengan cermat konflik antara India dan Pakistan di kawasan perbatasan di Kashmir. Di sana sudah terjadi beberapa kali kontak senjata antara pasukan perbatasan India dan Pakistan, dua negara yang memiliki senjata nuklir. Situasi makin rumit, karena saat ini negara-negara barat sedang menyiapkan penarikan pasukan dari Afghanistan tahun 2014.

Tentara India berpatroli di perbatasan ke Pakistan
Tentara India berpatroli di perbatasan ke PakistanFoto: AP

Ketegangan antara India dan Pakistan akan punya dampak negatif pada upaya proses perdamaian di Afghanistan. Para pengamat menekankan, kekacauan politik di Pakistan akan membahayakan stabilitas di kawasan itu. Zaman Khan, aktivis yang tinggal di Lahore mengatakan kepada DW: ”Sejarah Pakistan penuh dengan krisis politik semacam ini. Masyarakat internasional tidak percaya pada kami. Padahal situasi regional sangat kompleks. Perkembangan politik di Pakistan saat ini tidak bisa dilihat secara terisolasi.”

Pakistan saat ini sedang berjuang menghadapi krisis ekonomi dan pertempuran berdarah dengan kelompok militan yang dipimpin oleh Taliban.