1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kesia-siaan Politik Arsip 1965

31 Oktober 2017

“Mereka yang tidak belajar dari sejarah terkutuk akan mengulang kesalahannya.” George Santayana, filsuf. Opini Geger Riyanto.

https://p.dw.com/p/2mmxN
Indonesien Suhartos Weg zur Macht (Bildergalerie)
Foto: Getty Images/C. Goldstein

Anda mungkin sempat mendengar kutipan di atas pada suatu tempat dan suatu waktu. Yang saya tahu, para sejarawan sangat gemar mengutipnya, mengulangnya, menjejalkannya kepada para pendengar mereka. Sejarawan yang saya kenal, setidaknya, tak pernah merasa klise menyampaikannya ketika ia merasa harus menjelaskan apa kegunaan sejarah. Sayangnya, saya sendiri ragu pandangan ini menggambarkan nasib para sejarawan yang bergulat dengan isu 1965.

Belum lama ini, Amerika Serikat membuka ribuan dokumen yang dimiliki kedutaan besarnya di Indonesia antara 1963-1966. Fakta yang paling pertama mengemuka dan menjadi buah bibir media adalah pemerintah AS, pada tahun-tahun muram tersebut, tahu, pembantaian besar-besaran terjadi di Indonesia. Mereka tahu, siapa saja yang didakwa komunis dapat secara serampangan dilibas. Dan mereka tahu angkanya yang sangat besar—bahwa dalam dua bulan saja di Bali, jumlah korban pembantaian dapat melesat dari angka 10.000 menjadi 80.000.

Penulis: Geger Riyanto
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Mereka sekadar tahu dan tidak berbuat apa-apa? Tidak. Mereka merayakannya. Mereka menggambarkannya sebagai "peralihan fantastis dalam waktu sesingkat 10 minggu”—demikian tulis sekretaris kedutaan besar, Mary Vance Trent, dalam kabelnya pada 21 Desember 1965.

Sudah lama diketahui para sejarawan

Namun, fakta ini sebenarnya sudah lama diketahui para sejarawan. Lagi pula, tak lama selepas peristiwa tersebut, Richard Nixon, Presiden Amerika Serikat, menyampaikan satu pernyataan yang jelas-jelas gembira terkait perubahan ini. Indonesia, yang terdiri dari ratusan juta penduduk dan gugusan pulau sepanjang 300 mil, menurutnya, adalah hadiah terbaik di Asia Tenggara.

Fakta yang juga mengemuka dari dokumen Kedubes AS di Indonesia tersebut adalah adanya peran kekuatan politik besar di Indonesia yang memuluskan tragedi tersebut. Tetapi, ini pun bukan fakta yang baru diketahui kemarin sore. Penyelidikan Jess Melvin, misalnya, menemukan adanya komando militer yang terstruktur dan rapi yang memantik dan mengarahkan pembersihan komunis di Aceh. Dan tidak ada sejarawan penggiat isu 1965 yang rasanya tak mengetahui kancah Resimen Para Komando Angkatan Darat—satu unit paramiliter yang bergerak ke sana-kemari mempersenjatai kalangan sipil untuk menghabisi komunis dan para simpatisannya.

Maka, arti penting arsip ini seharusnya bukanlah mengungkap melainkan menegaskan fakta. Ia seyogianya memahamkan kepada khalayak yang lebih luas apa yang sudah diketahui jauh-jauh hari oleh para sejarawan bahwa pembantaian 1965 merupakan bagian dari sebuah manuver kekuasaan yang disengaja. Ada peran kekuatan-kekuatan besar berkepentingan di sana, dan banyak yang tak mengetahui apa-apa namun tersambar olehnya.

Dan selanjutnya? Ia, seharusnya, menginsafkan orang-orang dengan kebenaran sejarah dan secara berarti mendorong diwujudkannya keadilan bagi mereka yang menjadi korban dari peristiwa ini.

Akan tetapi, bayangan ideal, yang biasanya dibentangkan para pegiat kemanusiaan tersebut, masih jauh dari genggaman. Terlalu jauh. Konstruksi yang ditanamkan oleh Orde Baru bahwa pembantaian 1965-1966 merupakan reaksi spontan rakyat yang muak terhadap pengkhianatan kelompok "ateis” PKI bukan hanya masih mencengkeram kuat. Dua dekade selepas rezim Orde Baru lengser, narasi ini malah mencengkeram kesadaran masyarakat dengan semakin mantap.

Mengapa?

Penjelasannya sebenarnya tak sulit dijumpai. Berpaling ke satu sisi, kita menemukan citra komunis kini menjadi komoditas politik yang sangat berharga di era demokrasi liberal. Ia, khususnya, menjadi pisau yang sangat ampuh untuk melucuti elektabilitas lawan dalam kontestasi politik. Dan ketika setiap usaha politik mendorong keadilan bagi para penyintas atau membuka kebenaran sejarah diganjar dengan kampanye hitam yang sangat mudah berseliweran di media sosial, mimbar agama, dan ranah keluarga, siapa politisi yang dapat diharapkan mengusung wacana ini secara terbuka ke depan publik?

Berpaling ke sisi yang lain, kita dihadapkan dengan keruwetan berjalinkelindannya harga diri banyak kelompok berpengaruh dengan narasi 1965 yang dominan. Kita dihadapkan dengan militer yang harus juga mengakui bahwa institusinya berdiri di atas kebohongan bila mereka mengakui fakta ini. Kita dihadapkan pula dengan agamawan yang akan terdengar tak pada tempatnya bila mereka mengakui kebenaran kabel dari kedubes AS tersebut. Dan, tak lupa, kita dihadapkan dengan kepala keluarga yang kontrolnya terhadap anak-anaknya dibangun dengan menjauhkan mereka dari segala hal berkonotasi komunis.

Maka, memang, cerita-cerita ihwal 1965 kini tidak lagi menjadi mitos yang dikembangkan rezim untuk menjaga kelanggengannya. Tetapi, ia bermutasi menjadi komoditas politik yang menjadikannya malah lebih marak direproduksi di mana-mana. Dalam situasi ini, bagaimana kita mengharapkan adanya pengungkapan terhadap kebenaran sejarah 1965?

Dan dalam situasi ini, karenanya, saya sulit menerima ungkapan Santayana mentah-mentah. Saya lebih percaya satu ungkapan yang disampaikan penulis Peter Lamborn Wilson memelintir Santayana. Mereka yang tidak belajar dari sejarah terkutuk akan mengulang kesalahannya. Mereka yang belajar sejarah terkutuk akan tidak berdaya mencegah orang-orang mengulang kesalahannya.

Penulis:

Geger Riyanto (ap/vlz)

Esais dan peneliti sosiologi. Mengajar Filsafat Sosial dan Konstruktivisme di UI. Bergiat di Koperasi Riset Purusha.

@gegerriy

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.