1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik di Semenanjung Korea Harus Diredam

25 November 2010

Perang di semenanjung Korea berlangsung secara diam-diam. Tapi menghukum Korea Utara juga merupakan langkah yang keliru.

https://p.dw.com/p/QIBY
Rumah yang hancur di pulau Yeonpyeong Korea Selatan, akibat gempuran artileri Korea Utara.Foto: AP


Konflik di semenanjung Korea berkaitan serangan artileri Korea Utara ke wilayah Korea Selatan tetap menjadi tema komentar dalam tajuk harian-harian internasional.

Harian konservatif Italia Corriere della Sera yang terbit di Milan dalam tajuknya berkomentar : Perang di semenanjung Korea bersembunyi di belakang kegiatan rutin di masing-masing ibukota kedua negara. Kelihatannya konflik ini menguap begitu saja ke udara. Kemarin gaung dari serangan bom Korea Utara dari hari Selasa lalu sudah lenyap. Tapi korban tewas tetap mati. Selain tentara juga terdapat korban sipil. Dengan demikian serangan artileri Korea Utara melanggar dua tabu. Pertama tabu serangan militer di semenanjung Korea, yang dilancarkan lagi setelah gencatan senjata tahun 1953. Dan kedua provokasi jatuhnya lagi korban warga sipil, setelah invasi Korea Utara tahun 1996. Hal ini terutama memberikan umpan baru kepada para demonstran untuk melancarkan aksi protesnya di Seoul.

Harian liberal kiri Denmark Information yang terbit di Kopenhagen berkomentar : AS dan Korea Selatan hendak menghukum Korea Utara untuk serangan artileri terbarunya. Ini merupakan reaksi yang wajar. Tapi jika Korea Utara tetap diisolasi maka situasinya akan bertambah buruk. Tidak akan terdapat jalan keluar dari krisis, jika lingkungannya tidak diusahakan untuk dimengerti. Apa alasan yang memicu aksi rezim Kim Jong Il tsb. Perundingan kedua Korea bersama AS, Rusia, Jepang dan Cina mengenai semenanjung Korea yang bebas senjata nuklir sejak lama macet. Dilanjutkannya kembali perundingan enam negara, paling tidak dapat membuka jalur komunikasi ke Pyongyang. Juga mungkin dapat lebih banyak meraba rencana apa yang ada dalam pikiran Kim Jong Il. Kriteria sukses saat ini bukanlah memisahkan Korea Utara dari ambisi senjata atomnya. Melainkan, meredakan ketegangan, sebelum situasinya terlanjur lepas kendali.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung yang terbit di Frankfurt am Main mengomentari peranan Cina dalam konflik di semenanjung Korea. Jika sasaran utama Cina adalah mempertahankan pengaruhnya di Korea Utara, dan dengan itu tetap tenang menyikapi tingkah laku rezim di Pyongyang, jangan heran jika Beijing dituduh ikut bertanggung jawab. Korea Utara dan negara pelindungnya Cina, sebetulnya harus menyadari, setiap provokasi dan setiap eskalasi baru, akan semakin mempererat ikatan diantara musuh mereka, yakni AS, Korea Selatan dan Jepang. Bagaimanapun juga meningkatnya kekuasaan politik Cina, memancing AS untuk memperkuat posisinya di kawasan tsb. Mottonya untuk keseimbangan kekuatan. Pertanyaannya sekarang, apakah Beijing tidak dapat atau tidak berniat memainkan pengaruhnya untuk menenangkan rezim di Pyongyang ?.

Terakhir harian Belanda De Volkskrant yang terbit di Amsterd

am juga berkomentar senada. Terdapat sebuah kekuatan yang dapat memainkan pengaruhnya untuk menenangkan Korea Utara, yaitu Cina. Tapi pimpinan di Beijing tetap berpangku tangan atas tindakan negara tetangganya yang ganjil itu. Sebagian karena takut terjadinya situasi kacau balau, jika pemerintah di Pyongyang runtuh. Tapi dalam waktu bersamaan Beijing menunjukkan, mereka memainkan kartu Korea Utaranya untuk memenangkan klaim kekuatan politiknya. Dalam permainan ini, tanggung jawab bagi peredaan ketegangan regional menjadi tema nomor dua. Menimbang terus meningkatnya arti penting Cina di tatanan internasional, sikap ini tentu saja sangat mengecewakan.

AS/AR/dpa/afpd