1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan Berpendapat

Kebebasan Berinternet di Hong Kong Terancam Hilang

William Yang
19 Februari 2021

Setidaknya dua situs web telah diblokir di Hong Kong, lantaran Beijing terus mengendalikan masyarakat sipil melalui UU keamanan nasional. Para ahli mengatakan langkah tersebut dapat mengikis kebebasan berinternet.

https://p.dw.com/p/3pZq8
Ilustrasi pemblokiran kebebasan berinternet
Warga Hong Kong tidak dapat lagi leluasa berinternet karena pihak berwenang melakukan kontrol yang lebih ketatFoto: picture-alliance/empics/D. Lipinski

Sejak undang-undang keamanan nasional diberlakukan di Hong Kong pada Juni lalu, berbagai aktivitas masyarakat sipil di wilayah itu dihambat, termasuk kebebasan berinternet.

Pada awal tahun ini, penyedia layanan internet Hong Kong mengonfirmasi bahwa mereka telah memblokir akses ke situs web pro-demokrasi yang mendokumentasikan insiden yang terjadi selama aksi protes panjang tahun 2019. Langkah tersebut menjadi bukti pertama kalinya penyedia internet Hong Kong memenuhi tuntutan pemerintah untuk memblokir situs web di wilayah tersebut.

Pada 13 Februari kemarin, pengguna internet di Hong Kong melaporkan bahwa situs web Komisi Keadilan Transisi Taiwan, sebuah badan pemerintah independen, juga tidak dapat diakses di Hong Kong. Media lokal mengonfirmasi bahwa situs web itu hanya dapat diakses melalui jaringan pribadi.

Para ahli mengatakan bahwa pemblokiran adalah bentuk lain dari dampak hukum yang melarang pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing, pada kebebasan internet Hong Kong.

Otoritas mengalihkan fokus ke online

Lokman Tsui, asisten profesor di School of Journalism and Communication di Chinese University of Hong Kong, mengatakan kasus tersebut menunjukkan bahwa polisi Hong Kong tidak memiliki masalah dalam menggunakan undang-undang untuk memblokir situs web.

"Karena pemerintah dan polisi menafsirkan secara luas apa yang merupakan masalah keamanan nasional, kami yakin lebih banyak situs web yang diblokir di masa mendatang," kata Tsui kepada DW.

Glacier Kwong, aktivis hak digital dari Hong Kong, mengatakan insiden terbaru membuktikan bahwa pemerintah telah mengalihkan fokus tindakan kerasnya ke internet, karena telah menjadi alat yang ampuh bagi warga untuk mengatur dan memfasilitasi protes selama beberapa tahun terakhir.

"Pelajaran yang saya dapat dari ini adalah bahwa kita tidak bisa mengambil kebebasan yang dulu kita miliki begitu saja, dan ini adalah tanda yang jelas bahwa sensor internet sedang terjadi di Hong Kong," kata Kwong kepada DW.

Menurut data polisi, setidaknya 97 orang telah ditangkap karena melanggar undang-undang keamanan.

Para kritikus melihat undang-undang tersebut sebagai upaya Beijing untuk mendapatkan kendali penuh atas Hong Kong setelah terjadi protes anti-pemerintah massal selama berbulan-bulan pada tahun 2019, yang membuat pemerintah membatalkan RUU ekstradisi dengan Cina.

Menggunakan blockchain

Terlepas dari masa depan suram yang mungkin dihadapi pengguna internet di Hong Kong, Kwong dan Tsui percaya bahwa warga bekerja secara kreatif di tengah pemberlakuan tindakan keras tersebut. Misalnya, kata Kwong, beberapa warga menggunakan teknologi blockchain untuk mendokumentasikan apa yang telah terjadi di Hong Kong selama 18 bulan terakhir.

Blockchain memungkinkan pengguna internet untuk menyimpan informasi di banyak database, sehingga membuat data lebih sulit diretas.

"Karena orang-orang khawatir bahwa pemerintah akan membuat narasi baru untuk menutupi kebenaran, mereka mencoba menggunakan teknologi blockchain untuk menyimpan catatan, yang dapat memastikan tidak akan terhapus secara online," katanya.

Namun, Tsui percaya bahwa teknologi tersebut tidak cukup untuk menyelamatkan kebebasan internet di Hong Kong. "Kami dapat melihat Cina sebagai peramal masa depan. Ini lebih kepada masalah sosial daripada masalah teknis murni. Teknologi blockchain tidak akan mengubah itu," kata Tsui kepada DW.

Karena internet adalah bagian dari struktur sosial Hong Kong, maka hanya masalah waktu sebelum pemerintah mengalihkan fokusnya ke aktivitas online, katanya.

'Orang-orang sudah melakukan sensor diri'

Selain hilangnya arus bebas informasi, serangan baru terhadap kebebasan berinternet juga memaksa pengguna internet di Hong Kong untuk berpikir dua kali sebelum memposting konten apa pun secara online, kata Tsui.

"Pemerintah Hong Kong tidak perlu berbuat banyak karena orang-orang sudah melakukan sensor sendiri," kata Tsui kepada DW.

"Orang-orang mulai melakukan penyensoran sendiri ketika mereka berbicara tentang berbagai hal, dan saya pikir inilah efek akhir yang ingin dicapai oleh pemerintah Hong Kong. Hong Kong jelas bukan lagi kota tempat saya dibesarkan," kata Kwong.

"Hong Kong adalah kota yang dibangun di atas kebebasan dan orang-orang datang ke sini untuk itu," kata Tsui. "Saya tidak tahu apa artinya ini bagi Hong Kong, tetapi sejauh ini tampaknya tidak akan baik."

Ed: ha/rap