1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kebangkitan Politis Perempuan Arab

30 Maret 2011

Di Tunisia dan Mesir, perempuan dan laki-laki bekerja sama bahu-membahu memperjuangkan demokrasi. Sekarang banyak perempuan Arab yang mempertanyakan sejauh mana mereka bisa ikut aktif dalam politik di masa depan.

https://p.dw.com/p/10k94
Foto: AP

Mereka ikut turun ke jalan, meneriakkan jargon, ikut mengorganisir demonstrasi, terkadang bentrokan dengan polisi dan aktif di situs jejaring sosial. Apakah kini perempuan Arab akan berpartisipasi dalam struktur baru pemerintahan atau tetap menjadi kelompok yang terpinggirkan secara politis?

Amal Abdelhadi, aktivis Mesir dan salah seorang pendiri New Woman Foundation, menyarankan agar perempuan Arab bersabar dulu, "Banyak yang berpikir, jika kami punya parlemen terpilih, maka kami akan langsung punya demokrasi yang sempurna, dan kemudian perempuan mendapatkan hak mereka. Tapi saya pikir, jalan panjang menuju demokrasi baru saja dimulai, lembaga politik dan partai memulai pembentukan dan program mereka sangat lambat, dan perempuan serta perempuan muda juga berpartisipasi. Tapi itu baru langkah pertama."

Masih banyak yang harus dilakukan. Hal itu juga ditunjukkan oleh Komisi Konstitusi bentukan militer Mesir. Sama sekali tidak ada perempuan yang tergabung dalam komisi itu, walau pun menurut pendapat aktivis hak perempuan Abdelhadi, banyak perempuan hakim konstitusi Mesir yang memiliki kemampuan. Oleh sebab itu perempuan di Mesir tidak ingin cepat puas dan berupaya mendapatkan hak bicara dalam tatanan baru politik. 12 organisasi perempuan memberikan pernyataan bersama mengenainya.

"Karena kami ingin debat politis yang beradab dilakukan di Mesir. Kami menuntut adanya konstitusi baru, yang utamanya mewujudkan ide warga yang bersuara dan bahwa warga tidak dibeda-bedakan berdasarkan jenis kelamin, agama atau lainnya," Abdelhadi menjelaskan.

Oleh sebab itu beberapa perempuan aktivis berusaha mendirikan partai atau ikut serta dalam pembentukan partai. Baik Amal Abdelhadi, dan juga banyak perempuan aktivis lainnya paham, bahwa diperlukan kerja intensif dalam fase pembentukan struktur baru pemerintahan. Jika warga menggunakan kesempatan satu-satunya ini, Abdelhadi yakin Mesir akan menjadi negara yang demokratis.

Harapan ini juga yang dimiliki aktivis Tunisia dan pemimpin Persatuan Perempuan Demokratis Tunisia, Sana Benachour. Seperti halnya di Mesir, perempuan di Tunisia juga berperan aktif dalam menurunkan rezim yang lama. Tapi masa depan di Tunisia juga sama tidak menentunya.

"Setelah runtuhnya rezim lama ada kelompok masyarakat yang mempropagandakan pemahaman terbelakang terhadap peran perempuan. Kelompok ini jangan diberi kesempatan berhasil, karena hanya menggambarkan pendapat minoritas," kata Benachour.

Jadi Benachour tetap optimis. Bahkan menurutnya tidak tertutup kemungkinan Tunisia suatu saat dipimpin oleh seorang perempuan.

"Mungkin saja, meski tidak dalam beberapa bulan ke depan, namun dalam beberapa tahun mendatang. Saya percaya pada masyarakat Tunisia yang moderat dan punya masa lalu yang hebat. Para perempuan akan terus memperjuangkan haknya, hingga pemikiran mengenai kesetaraan mengakar dalam masyarakat Tunisia," tegasnya.

Banyak pengamat yang mengomentari dengan hati-hati bagaimana masa depan keterlibatan perempuan dalam lembaga politik di Mesir dan Tunisia. Organisasi Human Rights Watch baru-baru ini mengritik reformasi konstitusi di Mesir. Menurut organisasi itu, konstitusi baru Mesir tidak secara eksplisit menyinggung bahwa Mesir bisa dipimpin oleh seorang perempuan.

Nader Alsarras/Luky Setyarini

Editor: Hendra Pasuhuk