1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kisah Saksi Bom Atom Hiroshima

6 Agustus 2015

6 Agustus 1945, Pater Jerman Klaus Luhmer saat itu bertugas di Hiroshima, Jepang. Ia merupakan salah seorang saksi keganasan bom atom.

https://p.dw.com/p/OdnP
Foto: Keystone/Getty Images

Ketika Pater Klaus Luhmer pada tanggal 6 Agustus 1945 berdoa di taman biara Jesuit di Hiroshima, ia tiba-tiba mendengar sebuah ledakan.

"Pukul 8.14 saya mendengar ada ledakan. Kemudian muncul sesuatu yang tidak saya pahami. Nampak sesuatu yang lebih silau daripada matahari. Seperti setengah bulatan. Instink saya mengatakan, bahwa yang meledak itu adalah bom perusak yang meledak di balik bukit.“

Ternyata yang dilihat Pater Luhmer pagi itu bukan bom perusak biasa. Akan tetapi, ledakan bom atom yang terjadi di pusat kota Hiroshima. Lokasi kejadian berjarak sekitar empat kilometer dari gedung biara. Pater Luhmer segera mencari perlindungan di taman. Lalu ia bersembunyi di ruangan bawah tanah. Ia selamat.

"Ketika saya melihat kilauan itu, tiba-tiba muncul gelombang yang amat panas. Rumah kami bergetar. Hampir semua genteng jatuh seperti hujan dan jendela pecah. Di sekeliling rumah puing-puing bertaburan."

Tidak lama kemudian stasiun berita BBC menyiarkan bahwa Amerika Serikat menjatuhkan bom atom terhadap kota Hiroshima. Warga Hiroshima tidak ada yang tahu apa yang terjadi. Pater Luhmer naik ke atas bukit di belakang gedung biara. Dari sana ia melihat kota Hiroshima terbakar. "Saat itu langitnya begitu terang. Tiba-tiba, waktu saya berdiri di atas bukit, awan hitam nampak di atas langit dan hujan mulai turun. Hujannya hitam.“

Pater Klaus Luhmer
Foto: Pater Klaus Luhmer

Setelah Pater Luhmer kembali ke biara, sejumlah korban berhasil keluar dari pusat kota. Kulit mereka terkelupas, namun masih menyangkut seperti lap yang lebar di tulangnya. Pakaian mereka seakan-akan meleleh menyatu dengan kulitnya. Para pastur mengubah meja makannya menjadi meja periksa dan mulai merawat korban terluka. Beberapa pastur pergi ke kota. Mereka dihampiri sekelompok korban terluka. Api berkobar di mana-mana. Rumah dan toko roboh. Korban tewas dan terluka terperangkap di antara puing-puing dan reruntuhan bangunan.

"Saya melihat tigapuluh atau empatpuluh tentara berseragam lengkap yang terluka bakar. Mereka tidak dapat berteriak lagi. Mereka hanya merintih, "air, air“. Kebetulan ada sumur air, sehingga kami dapat memberikan mereka air minum. Tetapi, jumlah kami tidak cukup untuk membantu mereka. Saat itu dibutuhkan ratusan tangan untuk mengangkut korban."

Selama dua hari, para pastur Jesuit membantu para korban di kota. Kemudian militer Jepang mengkerahkan pasukannya. Jalan masuk ke kota ditutup rapat-rapat. "Tentara diinstruksikan untuk mengeluarkan mayat dari reruntuhan, lalu ditumpuk dan dibakar. Tanggal 8 Agustus militer membersihkan kota dari mayat-mayat yang mulai membusuk."

Dalam keadaan lelah para pastur kembali ke biara. Namun, setiba di rumah, tugas baru menanti mereka. Seorang anak perempuan yang belajar piano dengan Pater Luhmer meminta pertolongannya. Ayahnya meninggal. "Kata anak itu, mohon bantu kami untuk membuang mayat-mayat."

Pater Luhmer mulai mengumpulkan jerami dan kayu kering untuk membakar mayat. "Tercium bau busuk yang tidak terlupakan selama hidup saya. Dan saya tidak dapat menggambarkan situasinya ketika mayat-mayat yang sudah busuk itu dibakar. Orang-orang yang pernah mangalami situasi seperti itu, akan menjadi lebih keras. Sungguh menakjubkan bagaimana orang-orang itu, setelah mengalami bencana, memiliki semangat untuk bangun kembali. Bangun, bangun dan terus bangun."

*Klaus Luhmer yang dilahirkan di Pulheim, dekat Köln, pada 28 September 1916. Ia meninggal pada 1 Maret 2011 di Tokyo, Jepang.

Silke Ballweg/Andriani Nangoy

Editor: Hendra Pasuhuk