1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kolonel Legendaris TNI

Aris Santoso29 Agustus 2016

Keempat kolonel ini mereka memang tidak mencapai pangkat jenderal, namun mereka memperoleh capaian lain yang lebih tinggi nilainya, yaitu kharisma dan keabadian. Simak opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/1JoDc
Special Army Forces Indonesien Kopassus Jakarta
Foto: Getty Images/AFP/A.Berry

Sebagian besar generasi muda yang bergabung dalam TNI, khususnya yang melalui jalur Akademi TNI (Akmil, AAL dan AAU), tentu menyimpan cita-cita menjadi jenderal kelak, setidak-tidaknya bintang satu (brigjen). Karena dalam pembicaraan sehari-hari di lingkungan TNI (juga Polri), semuanya disebut jenderal, adapun sebutan brigjen, mayjen, dan seterusnya, hanya untuk urusan administratif. Namun mengingat posisi jabatan untuk strata perwira tinggi (pati) lebih terbatas, tidak semua lulusan Akademi TNI bisa menjadi jenderal. Harus diakui persaingan menuju strata pati sangat ketat.

Sampai tahun 1950-an, pangkat tertinggi TNI AD adalah kolonel, termasuk posisi KSAD (AH Nasution dan Bambang Sugeng). Dalam masa itu muncul sejumlah kolonel yang kemudian menjadi sangat terkenal, beberapa di antaranya akan dibahas dalam tulisan ini. Kolonel dimaksud, dengan berbagai alasan tidak sempat mencapai strata pati, hingga saat pensiun tiba.

Penulis: Aris Santoso
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Ada beragam alasan atau sebab, mengapa seorang perwira tidak sampai mencapai strata pati, yang secara singkat kemudian disebut sebagai “garis tangan”. Jadi semata-mata ini hanyalah persoalan nasib. Itu sebabnya diperkenalkan nilai legowo (besar hati), sebagai upaya penghiburan bagi pamen (perwira menengah) yang gagal mencapai pangkat jenderal.

Perwira Pemikir

Setidaknya ada empat kolonel yang namanya akan senantiasa abadi: Kolonel Bambang Soepeno, Kolonel Zulkifli Lubis, Kolonel Inf (Purn) Alex Evert Kawilarang dan Kol Inf (Purn) Matrodji. Mungkin masih ada nama lain, namun saya kira empat nama ini sudah representatif.

Figur Kol. Zulkifli Lubis dan Kol. Bambang Soepeno, memang fenomenal di masanya (dasawarsa 1950-an). Keduanya sama-sama pernah menjadi Wakil KSAD, pada periode KSAD AH. Nasution.

Kol. Lubis dikenal sebagai peletak dasar dinas intelijen di tanah air, khususnya di TNI. Lembaga intelijen seperti BIN atau BAIS TNI, tidak bisa dilepaskan dari jejak Zulkifli Lubis, termasuk tokoh-tokohnya. Lubis sedikit lebih senior dari Yoga Sugama (mantan Kepala BAKIN/BIN), yang kemudian diikuti oleh generasi insan intelijen berikutnya, seperti Ali Moertopo, Sutopo Yuwono, Benny Moerdani dan seterusnya.

Sementara Kol. Bambang Soepeno dikenal sebagai konseptor “Sapta Marga”, Doktrin TNI yang masih berkumandang hingga sekarang. Di masa Perang Kemerdekaan (1946-1949), Bambang Soepeno namanya sempat terkenal, sebagai Panglima Divisi (front Jatim), dengan usia termuda, 22 tahun. Bagi generasi sekarang, figur Bambang Soepeno bisa jadi adalah nama yang asing, karena setelah pensiun dini dari TNI AD, namanya langsung menghilang. Baru pada tahun 1980-an, namanya disebut-sebut kembali, ketika janda beliau, secara mengejutkan menikah dengan mantan menteri luar negeri era Presiden Soekarno, yakni Soebandrio, ketika Soebandrio sendiri masih berstatus tahanan politik di Lembaga Pemasyarakatan Salemba.

Kandas di tengah jalan

Secemerlang apapun pemikiran Lubis dan Bambang Soepeno, pada akhirnya karir keduanya kandas, disebabkan perbedaan pandangan (baca: faksi) dengan KSAD AH Nasution. Perjalanan karir Nasution sendiri terbilang unik, hal itu bisa menjelaskan mengapa Nasution terkesan kurang nyaman, bila ada perwira lain yang secara intelektual setara dengannya. Pengalaman tempur Nasution sendiri boleh dibilang minim, karena dengan hanya berlatar status taruna senior pada Akademi Militer Bandung (cabang KMA Breda), Nasution langsung melejit menjadi Panglima Divisi Siliwangi di periode awal Perang Kemerdekaan.

Pengalaman lapangan yang minim itulah, yang turut andil membentuk jati diri Nasution sebagai perwira, yang lebih kuat aspek politisnya ketimbang teknis kemiliteran. Dalam hal pengalaman tempur di lapangan, Nasution masih di bawah perwira segenerasinya, seperti Kolonel AE Kawilarang, Letkol Slamet Rijadi, Letkol Vence Sumual, Kolonel Joop Warouw, dan seterusnya. Bahkan dibanding perwira yang pangkatnya lebih rendah sekalipun, seperti Mayor Dee Gerungan.

Petarung Sejati

Dibanding Zulkifli Lubis dan Bambang Soempeno, bisa jadi nasib Alex Evert Kawilarang (biasa disingkat AE Kawilarang) sedikit lebih “beruntung”. Setidaknya namanya akan disebut setahun sekali, saat peringatan hari jadi Korps Baret Merah (Kopassus). Alex Kawilarang (bersama Brigjen Anumerta Ign Slamet Rijadi) dianggap sebagai pegagas pembentukan pasukan khusus TNI AD, yang kini dikenal sebagai Kopassus. Gagasan itu lahir ketika Kawilarang dan Slamet Rijadi, memimpin operasi penumpasan Gerakan RMS di Maluku, keduanya terkesan dengan performa pasukan khusus eks KNIL, yang tergabung dalam gerakan RMS.

Usai memimpin operasi penumpasan RMS, Kawilarang diangkat sebagai Pangdam Siliwangi di Bandung. Saat menjadi Pangdam Siliwangi inilah, gagasan pembentukan pasukan khusus benar-benar diwujudkan, pada 16 April 1952. Dimana untuk membentuk embrio satuan tersebut, Kawilarang banyak dibantu oleh Mayor Ijon Janbi, seorang pensiunan pasukan khusus Belanda.

Selepas menjabat Pangdam Siliwangi, sebagaimana kita tahu, Kawilarang terlibat dalam gerakan PRRI/Permesta (1958-1960). Karena keterlibatan itu pula, dia terpaksa diberhentikan dari TNI, kemudian menjadi tapol dan secara perlahan namanya menghilang. Namanya baru muncul kembali pada pertengahan 1990-an, saat dirinya diakui secara resmi selaku pendiri Kopassus, dari Danjen Kopassus (saat itu) Mayjen TNI Prabowo Subianto.

Kolonel keempat adalah Kol Inf Matroji. Saat masih menjabat Komandan Brigif Linud 18/Trisula Kostrad (Malang), Kol Inf Matrodji beserta anggotanya, termasuk pasukan yang paling awal diterjunkan di Dili dalam rangkaian Operasi Seroja (Desember 1975). Pamen (perwira menengah) lain yang ikut diterjunkan, berbarengan dengan Kol Matrodji, adalah Kol Inf Sugito (Komandan Grup 1 Kopassus), Kol Inf Soegiarto (Komandan Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad), dan Letkol Inf Feisal Tanjung (Kas Brigif Linud 17/Kujang I).

Pada titik ini kita kembali melihat, tentang asumsi “garis tangan” dalam karir perwira. Dari perjalanan waktu kita kemudian mengetahui, bahwa hingga di penghujung karirnya, Kol Inf Matrodji tidak sempat menjadi jenderal, beda jauh dengan “nasib” pamen yang lain. Bahkan Letkol Inf Feisal Tanjung sempat menjabat Panglima ABRI (1993-1998). Walau tetap berpangkat Kolonel, kiranya nama Kol. Matrodji akan tetap abadi, sebagaimana kolonel lainnya tersebut di atas.

Pilkada 2017

Figur kuat identik dengan kharisma. Tidak setiap jenderal memiliki kharisma. Setiap perwira bisa mencapai derajat pati, namun bukan berarti kharisma bisa didapat secara otomatis. Begitu banyak jenderal di negeri ini, yang namanya hilang begitu saja setelah pensiun, karena tidak ada karya atau produk yang dihasilkan semasa masih aktif dulu.

Pelajaran atau nilai (hidup) yang bisa petik dari pengalaman keempat kolonel tersebut adalah, bahwa kita tidak mungkin memperoleh semuanya dalam hidup ini. Seperti keempat kolonel tersebut, mereka memang tidak mencapai derajat pati, namun mereka memperoleh capaian lain yang lebih tinggi nilainya, yaitu kharisma dan keabadian.

Tahun depan (2017) kebetulan akan diselenggarakan pilkada serentak untuk posisi gubernur, bupati dan walikota, kiranya tulisan ini menemukan konteksnya. Bahwa, pemimpin tanpa kharisma adalah kesia-siaan, yang nantinya hanya jadi bahan tertawaan masyarakat. Gejala itu acapkali terlihat pada elit politik, yang hanya berbaik-baik pada rakyat, saat musim kampanye tiba. Bila kekuasaan telah diraih, yang muncul kemudian adalah megalomania, seperti pengawalan berlebihan dengan sirene meraung-raung.

Penulis:

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer (khususnya TNI AD). Kini bekerja sebagai staf administrasi di lembaga HAM (KontraS). Tulisan ini adalah pendapat pribadi.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis.