1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Kota Materialstis yang Lupa Keadilan Sosial

Marco Kusumawijaya31 Januari 2017

Pengamat tata kota Marco Kusumawijaya mengingatkan, modernitas bukan sekedar materi, tapi kesadaran lingkungan, keadilan kemanusiaan dan kualitas hidup.

https://p.dw.com/p/1J6i7
Foto: Romeo Gacad/AFP/Getty Images

Indonesia sedang mengalami pertumbuhan kaum kelas menengah yang sangat pesat. Secara kuantitatif tidak istimewa. Ada hal lebih penting selain jumlah: keragaman sosial budaya. Di masa Suharto, kelas menengah Indonesia identik dengan keluarga pegawai negeri sipil (PNS), perwira menengah militer, dan para pedagang. Semuanya sangat tergantung kepada kontrak negara.

Kini kelas menengah Indonesia lebih banyak yang "independen": pemasok yang tidak tergantung pada kontrak pengadaan barang dan jasa untuk negara, karyawan industri barang dan jasa swasta, profesional berbagai bidang yang melayani masyarakat secara langsung, seniman yang bahkan karyanya tidak tergantung pada akusisi negara.

Yang menonjol juga latar belakang etnis kaum menengah itu kini beragam. Dulu pedagang hampir identik dengan "keturunan Tionghoa" di sebagian Indonesia. Sekarang tidak lagi. Sementara itu teknologi informasi mengubah pasar menjadi lebih besar dan mudah dijangkau untuk konsumsi maupun produksi.

Kelestarian ibukota

Kota Jakarta yang berpredikat ibukota, tentu berada paling depan dalam hal itu, sama seperti dalam banyak hal lainnya. Inilah yang bagaimanapun masih dan makin harus menjadi perhatian utama dalam menata (bukan hanya membangun) Jakarta sekarang, justru untuk masa depannya.

Penulis: Marco Kusumawijaya
Penulis: Marco KusumawijayaFoto: Privat

Kita perlu khawatirkan bukan kuantitas pertumbuhan, tetapi keberlanjutannya yang sehat. Hal itu sangat tergantung pada kualitas pertumbuhan dari awal. Yang harus tumbuh bukan hanya pendapatan dan pengeluaran kelas menengah yang kemudian secara terlalu mudah disalurkan di pusat-pusat belanja.

Yang harus dikhawatirkan adalah kelestarian kota sebagai sistem yang tergantung pada kohesi sosial internalnya dan metabolisme dengan sekitarnya. Yang pertama tergantung pada keadilan sosial dan peningkatan terus menerus kemampuan manusianya sebagai warga, yang kedua tergantung pada jasa lingkungan berupa air, udara dan pangan.

Karena itu, kebijakan dan program pembangunan perkotaan sebenarnya sangat sederhana dan harus sekaligus inklusif (tak boleh ada yang ditumbalkan) dalam memulihkan lingkungan dan memberdayakan warganya. Semuanya sekaligus secara progresif, bukan sekedar "dipertimbangkan" atau "kena dampak sekecil mungkin". Semuanya adalah kepentingan nasional yang paling tinggi.

Mayoritasnya kaum miskin – kelas menengah

Sebagai contoh, yang perlu tinggal di pusat kota justru mayoritas penduduk kota, yaitu setidaknya 80%nya, dari yang miskin sampai kelas menengah. Merekalah yang kehidupan sehari-harinya menentukan produktivitas ekonomi dan reproduktivitas sosial-budaya Jakarta, bila menghuni pusat kota dengan vitalitas.

Apa yang terjadi sekarang adalah sebaliknya: Tiap generasi hidup makin jauh dari generasi sebelumnya, makin ke pinggir kota ikut urban sprawl. Pusat-pusat kota Jakarta perlu revaluasi ruangnya, meningkatkan Koefisien Lantai Bangunan (KLB, FAR = Floor Area Ratio) dari rata-rata 2 menjadi 3 atau 4, terutama di kampung-kampung, sehingga kepadatan manusianya akan didukung dengan kepadatan ruang terbangun dan infrastruktur yang lebih banyak dan baik. Jangan sebaliknya menggusur orang dan menambah luas lahan, apalagi dengan reklamasi, hanya atas dasar pikiran linier bahwa pertumbuhan penduduk memerlukan perluasan lahan.

Pertumbuhan bukan hanya pertumbuhan pendapatan dan pengeluaran (yang hanya akan menghasilkan inflasi harga barang dan nilai diri), tetapi juga pertumbuhan kualitas aset dan manusia-warga, yang menumbuhkan kreativitas yang menjadi dasar antara lain bagi produktivitas.

Keadilan sosial perlu diperhatikan

Syaratnya adalah peningkatan kualitas aset terdasar suatu bangsa-negara: Tanah, air dan udara (lingkungan) dalam arti seharfiah mungkin. Kualitas manusia bukan hanya sebagai individu, tetapi juga sebagai masyarakat. Karena itu keadilan sosial menjadi prasyarat pula.

Suatu masyarakat tak mungkin sehat lestari kalau di dalamnya tidak ada keadilan. Semua ini sekarang nampak jauh dari harapan akan tercapai karena pembangunan yang menekankan hardware tanpa kesadaran akan relasi sosial justru makin merusak lingkungan dan keadilan.

Tantangan menghadapi materialisme memang tidak mudah. Semacam evolusi diperlukan, justru ketika kita sedang merasa mengalami yang seolah "revolusi" dalam menikmati kehidupan kemakmuran akhir-akhir ini yang ditandai oleh teknologi dan materi yang cepat sekali memperbaharui diri.

Tapi modernitas terbaru adalah justru kesadaran lingkungan, keadilan kemanusiaan dan kualitas hidup, yang dewasa iini sedang muncul dengan mantap. Sebentar lagi pendulum mungkin bergerak ke kiri. Siapa tahu, perubahan akan terjadi di Jakarta?.

Penulis:

Marco Kusumawijaya adalah seorang arsitek dan peneliti kota pada Rujak Center for Urban Studies. Kegiatannya antara lain: Pemula Peta Hijau (Green Map) di Indonesia pada tahun 2001 dan masih bertugas sebagi anggota dewan penasehat pada Green Map internasional hingga sekarang, dan Ketua Dewan Kesenian Jakarta periode 2006-1010. Buku-buku yang diterbitkan: Jakarta Metropolis Tunggang-langgang, Kota Rumah Kita, Siak Sri Indrapura, serta Mengubah Dunia, Wirausaha Sosial dan Kekuatan Gagasan.

@mkusumawijaya

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.