1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

020511 Syrien Pressefreiheit

3 Mei 2011

Setiap tahun organisasi Reporters Without Borders menempatkan Suriah di peringkat paling bawah daftar kebebasan pers. Kini rejim Baath tidak hanya mengintimidasi warga, tapi semakin ketat menyensor berita.

https://p.dw.com/p/118BW
Gambar simbol kebebasan persFoto: DW/fotozon - Fotolia.com

Setiap tahun organisasi Reporters Without Borders menempatkan Suriah di peringkat paling bawah daftar negara yang memiliki kebebasan pers. Kini rejim Baath, yang menghadapi gelombang protes, tak hanya mengintimidasi warga, tapi semakin ketat menyensor berita.

Berita siang di televisi Suriah. Di hadapan kamera seorang pemuda mengaku, ia anggota kelompok Islam radikal. Ia telah mengorganisir demonstrasi anti pemerintah untuk memicu kerusuhan. Semua media pemerintah dan swasta harus mempublikasi versi resmi ini. Namun apa yang sebetulnya terjadi di kota-kota Dara'a atau Banyas, sulit dipastikan. Laporan independen tidak mungkin didapatkan. Media asing hanya bisa mengacu pada video-video yang dibuat oleh peserta aksi dan masyarakat setempat. Atau lewat telefon, mewawancarai penduduk setempat, yang mengatakan bahwa semakin banyak warga yang turun ke jalan menentang rejim Baath. Sementara penguasa bereaksi dengan kekerasan, penangkapan dan sensor.

Di Beirut, Pusat Kebebasan Media dan Budaya, Skeyes, setiap bulannya menghimpun pelanggaran-pelanggaran terhadap kebebasan pers di Suriah. Saad Kiwan, seorang anggota Skeyes menceritakan, "Kami menghadapi situasi yang sulit sekali di Suriah, terkait para pekerja media. Bahkan sebelum terjadinya gejolak ini. Suriah memandang segala sesuatu dari segi keamanan. Tidak mungkin bagi media untuk melakukan tugasnya. Inipun terlihat ketika kami melakukan penelitian di lokasi. Rekan kami yang mengumpulkan informasi mengenai penangkapan atau proses pengadilan terhadap jurnalis dan pegiat HAM, harus melakukannya secara diam-diam."

Dalam laporan terakhir Skeyes, tercatat penangkapan blogger muda Wassim Hassan dan Khalid al-Mubarak pertengahan April lalu. Menurut televisi Al Jazeera, aktivis HAM Mahmoud Issa juga ditangkap pasukan keamanan. AlJazeera dan juga televisi Al-Arabiya mendapat peringatan dari pemerintah Suriah ketika memberitakan tentang rangkaian demonstrasi yang berlangsung. Saad Kiwan memperkirakan, sekitar 300 jurnalis, blogger dan penulis sudah ditahan.

Ancaman penangkapan juga dihadapi Mazen Darwish, yang memimpin Pusat Kebebasan Media dan Pendapat di Damaskus. Ia dilarang meninggalkan negara itu, dan kerap dipanggil oleh Badan Intelijen Suriah untuk diinterogasi. Meski terus diintimidasi, ia tetap berusaha menerbitkan sejumlah laporan. Salah satu kritiknya adalah bahwa tak ada undang-undang di Suriah yang memberikan jaminan bagi media untuk mengumpulkan dan menyebarkan informasi. Selain itu, bagai berada di lahan yang penuh ranjau, para jurnalis harus berhati-hati mengenai apa yang ditulisnya. Banyak tema yang tak disoroti.

Khalil Suwailih bertanggung jawab untuk halaman sisipan di korannya, yang berisikan tema budaya. Dalam kolomnya, ia menulis mengenai perkembangan media sosial dalam konteks perubahan di negara-negara Arab. Ia tidak membahas situasi di Suriah secara langsung, namun pendapatnya bisa dibaca di sela-sela kalimat.

Mona Naggar/Edith Koesoemawiria
Editor: Vidi Legowo