1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

190608 Bangladesch Reiskrise

20 Juni 2008

Menghindari geliat para penadah, pemerintah Bangladesh bertahan dengan tak melepas beras murah.

https://p.dw.com/p/ENVk
Anak-anak terpaksa bekerja untuk keberlangsungan hidup
Anak-anak terpaksa bekerja untuk keberlangsungan hidupFoto: picture-alliance/Bildfunk

Harga beras tahun lalu di Bangladesh melonjak dua kali lipat. Ketika milisi „Bangladesh Rifles“ pekan ini menghentikan program menjual beras murah, harga beras naik lagi 4 hingga 5 Taka. Para kaum papa dan kelas menengah di Bangladesh menderita.

Seorang ibu rumah tangga menceritakan betapa tingginya harga beras. Dia harus mengeluarkan dana untuk kebutuhan pangan tiga kali lipat dari sebelumnya.

Juga para pedagang beras mengakui tinggínya harga beras saat ini.„Minggu ini saja kenaikan harganya 4 sampai 5 Taka, dibandingkan dengan minggu lalu. Kami menjual beras 38 Taka per kilonya, padahal setengah tahun lalu masih 26 Taka.“

Pengamat ekonomi Wahiduddin Mahmud tahu persis apa artinya semua itu bagi rakyat Bangladesh: “Sekarang kehidupan kaum miskin begitu tertekan, padahal sebelumnya 40 persen rakyat Bangladesh sudah menderita kekurangan kalori.“

Kebutuhan pangan Bangsladesh sangat bergantung pada impor beras. Terutama pada tahun ini, ketika negara itu tertimpa musibah badai Siklon dan banjir bandang. Mereka kesulitan mengimpor beras, karena kini harga besar di pasar internasional juga begitu mahal, setelah eksportir beras penting seperti India membatasi keran ekspornya.

Wahiduddin Mahmud mengritisi bahwa pemerintah Bangladesh tak sigap dalam menghadapi krisis beras ini dan lalai untuk membeli beras dari negara lain. Pengamat ekonomi lainnya Atiur Rahman melihat seharusnya pemerintah berkewajiban menangangi krisis ini:„ Tahun lalu kita sudah mengalami pengalaman buruk, kita tak dapat menjamin ketersediaan pangan. Harga kebutuhan pangan terus-menerus melonjak. Kita harus membeli beras dan menjual dengan harga murah bagi orang miskin.“

Menanggapi kritikan itu Direktur Jendral „Bangladesh Rifles“ yang dipercaya pemerintah menjual beras bersubsidi mengungkapkan pemerintah tak dapat berbuat apa-apa:„Pemerintah telah setuju untuk menghentikan sementara penjualan beras murah. Sebab ada kebijakan yang tidak mengizinkan kami membeli dan menjual dalam waktu bersamaan.“

Alasannya sederhana: para penadah bisa membeli beras-beras murah itu, untuk kemudian menjualnya balik pada pemerintah dengan harga tinggi. Menurut menteri keuangan Mirza Azizul Islam, baru pada bulan September nanti beras murah dapat dijual pada rakyat miskin.

Dengan pertimbangan itu, maka kini rakyat Bangladesh masih harus bertahan dengan harga beras yang mahal.

Kecuali masyarakat internasional membantu. Sebelumnya mereka telah melakukannya. Namun sejak tahun lalu bantuan untuk krisis pangan menurun drastis. Kembali ekonom Wahiduddin Mahmud berujar:"Masyarakat internasional tentu dapat menolong. Bila tidak lewat bantuan kebutuhan pangan, bisa dengan bantuan dana. Sebab semua subsidi pertanian atau pupuk, atau juga bahan bakar minyak telah begitu menggerogoti anggaran pembangunan Bangladesh.“ (ap)