1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

221211 Frankreich Türkei

23 Desember 2011

Turki, Kamis (22/12) menarik dubesnya dari Perancis dan menyatakan penghentian kerjasama politik dan militer antara kedua negara. Pemicunya adalah rancangan UU terkait pembunuhan etnis Armenia di Turki abad lalu.

https://p.dw.com/p/13Y0q
Demonstrators of France's Turkish community protest with Turkish flags outside the parliament in Paris, Thursday, Dec. 22, 2011. Lawmakers are to vote on a measure that would make it a crime in France to deny that the mass killings of Armenians in 1915 amounted to a genocide, a measure that could put France on a collision course with Turkey, a strategic ally. Turkey wants the killings left to historians and has lashed out at France, warning that it will withdraw its ambassador if the measure becomes law. On the Turkish flag is seen the picture of Mustafa Kemal Ataturk, founder of the new Turkey after WWW I.( AP Photo/Michel Euler)
Demonstrasi warga Perancis asal Turki di ParisFoto: dapd

Tahun 2001 Perancis secara resmi mengakui pembunuhan etnis Armenia yang dilakukan Turki pada awal abad lalu.  Majelis Nasional Perancis kini menyetujui rancangan UU yang menyatakan bahwa penyangkalan atas pengusiran dan pembunuhan etnis Armenia di Turki antara tahun 1915 dan 1917 akan terancam hukuman.

Reaksi pertama dari Ankara dapat diduga. Duta besar Turki di Paris langsung ditarik. Namun 50 anggota legislatif yang hari Kamis pagi (22/12) dengan suara mayoritas menyetujui rancangan UU tersebut, tidak mengindahkan tekanan dari Ankara.

Türkei Armenier Geschichte Genozid Völkermord Hinrichtung
Foto bersejarah genosida etnis Armenia tahun1915Foto: AP

Penjara setahun dan denda € 45.000

Valérie Boyer mengajukan UU itu setelah mendapat dukungan di Senat bahwa orang yang menyangkal pembunuhan etnis tersebut terancam hukuman penjara satu tahun dan denda € 45.000. Boyer adalah anggota partai konservatif UMP dari Presiden Nicolas Sarkozy. ia mengatakan: "Kami berulang kali mengatakan, teks ini tidak ditujukan kepada suatu negara tertentu. Tetapi, sikap sebuah negara tertentu yang mengetuk pintu Eropa tetapi juga mengancam Perancis untuk membalas dendam, agak bertentangan. Padahal kami hanya menerapkan hukum Eropa. Kini negara itu bahkan mengancam menerapkan sanksi ekonomi. Dengan begitu negara tersebut menginjak-injak perjanjian internasional."

Untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Majelis Nasional Perancis hari Kamis kelihatan dijaga ketat.  Polisi dikerahkan dan hambatan-hambatan dipasang. Sepanjang pagi sekitar seribu warga Perancis keturunan Turki melancarkan aksi unjuk rasa di depan parlemen. Seorang demonstran mengatakan: "Keseluruhan kelompok masyarakat tertentu di sini hendak dikriminalisasikan. Jumlah kami di Perancis sekitar lima hingga enam ratus ribu orang. Dan ini hanya dilakukan untuk mendapatkan suara warga Perancis keturunan Armenia."

Armenien Frankreich Genozid Völkermord Vertreibung Denkmal in Eriwan Nicolas Sarkozy und Serge Sarkisian
Presiden Perancis Nicolas Sarkozy dan Presiden Armenia Serge Sarkisian di monumen peringatan genosida warga Armenia di EriwanFoto: AP

Biarkan sejarawan mengurus soal sejarah

Argumen ini juga diperdebatkan di parlemen. Fraksi-fraksi memberikan kebebasan bagi anggota legislatif untuk memberikan suaranya dalam voting. Karena itu di semua lapisan politik terdapat suara minoritas jelas yang tidak menginginkan hukuman bagi penyangkalan pembunuhan etnis Armenia di Turki. Sepuluh tahun yang lalu sebuah UU disahkan yang menegaskan posisi Perancis, yaitu di Turki memang terjadi pembunuhan etnis Armenia.

Tidak lama setelah terpilih tahun 2007, Presiden Sarkozy mengukuhkan undang-undang ini dengan sebuah undang-undang lain. Senator senior dan pakar konstitusi, Robert Badinter tersenyum menanggapi UU yang dikeluarkan empat bulan menjelang pemilu presiden: "Jadwalnya kan jelas. Tidak ada hasrat mendadak, murni hanya untuk menulis sejarah, yang memicu para anggota legislatif untuk mengambil keputusan ini. Senat sudah pernah menolak permainan ini dan menyimpulkan bahwa hal semacam ini melanggar konstitusi. Biarkanlah sejarawan yang mengurus soal sejarah."

Johannes Duchrow/Christa Saloh-Foerster                                                                        Editor: Ayu Purwaningsih