1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisruh Diplomatik di Tahun Politik

Saidiman Ahmad25 November 2013

Siapa korban pertama yang jatuh dalam konflik Indonesia dengan Australia? Menurut Saidiman Ahmad -- yang kini sedang menempuh studi mengenai kebijakan publik -- adalah rakyat kedua negara.

https://p.dw.com/p/1AMSo
Foto: BAY ISMOYO/AFP/Getty Images

Angkatlah telepon, Tony! Ini saat yang tepat untuk menjalin kembali hubungan yang terancam retak. Susilo Bambang Yudhoyono, pria yang hendak engkau telepon itu, barangkali adalah satu di antara teman terbaik yang bangsamu miliki saat ini. Tidak lama lagi ia akan digantikan oleh entah siapa. Dan tidak ada yang tahu bagaimana sikap penggantinya itu terhadap hubungan bangsamu dan bangsanya.

Demikian kira-kira gambaran umum desakan media dan pengamat di Australia terhadap Tony Abbott untuk meminta maaf atas kasus penyadapan dinas intelejen Australia pada SBY, Ani Yudhoyono, dan sejumlah pejabat tinggi Indonesia lainnya. Sejak jaringan media ABC mengungkap data intelejen yang dibocorkan oleh Edward Snowden, presiden SBY dan publik Indonesia bereaksi keras. Duta Besar Indonesia ditarik dari Canberra. Ancaman untuk menghentikan kerjasama dua negara tetangga mulai terasa. Beberapa kerjasama militer mulai dihentikan atau setidaknya ditunda. Indonesia juga mengkaji ulang kerjasama dalam penanganan perahu-perahu imigran yang berlayar menuju Australia. Pejabat, pengamat, maupun media di Indonesia bersuara senada, meminta penjelasan dan permintaan maaf resmi Perdana Menteri Australia atas kegiatan memata-matai pejabat-pejabat negara Indonesia.

Australia terbelah. Pejabat-pejabat eksekutif berbeda pendapat dengan publik luas yang diwakili media dan para pengamat. Tentu saja partai oposisi, Buruh, juga mengambil sikap berseberangan dengan Perdana Menteri dan pembantu-pembantunya.

Berhari-hari media-media besar di negeri Kangguru ini mengangkat tema tentang pentingnya memperbaiki hubungan dengan Indonesia. Tim Lindsey, seorang Indonesianis dari Universitas Melbourne, merinci tentang betapa pentingnya Indonesia bagi Australia. Menurut Lindsey (The Age, 21/11), menjaga hubungan baik dengan Indonesia tidak hanya penting dalam penanganan imigran yang siap menyerbu Australia, tapi juga banyak hal lain yang harus dipertimbangkan. Kapasitas Australia menangani terorisme di Indonesia, kerjasama militer yang demikian efektif, ekspor daging yang demikian besar, anak-anak Indonesia yang menjadi salah satu target pasar paling besar sekolah-sekolah dan universitas-universitas Australia, warga Australia yang sekarang mendekam di penjara-penjara Indonesia, dan negosiasi panjang soal pasar bebas Australia-Indonesia adalah sebagian masalah yang harus dipertimbangkan.

Selain itu, Indonesia juga dianggap mitra strategis paling baik. Meminjam istilah Boediono, Indonesia dan Australia adalah tetangga yang ditetapkan oleh nasib. Dua negara ini bertetangga dekat. Dengan jumlah penduduk yang besar dan pertumbuhan kelas menengah yang massif, Indonesia jelas adalah potensi pasar bagi produk-produk Australia. Dibanding dengan mitra lain di kawasan Asia, Indonesia juga bisa menjadi mitra terbaik mengingat kedua bangsa menganut sistem politik yang sama, yakni demokrasi. Mitra ekonomi terbesar Australia adalah Cina yang tidak demokratis. Indonesia adalah negara demokratis terbesar ketiga di dunia. Negara ini juga tempat penduduk Muslim terbesar di dunia. Moody's dan Standard & Poors, seperti dikutip Lindsey, memprediksi bahwa tahun 2030 negara ini akan menjadi satu di antara 10 kekuatan ekonomi, dan akan masuk lima besar pada tahun 2050.

Bahkan muncul kerisauan akan bahaya konfrontasi dengan Indonesia. Jumlah penduduk Indonesia 10 kali lipat lebih banyak dari jumlah penduduk Australia. Lebih dari satu juta orang Indonesia tinggal di Australia. Selain itu, pengetahuan tentang Australia jauh lebih luas di Indonesia daripada pengetahuan orang Australia tentang Indonesia. Hanya segelintir orang Australia yang memiliki pengetahuan tentang Indonesia di luar Bali. Orang Australia yang mengetahui bahasa Indonesia begitu sedikit, bandingkan dengan masyarakat Indonesia yang bisa berbahasa Inggris.

Pendeknya, ada kerugian besar menanti di depan jika hubungan diplomatik Indonesia-Australia putus. Pertanyaannya, kenapa Perdana Menteri Abbott tidak segera mengangkat telepon mencoba menjernihkan suasana? Dalam beberapa kesempatan, Abbott menyatakan tentang pentingnya hubungan baik dengan Indonesia. Di depan parlemen, Abbott juga menegaskan bahwa SBY barangkali adalah mitra terbaik dari seluruh dunia yang dimiliki Australia saat ini.

Kenapa tidak meminta maaf? Pertarungan politik dalam negeri barangkali adalah salah satu jawabannya. Abbott dan kabinetnya baru saja dilantik. Koalisi Partai Liberal dan Partai Nasionalis yang ia pimpin baru saja menumbangkan Partai Buruh. Tema kampanye yang ia usung adalah Australia yang kuat. Nasionalisme Australia menjadi tema utama. Menjelang Pemilu, Abbott sering muncul di media bersama tentara. Ia juga beberapa kali muncul dalam keadaan basah kuyup oleh keringat karena sedang berolah raga. Otot, tentara, kekuatan fisik, dan nasionalisme dijadikan pemikat suara. Dan berhasil. Dia memenangkan pertarungan. Abbott yang membangun citra sebagai orang kuat Australia itu memang tidak mudah menundukkan wajah dan meminta maaf. Barangkali akan berbeda kasusnya jika yang sekarang memimpin adalah Kevin Rudd dari Partai Buruh.

Yang juga menarik adalah bahwa kasus penyadapan yang dibocorkan oleh Snowden itu terjadi pada masa pemerintahan Kevin Rudd, Partai Buruh. Kendati begitu, Abbott sama sekali tidak menjadikan kasus ini sebagai alat untuk menyerang Partai Buruh sebagai biang kerok kekisruhan. Yang ia lakukan adalah justru memberi pernyataan bahwa sebuah negara memang selalu mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya untuk kepentingan nasional. Dalam hal ini, Abbott mengambil tanggung jawab atas apa yang dilakukan oleh rezim Buruh, partai yang menjadi lawan politik partainya. Pada saat yang sama, Partai Buruh mendesak Abbott meminta maaf kepada Indonesia.

Baik partai Buruh, maupun Koalisi Liberal-Nasional, sama-sama menganggap Indonesia adalah mitra yang teramat penting. Merenggangnya hubungan kedua negara akan berdampak buruk. Namun begitu, pertimbangan politik dalam negeri adalah hal lain.

Bagaimana dengan Jakarta? Reaksi keras atas penyadapan oleh negara sahabat tentu bisa dimaklumi. Tetapi kenapa sedemikian keras? Ancaman untuk memutuskan hubungan sama sekali datang bergelombang. Politikus, pengamat, media, dan rakyat umum seolah bersatu-padu. Apakah Australia sedemikian tidak berarti bagi Indonesia? Ketika Lindsey menyatakan bahwa Indonesia adalah salah satu mitra terbaik mengingat letak geografis, sistem demokrasi yang dianut, pasar pendidikan, tujuan ekspor daging, dan sebagainya, pada saat yang sama Australia bagi Indonesia mestinya juga adalah mitra terbaik. Berdasarkan kesamaan sistem politik, Australia adalah satu-satunya tetangga Indonesia yang demokratis dan sama-sama ditetapkan oleh Freedom House sebagai negara yang bebas. Australia adalah negara pemasok sapi terbesar untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri. Australia adalah negara tujuan utama pendidikan putra dan putri Indonesia. Australia memiliki andil besar membantu aparat Indonesia menumpas terorisme. Australia pula asal wisatawan mancanegera terbesar di Indonesia.

Kenapa reaksi dari Jakarta begitu keras, seolah tetangga ini sedemikian tak berarti? Apakah ini ada kaitannya dengan hari-hari politik di mana sentimen nasionalisme bisa menaikkan keterpilihan partai penguasa yang sedang terpuruk?

Tunggu dulu, media-media Australia hari ini (22/10) ramai membicarakan mantan kepala Badan Intelejen Negara (BIN) AM Hendropriyono yang menyatakan bahwa Indonesia sebetulnya juga berusaha melakukan penyadapan. Ia juga menyebut Indonesia pernah berusaha merekrut agen ganda untuk memata-matai Australia. Namun sampai detik ini, belum ada tanda-tanda Abbott akan meniru langkah SBY menarik duta besarnya.

Ala kulli hal, kedua negara bertetangga ini mengidap saling ketergantungan. Mengeksploitasi kasus penyadapan untuk kepentingan politik dalam negeri bukan pilihan yang tepat. Mengutip pernyataan Nick O'Brien, mantan kepala kesatuan khusus Anti-terorisme Inggris dan sekarang Ketua Australian Graduate School of Policing and Security, Charles Stuart University: “yang akan jadi pecundang (dalam perseteruan ini) adalah rakyat Australia dan Indonesia.”

Saidiman Ahmad,

Mahasiswa Pasca Sarjana Crawford School of Public Policy, Australian National University