1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Konflik Berdarah di Thailand Selatan

Ana Lehmann16 Januari 2013

Lepas dari perhatian media, konflik berdarah melanda Thailand. Gerilyawan separatis melakukan aksi pembunuhan, militer membalas dengan kekerasan brutal. Pemerintah tidak mampu bertindak.

https://p.dw.com/p/17L7Q
Serangan separatis di provinsi Yala
Serangan separatis di provinsi YalaFoto: AP

Kejadiannya bulan Desember tahun lalu: Beberapa pria dengan wajah tertutup kain menyerang sebuah sekolah di Thailand Selatan. Mereka membunuh tiga guru Budha di depan para kolega dan muridnya. Para guru Budha itu dikirim oleh pemerintah pusat ke tempat itu. Ini hanyalah satu dari rangkaian aksi kekerasan di Thailand Selatan. Kelompok separatis Islam menyerang sekolah-sekolah dan kantor publik. Akibatnya, sekitar 1300 sekolah ditutup untuk sementara atas alasan keamanan.

Di tiga provinsi selatan, yaitu Pattani, Yala dan Narathiwat yang berbatasan dengan Malaysia, ada kelompok gerilyawan separatis yang sudah beroperasi selama bertahun-tahun. Mereka menentang pemerintah pusat dan menuntut kemerdekaan. Mereka menyerbu kantor polisi, meledakkan bom mobil, menyerang toko-toko dan kantor publik dengan senapan mesin. Mereka mengancam pemilik toko yang membuka tokonya pada hari Jumat. Mereka menculik dan membunuh orang-orang yang dianggap sudah berkerjasama dengan pemerintah pusat di Bangkok. Hampir setiap hari terjadi insiden semacam ini. Daerah konflik ini terletak hanya beberapa ratus kilometer dari daerah wisata Thailand yang terkenal seperti Puket dan tujuan-tujuan wisata lain di pantai barat.

Perang Saudara Brutal

Di Thailand Selatan sedang terjadi perang saudara yang semakin lama semakin brutal, demikian dilaporkan organisasi International Crisis Group (ICG) dalam laporan yang dikeluarkan Desember lalu. Sejak rangkaian aksi kekerasan mulai terjadi lagi tahun 2004, sudah sekitar 5300 orang tewas.

Murid sekolah di Pattani, sekolahnya dibakar
Murid sekolah di Pattani, sekolahnya dibakarFoto: AP

Sekitar dua juta penduduk hidup di ketiga provinsi selatan itu. Mayoritas penduduknya, sekitar 80 persen, berasal dari bangsa Melayu dan beragama Islam. Di Thailand yang berpenduduk sekitar 66 juta orang, mereka adalah kelompok minoritas. Mayoritas warga Thailand beragama Budha. Dulunya, selama ratusan tahun kawasan selatan Thailand merupakan wilayah Kesultanan Pattani yang berdiri sendiri. Sejak tahun 1902 wilayah Pattani berada dibawah pengelolaan pemerintah kerajaan Thailand.

Jim Della-Giacoma dari ICG mengatakan, tujuan kelompok gerilyawan separatis masih belum jelas. Gerakan separatis itu memang terdiri dari beberapa kelompok. Kepada Deutsche Welle Della-Giacoma mengatakan: ”Yang kita lihat disini adalah gerakan perlawanan kelompok-kelompok Islam Melayu. Mereka berjuang di Selatan untuk hak menentukan nasib sendiri. Tapi masih belum jelas, apakah mereka menuntut kemerdekaan dari Thailand, suatu hal yang tidak realistis, atau mereka ingin langkah demi langkah mencapai otonomi yang lebih besar.”

Polisi periksa ledakan bom motor di provinsi Narathiwat
Polisi periksa ledakan bom motor di provinsi NarathiwatFoto: Reuters

Menurut penelitian yang dilakukan ICG, gerakan perlawanan itu terdiri dari jaringan komando militan kecil yang aktif pada tingkat desa. Komite desa merekrut relawan dan membiayai aksi-aksi mereka, melakukan propaganda dan meneruskan informasi rahasia kepada kelompok lain. Dengan taktik gerilya ini, mereka mampu bergerak cepat.

Militer Yang Represif

Sejak dulu, pemerintah Thailand mengandalkan kekuatan militer untuk menghadapi pemberontakan di selatan. Sekitar 65.000 tentara, paramiliter dan polisi ditempatkan di kawasan itu. Selain itu, militer juga mempersenjatai kelompok lokal Budha dan memberi pelatihan senjata kepada sekitar 80.000 relawan. Penampilan dan tindakan militer menghadapi para gerilyawan sangat brutal. Menurut organisasi Human Rights Watch, banyak warga muslim yang diculik, disiksa dan dibunuh. Militer bertindak di bawah undang-undang darurat dan undang-undang khusus lain, sehingga mereka luput dari sanksi hukum.

Tentara di provinsi Pattani, Thailand selatan
Tentara di provinsi Pattani, Thailand selatanFoto: AP

Organisasi hak asasi sejak lama mengkritik penerapan undang-undang darurat. Karena aturan ini memberi militer kekuasaan dan kewenangan yang terlalu besar. Penerapan undang-undang darurat mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Sunai Pathak dari Human Rights Watch dengan tegas mengatakan: ”Sejak sembilan tahun terakhir ada berbagai kasus yang tidak tuntas tentang pembunuhan ilegal, penyiksaan dan penculikan. Banyak orang diculik dan menghilang. Tidak ada pelaku yang dikenai sanksi.” Tindakan seperti itu justru dijadikan alasan oleh para pemberontak yang terus melakukan aksi kekerasan. Akibatnya, militer bertindak lebih represif lagi.

”Spiral kekerasan ini berputar makin lama makin cepat”, kata Sunai Pathak. ”Ini lingkaran setan.” Yang paling menderita adalah penduduk setempat yang terperangkap di tengah lingkaran kekerasan ini. 90 persen korban kekerasan adalah warga sipil. ”Pemerintah harus menjamin, bahwa praktek-praktek ilegal semacam itu tidak dilakukan lagi. Dan kalau ini terjadi, pelakunya harus dihukum”, tegas Pathak. Hanya dengan cara itu pemerintah pusat bisa mengembalikan rasa percaya masyarakat.

Pemerintah Harus Bertindak

Kebanyakan warga muslim di Thailand Selatan berpandangan moderat. Namun mereka sejak lama merasa menjadi warga kelas dua. Menurut pandangan mereka, berbagai forum perundingan damai yang dibentuk pemerintah Thailand di masa lalu sudah gagal menyelesaikan konflik.

PM Yingluck Shinawatra mengunjungi korban serangan bom
PM Yingluck Shinawatra mengunjungi korban serangan bomFoto: AP

Perdana Menteri Yingluck Shinawatra yang berkuasa sejak Agustus 2011 mengambil kebijakan politik yang lebih moderat menghadapi para pemberontak dibanding pemerintahan sebelumnya. Tapi pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa tanpa dukungan militer. Sejak dulu, militer Thailand yang sangat berpengaruh menolak segala tuntutan otonomi dari provinsi-provinsi selatan. Mereka tidak ingin terjadi perpecahan. ”Militer tidak akan melepaskan kendali,” demikian analisa Jim Della-Giacoma dari ICG. ”Militer melihat dirinya sebagai pelindung negara kesatuan Thailand, yang dilandaskan pada raja, agama dan bahasa. Kalau kawasan selatan diberi otonomi, semua elemen ini harus ditinjau lagi.”

Dalam laporannya tentang konflik di Thailand, ICG menyebutkan, pemerintah sekarang harus menjadikan krisis di selatan sebagai prioritas utama. Isu desentralisasi tidak boleh menjadi tabu. ”Kekerasan yang terjadi berkembang sangat cepat, sehingga pemerintah dipaksa untuk bertindak,” demikian rekomendasi laporan ICG. Jika tidak, pemerintah di Bangkok akan kehilangan seluruh kendali, dan dampaknya tidak bisa diramalkan.