1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Idola Memasuki Ruang Politik

Uly Siregar
20 Juni 2018

Di antara lautan meme dan tagar #2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi dan beragam lainnya, nampak politik pengidolaan masih mewarnai pilkada 2018 dam pemilu presiden tahun 2019. Simak opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2zCs4
Indonesien Wahlkampf Joko Widodo 05.07.2014
Foto: Reuters

Pemilihan Presiden tahun 2014 tak hanya melahirkan Joko Widodo sebagai presiden tapi juga menjadikannya sebagai idola dengan barisan pendukung fanatik. Begitu fanatiknya pendukung Jokowi, mulai soal kebijakan hingga penampilan, jangan coba-coba mencela apa pun yang Jokowi lakukan kalau tak ingin dirisak dari segala penjuru mata angin Indonesia.

Tentu saja Jokowi bukan satu-satunya idola. Meski gagal mengalahkan Jokowi dalam pilpres, Prabowo tak kekurangan pendukung. Saking cintanya, pendukung Prabowo pun masih berharap dia maju lagi menantang Jokowi di pilpres 2019. Mungkin mereka para pendukung fanatik Prabowo terinspirasi film-film laga produksi Hollywood: di awal-awal jagoan pasti kalah babak-belur, tapi setelahnya ada ‘revenge' yang manis, dan pada akhirnya sang jagoan akan memenangkan pertarungan. Selalu ada kesempatan untuk menang.

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia
Penulis: Uly Siregar Foto: Uly Siregar

Yang tak kalah militan adalah pendukung Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Mantan gubernur DKI Jakarta satu ini jelas-jelas memiliki pendukung fanatik. Meskipun Ahok dikalahkan Anies Baswedan di pilgub 2017, tak lantas membuat pendukungnya mati angin. Apalagi sejak Ahok divonis penjara 2 tahun. Bukannya dicemooh, Ahok justru makin dipuja. Ia digambarkan laksana berlian yang akan tetap bersinar meski dibuang di mana pun juga. Teman saya banyak yang jadi cengeng ketika bicara soal Ahok yang menurut pandangan pendukungnya dizalimi.

Tak ada yang salah dengan pengidolaan. Mengidolakan seseorang, dari orang terdekat hingga figur publik seperti artis, atlet, politisi, penyair, adalah sesuatu yang normal. Berawal dari rasa kagum terhadap seseorang, lantas secara bertahap semakin menguat hingga melibatkan emosi. Jangan heran kalau para pengagum sang idola seringkali merasa kenal secara pribadi dengan sang idola meski tak pernah bertemu. Apa pun yang menyangkut sang idola menjadi menarik. Berita baik tentang sang idola pun dirayakan, sementara musibah yang menimpa sang idola membuat pencintanya ikut merasakan kepedihan.

Terlena dalam ‘kebaperan‘

Dalam kasus Ahok, para pendukungnya yang sering digelari Ahoker ini tak malu-malu menunjukkan kecintaan pada sang idola. Begitu cintanya mereka, saat Ahok lengser sebelum jabatan gubernur berakhir, Balai Kota DKI Jakarta dibanjiri bunga kiriman dari pendukung Ahok. Ibu-ibu datang menunjukkan solidaritas sambil bercucuran air mata. Media sosial dipenuhi tulisan-tulisan menyentuh tentang disingkirkannya seorang pemimpin yang baik. Ketika Ahok berkirim surat dari penjara dan dipublikasikan oleh Tim BTP di laman resmi Basuki Tjahaja Purnama yang memiliki follower 2,5 juta sontak terjadi baper (ed: terbawa perasaan) massal di antara pendukung Ahok.

Sayangnya, soal puja-memuja ini sesungguhnya tak terlalu produktif saat bersinggungan dengan politik dan bagaimana kita sebagai masyarakat memilih pemimpin-pemimpin terbaik. Ketika politik seharusnya digunakan untuk menemukan formula yang tepat dalam menghasilkan pemerintahan yang bersih dan efektif, rakyat masih terlena dengan urusan pengidolaan. Sulit untuk memberikan pemahaman mendalam di tataran kebijakan dan argumen-argumen yang bersifat filosofis ketika pemahaman seseorang berhenti di tataran mitos dan pengidolaan.

Ambil contoh di Amerika Serikat. Pendukung Donald Trump sesungguhnya tahu betapa banyak fakta yang dibelokkan oleh Trump. Namun bagi mereka pendukung fanatik, Trump adalah sebuah gambar besar yang betapapun tercela tetap sebuah figur yang membawa doktrin-doktrin sesuai selera mereka. Trump yang gaya bicaranya kasar dan sering menyinggung lawan-lawannya dikatakan pendukungnya sebagai orang yang ‘berkata apa adanya'. Trump yang terkait skandal seks dengan pelacur tetap mendapatkan pembenaran dari pemuka agama Kristen sekalipun dengan alasan ‘itu persoalan masa lalu, Tuhan sudah memaafkan'. Dan banyak lagi pemakluman-pemakluman lain yang tak akan diberikan secara murah hati pada mereka yang bukan idola, apalagi mereka yang merupakan lawan politik.

Pengidolaan dalam dunia politik terjadi ketika seorang tokoh menjelma menjadi sesuatu yang absolut. Prinsip ‘pokoknya' menjadi makanan sehari-hari. Figur idola dianggap sebagai sebuah entitas yang harus selalu disepakati, dibela, termasuk dilindungi. Karena itu pada masa-masa perebutan kekuasaan seperti pilpres dan pilkada pihak-pihak yang bertarung dan pendukungnya pun tak putus-putusnya saling menyerang.

Bila figur idola mereka kalah, mereka seperti mengalami kematian. Akhirnya ke depan fokus mereka adalah menolak apapun yang disodorkan pihak lawan, dan sebisa mungkin mencari-cari kesalahan, seberapa pun kecilnya, serta menyepelekan kesuksesan pihak lawan. Padahal masyarakat yang sejahtera hanya bisa terwujud ketika semua pihak—baik yang bersepakat atau pun berseberangan—melakukan konsolidasi dan menemukan kesamaan kepentingan yang bisa diterima semua golongan masyarakat.

Dalam politik, pengidolaan adalah kontra produktif

Masyarakat sebaiknya menjauhkan diri dari politik pengidolaan dan ketergantungan pada mitos-mitos. Fanatisme pada idola di dunia politik hanya akan membuahkan kekecewaan. Apalagi para politisi terkenal jago bermanuver, dan hampir tak bisa dipegang janjinya. Bila ingin bernegara dan bermasyarakat dengan baik, seharusnya setiap indvidu melihat pelaku politik sebagai pihak yang setara, bukan di atas hingga harus dipuja-puja atau di bawah hingga perlu dihina dan dicampakkan. Sebagai partner masyarakat, pemimpin seharusnya tidak steril dari kritik, namun tak juga harus selalu dicela dan dibantai setiap gerak langkahnya.

Dalam situasi politik yang kian memanas di Indonesia, menjadi pihak yang moderat berarti berperang melawan pengidolaan yang berlebihan. Bila bebas dari persoalan pemujaan, seseorang sejatinya bisa lebih jernih melihat persoalan yang dihadapi. Dalam konteks memilih pemimpin, mereka yang moderat akan lebih pintar memilih mana yang pantas menjadi pemimpin. Mereka juga bebas menyuarakan kepentingan tanpa harus memiliki ketergantungan untuk loyal pada seorang figur.

Nah, masalahnya, di antara lautan meme dan tagar

#2019GantiPresiden dan #2019TetapJokowi dan beragam lainnya, mungkinkan sikap menolak pengidolaan itu terjadi di masa perebutan kekuasaan tahun 2019?

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.