1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Keamanan Nuklir Isu Jangka Panjang

13 April 2010

Pertemuan puncak di Washington disambut sebagai langkah penting untuk membahas bahaya nuklir, terutama jika jatuh ke tangan teroris. Untuk mencapai kesepakatan global tentang senjata nuklir, jalan masih panjang.

https://p.dw.com/p/MvRE
Presiden AS Barack Obama, tuan rumah KTT keamanan nuklir di WashingtonFoto: AP

Harian Inggris Times menulis:

Pertemuan puncak ini bisa menghasilkan lebih banyak daripada sekedar pernyataan umum. Ia bisa menjadi awal sebuah upaya serius untuk memerangi terorisme nuklir. Minggu lalu Amerika Serikat dan Rusia sudah memberi contoh. Penandatanganan kesepakatan pengurangan senjata nuklir di Praha adalah sinyal kuat. Sebelumnya Obama sudah menyatakan, bahwa Amerika Serikat tidak akan menggunakan senjata atom terhadap negara yang tidak memiliki senjata itu. Sekalipun kubu konseravtif menentangnya, Obama dengan cerdik menunjukkan, bahwa menyingkirkan ancaman perang nuklir seharusnya jadi prioritas politik negara-negara Barat.

Harian Italia La Repubblicca lebih skeptis dan berkomentar:

Keterbatasan pertemuan puncak ini terlihat jelas. Obama juga mengundang India dan Pakistan, dua negara yang dulu membuat senjata nuklir tanpa meminta izin dari adidaya atom yang lain. Sekarang, Iran juga menempuh cara ini. Sikap mendua politik Amerika Serikat dalam menghadapi perkembangan di daratan Asia sudah ada jauh sebelum pemerintahan Obama. Sikap ini antara lain yang menyulut eskalasi konflik antara India dan Pakistan. Dampaknya cukup dramatis.

Harian Belanda Trouw menyoroti ketidakhadiran Israel di Washington dan menulis:

Cukup mengejutkan bahwa Israel mendadak membatalkan kehadirannya. Negara ini, yang punya senjata atom tapi tidak mau mengakuinya, seharusnya hadir. Tapi Israel takut menuai kritik karena selama ini menolak inspeksi internasional. Itu menunjukkan betapa sulitnya menciptakan dunia yang bebas senjata nuklir. Untuk itu perlu napas panjang.

Tema lain yang jadi sorotan adalah situasi di Thailand, setelah aksi protes kelompok baju merah selama berminggu-minggu. Harian Jerman Berliner Zeitung menulis:

Perdana Menteri Thailand masih menolak, tapi tidak lama lagi, ia mungkin harus melakukan apa yang hampir selalu dilakukan seorang pemimpin jika bentrokan kekerasan pecah di bawah pemerintahannya: mengundurkan diri. Kelompok baju merah terus menggelar aksi protes, sekalipun ada pemberlakuan situasi darurat yang melarang orang berkumpul. Pemerintah sudah kehilangan otoritasnya. Beberapa nama sudah disebut-sebut sebagai pengganti Abhisit. Yang belum jelas hanyalah, kapan akan dilakukan pemilihan.

Harian Norwegia Aftenposten berkomentar:

Setelah bentrokan keras pada akhir minggu di jalan-jalan kota Bangkok, adu kuat politik di Thailand memasuki fase baru. Sampai saat itu, pihak-pihak yang bertikai masih berusaha menghindari terjadinya kekerasan. Dalam jangka pendek, kubu oposisi baju merah Sekarang kedua kubu makin sulit berdamai. Sementara adu kekuatan itu terus berlangsung, bahaya terjadinya kudeta militer makin besar. Selama 80 tahun terakhir, pihak militer sudah hampir 20 kali melakukan pengambil alihan kekuasaan. Kali ini, mereka juga bisa melakukannya lagi.

HP/ZR/dpa/afp