1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kegagalan Gencatan Senjata di Suriah

Kersten Knipp 31 Oktober 2012

Setelah gencatan senjata dinyatakan gagal, punah harapan akan akhir kekerasan di Suriah dalam waktu singkat. Ada peluang lain, jika bereaksi secara cepat.

https://p.dw.com/p/16Zrg
Foto: Getty Images

Gencatan senjata telah gagal sebelum diumumkan. Selama beberapa hari, utusan internasional urusan Suriah, Lakhdar Barhimi, berupaya menjadi mediator antara pemerintah dan pemberontak. Namun, upayanya sia-sia. Gencatan senjata yang diumumkan Jumat (26/10), hanya berlangsung selama beberapa jam.

Ini sebenarnya tidak mengejutkan. Menurut "Al Hayat" harian bahasa Arab yang terbit di London, rencana gencatan senjata hanya bertujuan mengulur waktu. Karena waktu dibutuhkan untuk mencapai serangkaian sasaran. Yakni, mengulur waktu hingga pemilihan presiden AS, merancang strategi solusi politik baru, mewujudkan zona aman di utara dan selatan Suriah yang bisa meningkatkan tekanan bagi rezim di Damaskus.

Lakhdar Brahimi in Moskau
Lakhdar BrahimiFoto: Reuters

Dinamika yang hampir tak terkendali

Daftar masalah yang tidak selesai menunjukkan: tidak mungkin gencatan senjata bisa bertahan. Kedua pihak memanfaatkan 'istirahat' untuk mengorganisir suplai tambahan senjata. Gencatan senjata kali ini menambah beban pemerintah. Pihak oposisi di utara dan selatan negara ini sejak lama menang perang di darat dan memperluas jalur suplai senjatanya. Memang senjata tentara pemerintah masih jauh lebih banyak, namun perbedaannya semakin berkurang. Menurut pakar politik Werner Ruf, pemerintah di Damaskus hanya punya satu pilihan: "Rezim Assad harus menang lewat jalur militer, kalau tidak semuanya usai." Ruf mempertanyakan taktik negara barat yang mendukung oposisi dari segi logistik. "Ini pelanggaran atas hukum warga dan prinsip tidak turut camour. Konflik ini akan memiliki dinamika yang tidak lagi terkendali."

Logika "semua atau tidak sama sekali"

Tidak hanya negara barat yang berperan di Suriah. Sekutu Assad, khususnya Rusia dan Iran, turut ikut campur. Kedua pihak mendukung sekutunya masing-masing, bahkan dengan suplai senjata. Senjata baru produksi Rusia dan AS dikatakan digunakan dalam pertempuran. Karena itu, tidak ada pihak yang berani berhenti berperang. Ahli hukum Naseef Naeem berpendapat; "Jika salah satu menyerahkan senjata, maka ia akan dibunuh pihak yang lain." Kedua partai hanya punya satu pilihan: "yakni mempertaruhkan segalanya."

Syrien Waffenruhe Aleppo
Tentara Pembebasan SuriahFoto: AFP/Getty Images

Pilihan ini punya konsekuensi fatal. Kedua pihak tidak hanya saling memerangi, secara tidak langsung mereka juga menghancurkan negara Suriah. Warga turut menjadi korban. Infrastruktur negara setiap hari rusak setahap demi setahap. Werner Ruf memprediksi: "Solusi senjata, sama seperti di Irak atau Afghanistan atau juga Libya, bisa mengakibatkan kekacauan yang berlanjut dengan perang saudara."

Kekuatan asimetris

Menurut Naseef Naeem, negara Suriah berada di ambang kehancuran. Apalagi dengan kemunculan "aktor-aktor" baru. "Kita berkonfrontasi dengan kekuatan asimetris yang terpengaruh suku dan agama. Mereka punya kekuataan yang sama atau bahkan lebih dari negara."

Kondisi ini, menurut Naeem, harus turut dipertimbangkan sang mediator. Ia juga tidak percaya akan akhir aksi kekerasan dalam waktu dekat. Namun, upaya berdialog dengan tokoh-tokoh baru bisa dicoba untuk mengakhiri konflik. Naeem menambahkan, "dialog perantara berikutnya harus dipimpin seorang warga Suriah. Sosok terpandang yang bisa berbicara dengan rakyat dan tidak hanya dengan perwakilan pemerintah dan oposisi."

Syrien Waffenruhe Aleppo
Nasib warga tidak jelasFoto: AFP/Getty Images

Dialog semacam ini harus segera dimulai. Semakin besar kerusakan yang ditimbulkan oleh perang di Suriah. Rakyat terus menderita. Upaya mengakhiri kekerasan bisa jadi datang dari warga sipil Suriah. Tetapi mereka juga harus diajak berdialog, selama mereka masih eksis. .