1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialBhutan

Kisah Transisi Demokrasi di Bhutan Jadi Cerita Film

25 Desember 2023

Film "The Monk and the Gun" bercerita tentang proses modernisasi di Bhutan, negara yang berlokasi di pegunungan Himalaya. DW berbincang-bincang dengan sutradaranya Pawo Choyning Dorji dari Bhutan.

https://p.dw.com/p/4aV6p
Cuplikan film "The Monk and the Gun"
Film "The Monk and the Gun" karya sutradara Pawo Choyning DorjiFoto: The Monk and the Gun

Keluarga Pawo Choyning Dorji sebenarnya berasal dari bagian timur Bhutan. Di sana jika seorang anak meminta orang tuanya untuk menceritakan sesuatu, maka mereka meminta agar orang tuanya "menguraikan simpul."

Film terakhir yang disutradarai Dorji, "The Monk and the Gun" atau biksu dan senapan, adalah cara mengurai simpul yang menjadi transisi sosial, politik, dan kebudayaan di negaranya di pertengahan tahun 2000-an.

Ia mengatakan, ia besar di perode transisi tersebut. Tepatnya ketika negaranya menjadi negara terakhir di dunia yang mengizinkan penggunaan televisi, internet, dan bersamaan dengan itu mengizinkan demokrasi untuk hadir, kata Dorji.

Namun, sebagai orang Bhutan yang tinggal di India, di mana ayahnya bekerja sebagai diplomat dan hanya pulang di masa liburan sekolah, dia punya sudut pandang unik atas perubahan yang terjadi di kerajaan di pegunungan itu. 

Pawo Choyning Dorji (tengah) saat syuting "The Monk and the Gun"
Pawo Choyning Dorji (tengah) bersama dua pemain pendamping saat syuting "The Monk and the Gun"Foto: Kinley Wangchuk

"Kami punya pepatah di Bhutan, yaitu: kamu tidak bisa melihat bulu mata kamu, karena terlalu dekat dengan mata. Bagi saya, itulah situasinya. Banyak orang Bhutan ketika itu tidak bisa melihat perubahan dan dampaknya, karena terlalu dekat dengan mereka," demikian dikatakan Dorji dalam wawancara dengan DW di ibu kota Bhutan, Thimphu.

"Bagi saya, sebagai orang Bhutan yang tinggal di luar negeri, perubahan di masyarakat dan kebudayaan tampak jelas, dan saya pikir itu bisa jadi cerita hebat untuk dibagikan ke dunia. Cerita dari mana asal kita, orang Bhutan, dan ke mana kita beralih."

Kisah film itu ditempatkan tahun 2006, ketika Bhutan beralih menjadi demokrasi dan pemerintah mengorganisir contoh pemilu agar rakyatnya tahu bagaimana cara memberikan suara. Dalam sebuah plot yang saling terkait, seorang kolektor senjata antik asal Amerika Serikat (AS) tiba di sana untuk mencari senapan legendaris yang jatuh ke tangan seorang biksu.

Komedi, ketegangan, dan satir politik 

Kisahnya adalah satir politik dan komedi halus yang mengikutsertakan elemen ketegangan, dipadu dengan skenario menyentuh. Begitu Dorji menggambarkan film tersebut. Penonton dari bagian dunia berbeda memberikan reaksi pada elemen yang berbeda dalam film, ditambahkannya.

Ketika film itu ditayangkan pertama kali di Telluride Film Festival di Colorado, tanggal 1 September, penonton tertawa akibat satir politiknya, sementara di Korea Selatan, penontonnya memberikan reaksi atas kisah keluarga di dalamnya. Namun, yang paling kuat adalah reaksi di negaranya sendiri, kata Dorji.

"Ketika film diputar di Bhutan, suasananya sangat indah, karena di sebuah bioskop, penonton menangis dan jadi sangat emosional, karena mereka merasa tersentuh secara sangat pribadi dalam perasaan kehilangan keaslian mereka, karena mereka melalui proses perubahan dan transisi."

Cuplikan film "Lunana: A Yak in the Classroom"
Foto dari film berjudul "Lunana: A Yak in the Classroom"Foto: Films Boutique

Bukan film pertama dari Bhutan untuk nominasi Piala Oscar

"The Monk and the Gun" adalah film yang diserahkan Bhutan kepada Academy of Motion Picture Arts and Sciences untuk penghargaan kategori film internasional terbaik ke-96. Dari 89 judul yang diserahkan, akademi itu mengumumkan 15 film yang termasuk daftar pendek. Nominasi selengkapnya akan diumumkan 23 Januari 2024, sebelum pemberian Oscar tanggal 10 Maret.

Tahun 2021 film karya Dorji sudah diserahkan untuk dipertimbangkan tahun 2021. Judulnya "Lunana: A Yak in the Classroom." Film itu mengisahkan seorang guru yang ditempatkan di sebuah desa terpencil di Bhutan. Film itu menjadi film pertama buatan Bhutan yang dinominasikan untuk mendapat Oscar.

"Lunana adalah kisah tentang menemukan rumah kita," kata Dorji. Film itu tentang budaya yang tidak diketahui banyak orang, di lokasi yang tidak diketahui banyak orang, dan dalam bahasa yang banyak orang belum pernah dengar. "Ketika saya menyerahkan film ini untuk Oscar, mereka bahkan tidak mengenali 'Dzongkha', bahasa nasional saya. Bhutan sebagai negara bahkan tidak ada di daftar Oscar," tutur Dorji.

Tibanya modernisasi

Setelah mendapat sambutan hangat dari berbagai negara, Dorji mendapat penghargaan sosial tertinggi di Bhutan, dari Raja Jigme Khesar Namgyel Wangchuck.

"Betul, film ini berfokus pada transisi ke demokrasi di Bhutan, tapi ini lebih tentang modernisasi," kata Dorji tentang "The Monk and the Gun." "Yang menarik bagi saya adalah bagaimana kebudayaan Bhutan bereaksi terhadap perubahan."

"Senapan jadi representasi bagi modernisasi. Senapan adalah sesuatu yang bersifat Barat dan modern, dan betul, itu memang bisa berguna. Tetapi itu juga sangat berbahaya." (ml/hp)

 

Jangan lewatkan konten-konten eksklusif berbahasa Indonesia dari DW? Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

 

Kontributor DW, Julian Ryall
Julian Ryall Jurnalis di Tokyo, dengan fokus pada isu-isu politik, ekonomi, dan sosial di Jepang dan Korea.