1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ketika Anak-anak Pergi Berperang

Christina Ruta12 Februari 2013

Banyak serdadu anak yang mengalami trauma berkepanjangan dan kesulitan untuk berintegrasi kembali di masyarakat. Mereka dianggap sebagai pelaku namun sekaligus korban dari konflik itu sendiri.

https://p.dw.com/p/17cpE
D
Serdadu Anak di Sierra LeoneFoto: picture-alliance/dpa

Bosco baru berusia enam tahun, ketika pemimpin pemberontak Uganda Joseph Kony membawanya ke hutan dan memerintahkannya untuk membunuh adik perempuannya, demikian dikisahkan Elisabeth Kaiser. Psikolog itu membantu para serdadu anak mengatasi trauma mereka. Bersama organisasi bantuan Vivo International ia melakukan terapi pada anak-anak yang mengalami trauma tersebut di Uganda. Kepadanya Bosco meceritakan secara rinci bagaimana kejadian pemaksaan terhadap dirinya untuk melakukan pembunuhan terhadap sang adik, “Komandan menunjuk dengan senjatanya dan berujar pada saya 'tebas dia segera' Dan saya pikir saat itu 'biarkan saya mati saja' dan saya mendengar suara tembakan tepat di atas kepala saya. Saat itu hati saya tertekan dan saya tahu harus berbuat sesuatu. Saya angkat tangan saya, dan saya dengar adik perempuan saya menangis. Saya juga mulai menangis dan berkata 'Juli maafkan saya. Saya harus berbuat sesuatu.' Komandan menepuk bahu saya dan parang itu menebas leher adik saya.'

Juli baru berusia lima tahun saat itu. Ia dibunuh, karena tak mampu mengikuti laju kecepatan jalannya para gerombolan pemberontak menuju ke sasaran serangan berikutnya.

Sklaverei Kindersoldaten in Demokratische Republik Kongo
Serdadu anak di Republik KongoFoto: picture-alliance/dpa

Didoktrin dan Disiksa

Perserikatan Bangsa-bangsa memperkirakan, sekitar 250 ribu anak-anak dipaksa oleh tentara maupun kelompok pemberontak untuk ikut bertempur dalam hampir di seluruh konflik bersenjata yang terjadi di dunia.

Dalam laporan terkini badan PBB, disebutkan ada 53 pihak di 23 negara yang memanfaatkan anak-anak untuk menjadi kombatan, mata-mata, utusan perang, atau membawa perlengkapan perang yang berat, demikian diungkapkan Ninja Charbonneau, yang bekerja untuk badan dunia yang menangani masalah anak-anak, UNICEF. Juga dari Suriah, terdapat laporan bahwa baik pemerintah maupun kelompok oposisi memakai anak-anak untuk berperang. Anak-anak itu hidup dalam ketakutan yang terus-menerus. Mereka takut dibunuh oleh kelompok yang menyeretnya, jika tidak patuh. Tak jarang di antara mereka ada yang disiksa dan dipukuli: “Anak-anak 'dimanfaatkan' oleh kelompok bersenjata. Mereka dijadikan kombatan yang mudah dimanipulasi. Sering diberi obat bius dan didoktrin lewat material propaganda dan film agar mau menjalankan tugas barunya,“ ujar Ninja Charbonneau dari UNICEF.

Anak-anak yang direkrut kebanyakan adalah mereka yang kehilangan orang tuanya semasa konflik berkecamuk. Ditambahkan Charbonneau, anak-anak itu kemudian menjadi bagian dari kelompok bersenjata. Banyak juga yang diculik dan dipaksa memanggul senjata. Bosco menghabiskan masa kecilnya bersama kelompok pemberontak.

Behinderte in Arika - Rollstuhlfahrer
Menjadi cacat akibat perangFoto: picture-alliance/dpa

Kerusakan Struktur Keluarga dan Lingkungan

Anak-anak yang mampu bertahan hidup di masa konflik, sebagian besar mengalami efek trauma, mereka menjadi depresi dan mengalami gangguan psikosomatis, demikian diungkap terapis efek trauma Elisabeth Kaiser. Karena menanggung rasa sedih, bersalah, dan malu, ada juga yang lantas bunuh diri. Lainnya yang mencoba berintegrasi lagi dengan masyarakat sipil, namun mengalami gangguan dalam bertingkah laku, sehingga sukar kembali menjalani hidup normal dalam keluarga maupun di lingkungannya. Di antara mereka itu ada pula yang pada akhirnya juga melakukan tindak kekerasan pada anak mereka. Dikisahkan Kaiser, “Ada pula sebuah masyarakat yang separuhnya mengalami gangguan mental atau sakit secara psikis dan pada akhirnya membawa kehancuran pada struktur masyarakat itu sendiri.“ Yang paling berat adalah nasib anak-anak perempuan yang diperkosa ketika menjadi serdadu cilik, lantas harus hidup di desa tanpa suami dan hidup dalam kemiskinan.

Jerman Tak Luput dari Kritik

Aturan internasional melarang penggunaan anak-anak dalam konflik. 150 negara terlah meratifikasi protokol tambahan dalam konvensi PBB menyangkut hak anak, yang berisi larangan keterlibatan anak-anak dalam konflik. Jerman telah meratifikasi protokol tambahan ini. Namun Jerman tidak luput dari kritik, yang termuat dalam laporan UNICEF bersama sepuluh lembaga anak lainnya. Ninja Charbonneau dari UNICEF menyebutkan, “Mantan serdadu anak yang tiba sebagai pengungsi di Jerman, tak cukup mendapatkan bantuan. Mereka khawatir tak diakui sebagai pencari suaka.“ Dalam laporan bayangan itu dikritik pula iklan perekrutan angkatan bersenjata Jerman Bundeswehr di sekolah-sekolah terhadap remaja-remaja berusia 17 tahunan di Jerman. Di luar itu, laporan itu juga menyebutkan adanya ketidakjelasaan apakah senjata-senjata kecil yang digunakan dalam konflik berasal dari Jerman. Jerman terkenal sebagai salah satu eksportir senjata terbesar di dunia.

z
Ninja Charbonneau dari UnicefFoto: Unicef