1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Koleksi Asia di Museum Sejarah Belgia

22 Maret 2011

Museum Sejarah dan Seni di Belgia menyediakan tiga ruang besar untuk koleksi Indonesia. Sebagian besar darinya, datang di akhir abad 20. Kira-kira sejak tahun 1860an hingga tahun 1900an.

https://p.dw.com/p/10eqg
Foto: picture-alliance/dpa

Di tengah sebuah gedung tua berusia ratusan tahun, di tengah sebuah taman di Brusel, mengalun bunyi gamelan. Tapi kita tak akan kaget, karena bunyi itu muncul di ruangan yang penuh dengan wayang berbagai jenis dan ukuran. Malah ada pula seperangkat wayang ukuran kecil yang ditata seakan siap untuk dipertunjukkan. Beserta gamelan tua –kendati tak lengkap dan tak jelas apakah masih bisa dimainkan.

Ini bagian dari koleksi Museum Sejarah dan Seni Kerajaan Belgia, untuk seksi Asia, lebih khusus lagi Asia Tenggara. Dijelaskan kurator koleksi Asia Tenggara, Miriam Lambrecht dalam wawancara dengan radio DW mengatakan, "Sebagian besar koleksi Indonesia, datang di akhir abad 20. Kira-kira sejak tahun 1860an hingga tahun 1900an. Sebagian koleksi patung yang sangat penting, datang sekitar tahun 1860 hingga 1870. Di Museum ini kami menyediakan tiga ruangan besar, khusus untuk koleksi benda-benda Indonesia. Itupun tak cukup. Kami memiliki koleksi tekstil yang besar, namun kami hanya bisa memamerkan sebagian kecil saja. Tempatnya terbatas, jadi sayang sekali kami tak mungkin memamerkan semuanya sekaligus.”

Mutu luar biasa

Koleksi tekstil, meski hanya sebagian saja yang dipamerkan, sudah memenuhi sepertiga ruangan. Tentu tak cuma batik berbagai daerah, melainkan juga tenun ikat dari berbagai daerah. Dari Sumba, Batak, Dayak. Dengan mutu luar biasa. Koleksi yang sangat langka.

Selain Indonesia, koleksi Asia Tenggara Museum Sejarah dan Seni di Brusel ini meliputi Kamboja, Vietnam, Laos, Birma, Thailand, Filipina dan Malaysia. Lebih luas lagi, kawasan Asia lain yang terwakili adalah Cina, Tibet, India, Pakistan, Afghanistan, Srilanka, dan Korea.

BdT Rockopera Premiere in Kambodscha
alat musik tradisional KambojaFoto: AP

Bagaimana benda-benda begitu bernilai itu bisa menjadi koleksi Museum Seni dan sejarah Kerajaan Belgia? Kurator Museum, Miriam Lambrecht menjelaskan, "Untuk koleksi Asia Tenggara khususnya, saya bisa bilang, kita sangat diuntungkan oleh kebijakan pada abad ke 19 di Eropa untuk mendirikan berbagai museum. Ini mendorong orang untuk memikirkan, apa saja isi museum itu nanti. Nah, sebagian mengemukakan gagasan mengenai sisi etnografi dari koleksi dunia, benda-benda khas dari seluruh penjuru dunia.“

Di salah satu dari tiga ruangan koleksi Indonesia terdapat miniatur berbagai rumah adat. Antara lain rumah adat Batak, Toraja, dan Minang. Namun jangan membayangkannya seakan ini miniatur turistik yang bisa didapat di toko cendera mata. Ini miniatur yang sangat detil, dengan bahan yang identik pula dengan bangunan aslinya. Miniatur-miniatur ini dibuat oleh para seniman setempat dari abad 19. Jadi jauh sebelum terjadinya booming wisata yang ditandai maraknya cenderamata kodian. Semua benda-benda budaya di situ merupakan benda-benda asli, bagian otentik dari keseharian budaya masyarakat. Misalnya arca-arca primitif dari Nias dan Batak yang terbuat dari batu. Atau cadik dan berbagai bagian kapal yang terbuat dari kayu. Serta alat-alat upacara dari Kalimantan, Bali, dan berbagai pulau lain.

Spesifik Indonesia

Menurut Miriam Lambrecht, ada yang sangat spesifik tentang Indonesia, dibanding benda dan tradisi budaya negara lain di Asia Tenggara. "Kalau kita menilik seksama seni dan budaya negara-negara itu, hubungannya jelas. Misalnya dari tradisi budaya Hindu, Budha, dsb. Mengenai Indonesia, yang khusus adalah kebudayaan yang dibangun oleh rakyat yang berada di pulau-pulau terpisah, sebagian di antaranya pulau yang lama terisolasi. Mereka mengembangkan tradisi yang sangat khas. Selalu terhubung dengan alam, dengan leluhur. Semua aspek kehidupan mereka terhubung dengan alam dan leluhur.“

Memang benda-benda budaya purbawi berbahan batu asal Nias, Batak, dan berbagai tempat lain, merupakan salah satu yang sangat menonjol dalam koleksi Indonesia di museum sejarah dan seni di Brussel ini.

Belgien Stadt Brüssel Flash-Galerie
Brüssel, kota penuh sejarahFoto: DW/Pavey

Mencerminkan pula keragaman budaya yang begitu kaya. Karena benda-benda itu sangat berbeda bentuk, watak dan filosofinya dengan misalnya koleksi yang berasal dari Jawa, yang lebih menonjolkan rincian dan kehalusan. Seperti wayang, batik, dan keris. Juga dibanding koleksi dari kawasan Timur yang juga dijiwai penghormatan dan hubungan dengan arwah leluhur, tapi materinya sebagian besar berbahan kayu dan olahan dari binatang, seperti bulu burung, tulang dan kulit.

Tentu juga sejumlah arca dari tradisi Budha dan Hindu. Mulai patung sosok Budha hingga Dewi Uma, dan Ganesha berbagai bentuk. Sebagaimana benda bersejarah berusia ratusan tahun, sebagian sudah tidak utuh lagi.

Masalah yang sering muncul dari koleksi benda antik dan purba seperti ini adalah kepemilikan. Sejumlah arca Hindu dan Budha, berasal dari berbagai candi tua di Indonesia. Apakah benda-benda tak ternilai itu lebih baik berada di museum atau di tempat asalnya yang otentik? Miriam Lambrecht dari Museum Seni dan Sejarah Kerajaan Belgia menandaskan, "Koleksi kami, khususnya untuk Asia Tenggara, sebagian besar terbentuk sebelum tahun 1960an. Jadi saya pikir, jika ada klaim pengembalian benda-benda tertentu, harus kasus per kasus. Tak bisa secara umum. Sudah selama lebih dari 100 tahun kami merawat dan memamerkan benda-benda itu, dan menjadikannya bahan berbagai studi. Dan semuanya terpelihara dan terlindungi dengan baik. Jadi harus kasus per kasus.“

Miriam Lambrecht menjelaskan, pihaknya pernah mengembalikan arca kepala Budha yang berasal dari Borobudur, tatkala dilangsungkan rekonstruksi Borobudur. Mereka akan siap berunding, katanya, jika ada permintaan sejenis. Namun masalah lain yang bisa muncul adalah keamanan. Karena Indonesia belum memiliki sistem pengelolaan cagar budaya yang rapi dan aman. Hingga saat ini justru sangat sering terjadi pencurian benda purba dari berbagai sius arkeologi, maupun dari candi-candi tua yang sudah dibuka untuk umum.

Ging Ginanjar
Editor: Edith Koesoemawiria