1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kilas Balik Konflik Timur Tengah

1 Januari 2009

Tanggal 14 Mei 1948 adalah hari terbentuknya negara Israel. Bagi dunia Arab hari itu dianggap bencana. Bagi Israel situasinya tidak lebih baik. Impian memiliki negara sendiri diwarnai mimpi buruk silih berganti.

https://p.dw.com/p/GQM1
Agustus 2005. Kibaran bendera Palestina, ketika Israel nyatakan akan menarik diri dari Jalur GazaFoto: AP

Sorak sorai kegembiraan akan negara sendiri, dalam beberapa jam berlangsung di bawah serangan bom dan granat. Israel harus menghadapi perang pertamanya. Negara-negara yang sebelumnya baru tergabung dalam Liga Arab berharap dapat menghapus negara Israel. Menurut pandangan mereka pendirian Israel digembongi oleh Barat. Inggris dengan Deklarasi Balfour tahun 1917 sudah mendukung warga Yahudi dalam membentuk negara. Lalu tahun 1947 PBB memutuskan pembagian Palestina. Terutama Amerika Serikat memberi dukungan aktif untuk pembentukan negara Israel.

Amerika Serikat adalah negara pertama yang mengakui Israel, setelah Presiden Harry Truman tidak mempedulikan peringatan dari menteri luar negeri AS saat itu

"Semua yang disebut para pakar mengatakan kepada saya, jika hal ini dilakukan, seluruh Timur Tengah akan terlibat perang.”

Rencana Liga Arab menyingkirkan negara Israel, gagal. Sebaliknya setelah perang kawasan teritorial Israel semakin luas, melampaui batas pembagian yang diputuskan PBB. Tigaperempat juta warga Palestina harus meninggalkan kampung halamannya, untuk menyelamatkan diri atau karena diusir. 60 tahun kemudian jumlah pengungsi menjadi 4 juta orang, dan tetap menjadi masalah utama konflik.

Kekalahan pada tahun 1948 mendekatkan negara-negara Arab dan meningkatkan rasa solidaritas dengan dunia muslim. Orang tidak ingin menerima hasil tersebut dan bersumpah untuk balas dendam. Dan karena tidak bersedia menerima kekalahan dari sebuah negara kecil Yahudi, Barat menjadi kambing hitam. Lahirlah sebuah legenda yang sampai saat ini mencekoki kelompok radikal dan para populis. Israel dianggap sebagai pos Barat yang anti Arab dan anti Islam di kawasan itu. Seperti yang dulu terjadi saat perang salib.

Pembenaran teori itu selalu dikemukakan oleh musuh Israel. Seperti tahun 1956 ketika Israel melakukan kerja sama dengan Perancis dan Inggris. Bagi negara Eropa hal itu menyangkut Terusan Suez, sementara bagi Israel menyangkut keamanan di perbatasan selatan dengan Mesir. Di depan sidang PBB, Menteri luar negeri Israel saat itu Abba Eban

“Tujuan operasi ini adalah meniadakan base-base darimana satuan Mesir di bawah pimpinan panglima Nasser menyerbu kawasan Israel untuk melakukan pembunuhan dan sabotase dan menimbulkan bahaya berkepanjangan bagi kehidupan yang damai.”

Negara-negara Timur Tengah juga terpengaruh sengketa perang dingin, yakni konflik Timur dan Barat. Mesir, Suriah dan Irak bermitra dengan Moskow. Hal ini mempererat jalinan hubungan antara Israel dengan Amerika Serikat serta di kalangan negara Arab yang konservatif.

Perang Enam Hari Tahun 1967

Perubahan terpenting terjadi Juni 1967 ketika Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser tanpa mengindahkan peringatan Israel, tetap memblokade kawasan perairan di sekitar Pulau Tiran. Dan dengan demikian memberi alasan bagi Israel untuk melakukan serangan

Nasser: "Warga Yahudi mengancam dengan perang. Kami mengatakan, Silakan kami bersedia untuk perang"

Tapi Mesir kalah. Dan bantuan dukungan Yordania dan Suriah juga tidak membantu Kairo. Hanya dalam waktu enam hari, Israel menguasai seluruh Tanjung Sinai, Jalur Gaza, Tepi Barat Yordan serta dataran tinggi Golan. Sejak itu Israel mengawasi seluruh kawasan Palestina dan pihak Israel berharap datangnya isyarat dari Amman atau Kairo, yang menawarkan perdamaian sebagai timbal balik kawasan yang dikuasai tersebut. Sinyal yang tidak pernah berbunyi. Bahkan di Khartum, Liga Arab memutuskan tidak mengakui, tidak mengadakan perundingan dan tidak berdamai dengan Israel.

Tahun 1973 terjadi perang lagi. Suriah dan Mesir berhasil memukul Israel. Tapi tidak ada pihak yang betul-betul menang. Konstelasi ini memungkinkan Barat untuk mengubah sikap Presiden Mesir Anwar Sadat agar membuka inisiatif perdamaian. Yang akhirnya ditandatangani di Camp David tahun 1979 dengan Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter sebagai perantara. Dalam perundingan perdamaian itu sebetulnya Palestina dapat ambil bagian, tapi ditolaknya dengan dukungan dunia Arab.

Tahun 1987 dimulai pemberontakan pertama warga Palestina terhadap pengawasan Israel, yang dikenal sebagai Intifada. Jalur Gaza menjadi salah satu sumber konflik.

Perjanjian Oslo

Tahun 1993 di Oslo, Israel dan Organisasi Pembebasan Palestina PLO di bawah pimpinannya saat itu Yasser Arafat menetapkan agenda perdamaian, yang juga meliputi penarikan Israel dari kawasan yang dikuasainya dan pembentukan negara Palestina. 46 tahun setelah keputusan pembagian yang ditetapkan PBB kelompok-kelompok terpenting Palestina bersedia menerima usulan pembentukan dua negara.

Kesepakatan Oslo juga mengantar anugerah hadiah nobel perdamaian bagi Ketua PLO Yasser Afarat, Perdana Menteri Israel Yitzak Rabin dan menteri luar negeri Shimon Peres. Di Oslo Shimon Peres memuji peran Yasser Arafat

„ ia adalah warga pertama Palestina di abad ini yang memutuskan untuk kompromi dan perdamaian ketimbang konfrontasi dan permintaan yang tidak masuk akal.“

Pihak radikal Palestina menentang perjanjian Oslo, tapi penolakan juga datang dari pihak Israel. Partai Likud di bawah Benjamin Netanjahu, menyebutnya sebagai pengkhianatan terhadap tanah air, karena mereka memandang Palestina sebagai bagian dari Israel. Perdana Menteri Jitzhak Rabin yang menandatangani perjanjian itu di Oslo, dibunuh seorang warga Israel yang berpandangan radikal. Tidak lama kemudian Netanjahu terpilih sebagai perdana menteri, dan Israel semakin sering melakukan sabotase kesepakatan Oslo. Dari krisis politik dalam negeri Israel muncul ketidakpuasan yang semakin besar di kalangan warga Palestina. Tahun 2000 muncul pemberontakan Palestina, Intifada kedua, yang menghancurkan hampir semua hal-hal positif yang lahir di kawasan Palestina sejak perjanjian Oslo. Kawasan otonomi Palestina kembali menjadi daerah kekuasaan Israel, dan di bawah Perdana Menteri Ariel Sharon Israel mulai membangun tembok dan pagar pembatas. Setelah kematian Yasser Arafat, hanya dengan susah payah perundingan dilakukan kembali, namun tanpa hasil. Penentang pendekatan kembali Israel-Palestina memenangkan pengaruh.

Pasca Hamas Menangkan Pemilu

Tahun 2006 kelompok Islam Hamas memenangkan pemilu di kawasan otonomi Tepi Barat Yordan dan Jalur Gaza. Hamas yang merupakan singkatan dari Harakat al Mukawamah al Islamiyah adalah gerakan perlawanan Islam, yang dalam bahasa Arab juga berarti semangat keagamaan. Singkatan Hamas muncul pertama kalinya tahun 1987 dalam selebaran saat terjadinya Intifada pertama. Akar dari Hamas adalah persaudaran muslim Mesir. Tujuan mereka adalah membentuk tatanan masyarakat Islam. Hamas tidak mengakui Israel dan menolak perundingan Oslo.

Setelah Januari 2006 Hamas menang dengan suara mayoritas dalam pemilu parlemen, selama beberapa bulan kelompok ini terlibat perang saudara dengan rivalnya kelompok moderat Fatah. Bulan Juni 2007 kelompok radikal Hamas mengambil alih pengawasan di Jalur Gaza. Sebuah kawasan sepanjang 45 kilometer dan selebar 10 kilometer. Di sebelah barat berbatasan dengan Laut Tengah dan Utara dan Timur dengan Israel dan di selatan dengan Semenanjung Sinai bagian Mesir. Sekitar 1,5 juta warga Palestina menghuni Jalur Gaza. Di kawasan dimana Israel menarik diri Agustus tahun 2005, semakin sering berlangsung perang terbuka. Israel semakin sering memblokir Jalur Gaza dengan alasan ada serangan roket dari kawasan tersebut ke teritorium Israel. (dk)