1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenya dan Para Pemerkosa yang Kebal Hukum

1 November 2013

Para aktivis berpawai di pusat Nairobi dan menyerahkan kepada polisi petisi yang ditandatangani 1,2 juta orang di seluruh dunia, yang mengutuk lambatnya aparat keamanan dalam menangani kasus pemerkosaan di Kenya.

https://p.dw.com/p/1A9gB
Foto: picture-alliance/dpa

Petisi ini beredar setelah seorang anak berumur 16 tahun, bernama Liz, dengan brutal diperkosa beramai-ramai oleh enam laki-laki ketika sedang dalam perjalanan menuju rumah sehabis menghadiri pemakaman. Para penyerang kemudian melempar gadis itu ke sumur jamban.

Tubuh Liz hancur akibat serangan dan membuatnya kini harus menggunakan kursi roda. Selain cedera tulang belakang, ia kini juga menderita kerusakan obstetric fistula atau kerusakan parah pada alat reproduksinya.

Tiga dari enam laki-laki yang diidentifikasi melakukan kejahatan itu kemudian ditangkap polisi. Namun dunia terkejut atas hukuman bagi para pelaku pemerkosaan itu.

Impunitas

Para laki-laki itu diminta untuk memotong rumput di halaman kantor polisi dan kemudian dibebaskan.

“Kami ingin para pelaku dibawa ke pengadilan,” kata aktivis bernama Joan Khamla yang ikut dalam protes yang dihadiri ratusan orang.

“Tidak diminta memotong rumput kemudian pulang.”

Para demonstran meneriakkan berbagai slogan seperti ”Tak boleh lagi ada pemerkosaan“ dan “Kita semua adalah Liz,“ saat mereka berpawai melalui pusat kota Nairobi, melumpuhkan jalan utama ibukota ketika mereka dalam perjalanan menuju kantor kepala polisi untuk menyerahkan petisi yang disebarkan melalui internet.

Juru bicara kepolisian, William Thwere, mengatakan bahwa mereka sadar para tersangka masih buron dan berjanji akan menangkap mereka.

Para aktivis perempuan mengatakan budaya impunitas atau kekebalan hukum menyelimuti berbagai kasus kekerasan atas para perempuan di Kenya, di mana satu dari tiga perempuan pernah mengalami kekerasan seksual dalam hidup mereka.

Saida Ali, direktur eksekutif Coalition on Violence Against Women (COVAW), menyesal bahwa sebagian besar pelaku kekerasan seksual tidak pernah ditangkap.

“Impunitas direstui dari dalam otoritas Negara kami dan oleh aparat keamanan dari petugas junior hingga senior,“ kata Ali.

“Kejahatan seksual dan berbasis gender dianggap sebagai kejahatan sepele,“ jelas dia. “Orang-orang menggunakan budaya dan mengatakan laki-laki punya hak untuk menyiksa istri mereka.“

Angka perkosaan tinggi

Ali menunjuk bahwa kekerasan terkait sengketa pemilu 2007 yang menyebabkan lebih dari 1.000 orang tewas juga diikuti banyak kasus pemerkosaan. Hingga kini negara itu tidak mengusut kasus-kasus tersebut.

Survei yang dilakukan polisi Kenya dan badan kesehatan dunia WHO menemukan 15 persen kenaikan kasus pemerkosaan selama setahun terakhir. Berbagai studi juga menunjukkan bahwa 20 persen perempuan Kenya, mengalami perkosaan sebagai pengalaman seks pertama mereka, dan itu banyak terjadi ketika mereka masih kanak-kanak.

Perempuan yang ikut dalam demo mengatakan, polisi mempersulit proses pelaporan kasus pemerkosaan, dan sering mereka meminta korban untuk membawa bukti tuduhan mereka, ketimbang keluar kantor untuk menyelidiki tuduhan itu.

Sebagai tambahan yang menyakitkan, polisi juga meminta perempuan untuk menggambarkan pakaian apa yang mereka pakai saat kejadian, seolah-olah untuk menunjukkan bahwa itu terjadi karena pakaian yang dianggap menggoda pelaku kejahatan.

“Mereka (polisi) meletakkan kesalahan pada perempuan dan mengatakan bahwa perempuan yang memprovokasi,” kata demonstran bernama Mercy Karira. "Orang-orang yang melakukan kejahatan dijatuhi hukuman rendah di pengadilan atau dibebaskan.”

Dalam kasus Liz, para petugas polisi meminta ibu korban untuk membawa anaknya yang menjadi korban itu ke rumah dan membersihkannya terlebih dulu sebelum pergi ke rumah sakit -- membuat bukti-bukti forensik menjadi rusak. Mereka juga tidak memberi kontrasepsi darurat kepada korban.

ab/hp (dpa,ap,rtr)