1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kopenhagen Kota Ramah Sepeda dan Lingkungan

21 Juli 2010

Akibat meningkatnya kawasan pusat kota yang semakin padat dan masalah polusi, banyak politisi mendorong penggunaan sepeda sebagai alat transportasi. Ibukota Denmark, Kopenhagen, dipandang sebagai panutan sebagai panutan.

https://p.dw.com/p/OPP9
Penggunaan sepeda juga menjadi bagian planologi kota KopenhagenFoto: www.kk.dk

Papan angka digital yang terlihat pada Jalan Dronningen Luise, sebuah jembatan jalan yang menghubungkan kawasan pusat Kopenhagen dengan kawasan kota Nörrebro menunjukkan angka yang terus berubah: 7451, 7455, 7460. Papan angka digital itu menunjukkan berapa pengendara sepeda yang sudah melewati titik tersebut.

Pukul 16.10 lalu lintas kegiatan pulang kantor dimulai. Di Kopenhagen ini terutama berarti, orang-orang naik sepeda pulang ke rumah. Kadang mereka tampak seperti untaian mutiara yang lewat, kadang tampak dalam gerombolan.

Jika lampu lintas menunjukkan warna merah, selalu tampak kerumunan dari 15, 20 pengendara sepeda yang berhenti, dan menunggu sampai lampu kembali hijau. Diantaranya Sara Pedersen. Arsitek berusia 30 tahun itu setiap hari mengendarai sepedanya dari kawasan kota Kopenhagen, Österbro ke tempat kerjanya di Bella Center. Pusat konferensi terbesar di Kopenhagen. Jarak yang ditempuhnya 8 kilometer satu kali jalan

"Di Kopenhagen ada tradisi, pergi ke kantor naik sepeda. Selain itu orang bisa menghirup udara segar, jika sehari penuh sudah harus duduk di kantor. Saya bisa merasakan kehidupan kota dan menikmati angin yang meniup wajah. Hampir semua rekan saya pergi naik sepeda, hanya sedikit yang punya mobil. Di Kopenhagen naik sepeda juga tindakan yang cerdik, karena dengan sepeda jarak tempuhnya lebih cepat!"

150 ribu warga Kopenhagen setiap hari pergi ke tempat kerja atau pendidikannya dengan sepeda. Ini meliputi 37 persen penduduk kota itu. Dan jarak yang ditempuh pada setiap hari kerja hampir 1,2 juta kilometer. Jumlah angka luar biasa yang membawa Kopenhgaen menempati posisi puncak dalam bersepeda.

Para pelobi penggunaan sepeda dan jurnalis datang ke ibukota Denmark tersebut guna mendiskusikan masa depan kota sepeda, Konferensi Velo City 2010. Dengan tingginya jumlah warga yang bersepeda, Kopenhagen dipandang sebagai panutan internasional.

Di Oksnehalle di kawasan kota Vesterbro berkumpul warga dari 59 negara, dengan satu sasaran. Membawa jiwa kota sepeda Kopenhagen ke negara asalnya. Misalnya Sandeep Arora, pengusaha becak di New Delhi atau Sung-A Kang dari Korea Selatan. Wartawati berusia 28 tahun itu datang untuk menunjukkan warganya di Seoul, bagaimana suatu hari ibukota itu dapat tampak hijau.

"Jika menyangkut budaya bersepeda, Korea masih berada di tingkat kanak-kanak. Kota-kota di sana tidak nyaman untuk pengendara sepeda. Di Korea baru dimulai membuat jalan sepeda dan mencoba menggugah masyarakat untuk menggunakan sepeda. Selama ini masih kurang berhasil. Kopenhagen adalah contoh panutan, kami dapat banyak belajar dari kota itu."

Kopenhagen melakukan sejumlah hal, untuk membuat nyaman para pengendara sepeda. Hampir setiap jalan di pusat kota dan kawasan-kawasan yang berbatasan dengan pusat kota memiliki jalan sepeda di kedua jalur jalan. Bagi jalan arteri di kawasan yang disebut Distrik Pusat Bisnis, seperti di banyak kota lainnya lampu hijau disesuaikan sedemikian rupa, bukan bagi pengendara mobil melainkan bagi pengendara sepeda. Kawasan kota Nörrebro menjadi kawasan eksperimen. Jalan-jalan utama di sana yang melalui jembatan jalan Dronningen Luise yang menuju puat kota, ditutup untuk kendaraan biasa dan hanya boleh dilalui sepeda, bis dan taksi. Tapi Bo Asmus Kjeldgaard, walikota urusan teknik dan lingkungan tahu, hal itu tidak sia-sia

„Untuk upaya-upaya yang mendorong penggunaan sepeda, kami mengeluarkan banyak biaya. Puluhan juta Euro per tahunnya. Tapi akhirnya hal itu bermanfaat. Kami telah menghitung, sektor kesehatan kami teringankan secara finansial, jika masyarakat berubah dari penggunaan mobil menjadi penggunaan sepeda. Untuk setiap kilometer yang dikayuh, kami menghemat 16 cent per orang, sebaliknya setiap kilometer jalan yang dikendarai mobil kami membayar 9 cent. Bagi kami itu bisnis yang bagus, karena kami dapat menghemat pengeluaran lainnya."

Meski demikian tidak semua warga Kopenhagen bersedia suka rela menggunakan sepeda. Di negara dengan pajak tinggi seperti Denmark, tidak hanya gaji dan konsumsi sehari-hari yang dipajak tinggi seperti di kebanyakan negara Eropa lainnya, tapi juga mobil. Pajak tambahan untuk mobil mencapai 180 persen, yang sebelumnya sudah dikenai pajak pertambahan nilai 25 persen.

Ini membuat harga mobil VW Golf di Denmark kurang lebih sama dengan harga mobil Mercedes-Benz E-Class di Jerman yakni sekitar 100.000 Euro atau lebih dari 1 milyar rupiah. Daripada membeli mobil tambahan, banyak warga Denmark lebih suka membeli sepeda. Dan kini dengan Kopenhagen sebagai kota yang ramah pengendara sepeda, mungkin penurunan pajak sekalipun tidak banyak mengubah warga pengguna sepeda untuk kembali menggunakan mobil

"Tentu saja piknik akhir pekan dengan mobil cukup praktis. Tapi itu saja tidak cukup. Saya tetap memilih tidak mengendarai mobil dan menggunakan sepeda dalam kegiatan sehari-hari."

Clemens Bomsdorf/Elmar Jung/Dyan Kostermans

Editor: Hendra Pasuhuk