1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keluar dari Kecanduan Digital

26 Juni 2013

Apakah Anda mulai lelah karena kecanduan ponsel, tablet dan internet? Sebelum terkena "burn-out digital", kini banyak pilihan yang tersedia untuk menjalani semacam rehabilitasi yang disebut sebagai detox teknologi.

https://p.dw.com/p/18vaZ
People using smart phones.
SmartphonesFoto: picture alliance/AFP Creative

Kini semakin banyak pilihan yang tersedia bagi mereka yang membutuhkan "detox" atau detoksifikasi dari teknologi. Mulai dari wallpaper yang memblokir wi-fi hingga paket liburan bebas internet dan software yang mencegah Anda untuk mengakses situs-situs yang bisa membuat kecanduan. "Orang terhubung ke internet setiap saat. Dalam setiap posisi. Saat tiduran, di restoran, di ruang tunggu," kata Remy Oudghiri, dirrektur perusahaan survey Ipsos di Perancis.

Memblokir Akses Wifi

Di Amerika Serikat, lebih dari 50 persen orang dewasa memiliki smartphone dan lebih dari 30 persen memiliki komputer tablet. "Kini bagaimana caranya untuk tetap menarik keuntungan dengan tersambung internet secara terus menerus, tanpa menjadi 'tergantung' dan masih bisa menikmati hidup," tambah Oudghiri.

Peneliti Perancis menemukan satu solusi bagi para pecandu internet dengan menciptakan wallpaper jenis khusus yang memblokir sambungan internet melalui wifi. Perusahaan Ahlstrom masih terus mengembangkannya dan rencananya akan mulai dipasarkan tahun depan. Juru bicara Ipsos Robin Guillaud mengatakan, sudah ada minat signifikan akan penemuan tersebut. Khususnya sekolah-sekolah yang ingin mencegah para murid menghabiskan waktu terlalu banyak dengan smartphone mereka.

Paket Liburan Detox Digital

Berdasarkan survey Ipsos, hampir 30 persen warga Perancis kini merasa perlu untuk 'terputus' dari dunia teknologi digital. Tren yang mirip juga ditemukan di beberapa negara lain. Tahun 2006, Ipsos mempublikasikan studi yang menyatakan 54 persen populasi Perancis merasa waktu yang dihabiskan dengan sesama manusia lebih sedikit karena adanya teknologi baru. Angka ini melonjak menjadi 71 persen pada tahun lalu.

Hotspot
Akses wifi bisa diblokirFoto: bilderbox

Tren ini disadari oleh pasar, khususnya industri turisme kini banyak yang menawarkan paket liburan detox digital. Hotel Westin di Dublin misalnya, memberi pilihan kepada tamunya untuk menyerahkan smartphone dan tablet saat check-in dan menukarnya dengan paket detox yang termasuk mainan tradisional seperti catur dan monopoli atau juga bibit dan petunjuk untuk menanam pohon. Tapi bermalam di hotel ini tidak murah. 175 Euro atau lebih dari 2 juta rupiah harus dibayar per orang per malamnya.

Nasib seorang blogger yang menderita burn-out digital dan program rehabilitasi khusus pencandu internet bisa disimak di halaman kedua.

Blogger Thierry Crouzet menderita burn-out digital dan melepaskan diri dari alat teknologi dan internet selama enam bulan.

Dampak Burn-Out Digital

Crouzet bercerita, saat itu ia seperti kecanduan untuk terus memerika email, blog dan Twitter di malam hari saat waktunya tidur. Tapi Crouzet juga mengakui, pekerjaannya sebagai blogger yang kini menulis buku tentang pengalamannya, memudahkan untuk 'beristirahat' dari dunia digital. Sementara jutaan orang, pekerjaannya bergantung pada email.

Student mit WLan
Jangan memeriksa email di luar jam kerjaFoto: AP

Dampak burn-out digital mulai disadari beberapa perusahaan besar yang mengambil langkah untuk tidak lagi membebani pegawai dengan terhubung 24 jam. Perusahaan Jerman Volkswagen misalnya, sejak 2011 memutuskan untuk berhenti mengirimkan email kepada Blackberry ribuan pegawainnya antara jam 6:15 malam dan 7:00 pagi.

Rehabilitasi 'Pencandu' Internet

Bagi mereka yang tidak bisa menahan 'godaan' Facebook, Twitter atau Google+, situs anti.social.cc menawarkan software yang melumpuhkan sejumlah situs yang berpotensi mengganggu pelanggan selama periode waktu tertentu.

Jika semua upaya gagal, rehabilitasi bagi pecandu internet juga mulai bermunculan. Seperti reSTART, yang menyebut dirinya sebagai program pusat rehabilitasi internet pertama di Amerika Serikat. Menurut situsnya, kebanyakan pesertanya berusia antara 18 dan 28 tahun. Mereka mendaftarkan diri ke program tersebut karena kesulitan menyelesaikan pendidikan mereka akibat dari penggunaan internet atau kesulitan menjalin hubungan sosial secara 'offline'.

Program ini bertujuan untuk mengajarkan pesertanya tentang pola makan yang sehat, tidur cukup dan cara menangani masalah emosional secara langsung dibandingkan mencari jawabannya di internet.

vlz/yf (afp, ap)