Kenapa Seniman Perempuan Iran Menolak Diam
27 September 2022Kematian Mahsa Amini, 22, di tahanan polisi moral menerbitkan perlawanan kaum perempuan Iran yang melihat jilbab sebagai simbol penindasan. DW berbincang dengan Parastou Forouhar, seniman dan aktivis Iran yang hidup di pengasingan di Jerman. Forouhar menyimpan trauma masa lalu, karena kedua orangtuanya diduga dibunuh aparat pemerintah oleh pada 1998 silam.
Menurutnya, kaum perempuan adalah korban terbesar Revolusi Islam Iran dan sebabnya berdiri di medan terdepan dalam melawan pemerintah. Berikut kutipan wawancaranya:
+++
Deutsche Welle: Pada September lalu, Mahsa Amini seharusnya merayakan ulang tahun ke-23. Dia sebaliknya ditahan karena tidak mengenakan hijab dengan benar. Menurut Anda kenapa dia sebabnya meninggal dunia di tahananan kepolisian?
Parastou Forouhar: Penahanannya bukan dipicu sikapnya menolak memakai hijab, melainkan bahwa Mahsa Amini tidak mengenakannya sesuai seperti yang diinginkan aparat. Dan sebab itu dia dianiaya dan dipukuli.
Perempuan yang turun ke jalan untuk memprotes dan mendemonstrasikan penolakan total terhadap kewajiban berhijab. Mereka membakar jilbabnya di depan umum. Beberapa perempuan sebabnya ditembak mati.
Bagaimana perasaan Anda ketika melihat perkembangan situasi di Iran?
Kasus ini membuat saya marah. Sangat marah. Tapi saya juga merasakan kesedihan mendalam, melihat anak-anak muda menghadapi kebrutalan dan tidak mampu menyelamatkan diri dari tindak kekerasan. Situasinya seperti jebakan. Kediktaturan agama ini terlalu getol mencampuri ranah pribadi. Generasi demi generasi kaum muda Iran berusaha memperjuangkan hak determinasi, tapi gagal oleh kebrutalan aparat.
Anda sudah banyak makan asam garam dalam menghadapi kediktaturan di Iran. Orang tua Anda dibunuh pada 1998 atas alasan politik. Apa yang Anda paling khawatirkan dari situasi sekarang ini?
Saya ketakutan, terutama sejak sejumlah aplikasi internet sepetri WhatsApp ditutup oleh pemerintah. Mereka ingin menciptakan isolasi agar tidak ada lagi kabar yang lolos ke luar. Setiap kali terjadi perlawanan sipil, pemerintah bertindak lebih keras dengan penangkapan masal, penembakan dan penindasan. Mereka menggunakan taktik brutal untuk mencegah munculnya aksi protes lanjutan.
Hari Rabu (21/9) kemarin, pemerintah mulai menahan demonstran dan aktivis di rumah masing-masing. Kediaman mereka diserbu aparat. Situasinya penuh kekerasan. Tentang kondisi mereka sejauh ini belum ada kabar apapun.
Aktris Inggris berdarah Iran, Nazanin Boniadi, menulis di akun Twitternya, betapa Revolusi Islam 1979 merupakan revolusi melawan perempuan, dan apa yang kita lihat sekarang adalah revolusi oleh kaum perempuan. Benarkah demikian?
Saya yakin, bahwa kebanyakan yang mendorong terciptanya Revolusi 1979 tidak menyadari bahwa revolusi yang mereka perjuangkan adalah revolusi melawan perempuan. Mereka turun ke jalan demi kebebasan, kemerdekaan dan keadilan, tapi kemudian tersisih oleh kaum agamis. Pernyataan Boniadi banyak disingkat. Tapi saya yakin, rejim Iran memusuhi perempuan. Yang mereka bangun adalah sistem apartheid melawan perempuan.
Anda hidup sejak lama di Jerman. Apa yang Anda lakukan untuk melawan ketidakberdayaan dan rasa marah?
Saya berusaha pulang ke Iran setiap tahun untuk mengenang kematian orang tua saya, Parvaneh dan Dariush Forouhar. Meski berbahaya, karena saya dikenakan hukuman in absentia selama enam tahun penjara di sana, saya tetap terbang ke Iran. Bagi saya, perjalanan ini adalah sebuah perlawanan, yakni merawat ingatan masa lalu dan bersikeras memperjuangkan keadilan. Selain itu, saya membantu mengabarkan perkembangan peristiwa dari lapangan dan menjelaskan apa yang terjadi untuk membantu kaum perempuan di sana. Jika Iran akan berubah, maka perubahan itu akan datang dari mereka. Tapi meski begitu, negara-negara demokratis juga bisa membantu gerakan perlawanan di Iran.
Seberapa besar harapan Anda, bahwa aksi protes bisa berhasil memaksakan perubahan?
Pertanyaan ini sulit dijawab. Setiap kali protes terjadi, saya berharap besar, karena digerakkan oleh keberanian mereka untuk tetap turun ke jalan. Adalah hal sakral apa yang diciptakan aksi protes ini. Tekad bulat yang dibarengi dengan visi untuk mendapat kehidupan yang lebih baik melalui perlawanan. Semua itu membuat saya bergairah. Tapi trauma represi ikut mengancam, terutama tindakan brutal aparat yang terus diingat.
Banyak seniman eksil yang ikut aktif di media sosial untuk menyebarkan kabar dari Iran. Apa yang bisa mereka sumbang lewat seni?
Pada saat seperti ini, saya terutama adalah seorang aktivis dan warga negara yang mengemban tanggungjawab untuk terus melanjutkan perjuangan ini. Tugas kami adalah memperluas jangkauan kaum perempuan Iran untuk menyuarakan pesan-pesan mereka. Krisis semacam ini membuat saya menjadi seorang aktivis. Nanti, pengalaman-pengalaman eksistensial ini tentu akan menginspirasi kerja seni saya.
Wawancara oleh Julia Hitz.
rzn/hp