1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

120911 Schreiben Arabischer Frühling

23 September 2011

„Menulis, mengatakan dan membongkar”. Menurut Tahar Ben Jelloun, itu adalah peran penulis. Mungkin itu sebabnya, ia tidak mau menyebut pergolakan politi musim semi Arab sebagai revolusi.

https://p.dw.com/p/12ex7
Foto: dpa

Revolusi tidak selalu berarti langkah maju. Seringkali revolusi dipicu ideologi yang kemudian merepresi orang-orang yang berpendapat beda. Begitu papar Tahar Ben Jelloun. Bagi lelaki Marokko-Perancis ini, yang terjadi di dunia Arab adalah pemberontakan spontan orang-orang yang marah.

Islamisme Tidak Memainkan Peran Menentukan

"Amarah bukan ideologi, melainkan reaksi fisik. Sebuah ekspresi dari hal yang sudah tak tertahan lagi. Dibalik jutaan demonstran di dunia Arab, tidak ada satupun partai politik, pemimpin  maupun program yang konkret“. Bagi penulis berusia 66 tahun ini, gerakan protes tersebut bagaikan puisi, yang lahir dari perut penulisnya, didikte oleh kehidupan yang menuntut masa depan yang lebih baik. 

Tahar Ben Jelloun Schriftsteller
Tahar Ben JellounFoto: AP

Begitu gambaran yang disampaikan Tahar Ben Jelloun dalam bukunya “L'étincelle (2011)” yang baru-baru ini diluncurkan di Jerman dengan judul “Arabische Frühling” atau musim semi Arab. 

 Kenyataan bahwa dalam rangkaian aksi protes itu, warga di Tunisia dan di Mesir tidak mengusung ideologi tertentu, bagi Tahar Ben Jelloun merupakan isyarat penampikan Islamisme yang jelas. Dijelaskannya, "Orang bisa melihat Islamisme sebagai penghambat berkembangnya daya pikir dan kreatifitas.  Untungnya, pemberontakan di dunia Arab tidak digerakkan oleh kaum Islamis. Mereka tidak memainkan peran menentukan dalam gerakan itu”

Harkat Sebagai Individu


Menurut Jelloun, yang betul-betul berperan dalam aksi protes itu adalah generasi urban muda, yang memperjuangkan harkatnya sebagai individu.  Dalam salah satu bab bukunya, Tahar Ben Jelloun menggambarkan pedagang buah dan sayuran,  Mohamed Bouazizi, sebagai pahlawan, sebagai wakil generasi muda yang aksi bakar dirinya mencetuskan revolusi di Tunisia.

Mohammed Bouazizi Tunesien Unruhen
Poster Mohamed BouaziziFoto: Creative Commons/Wikipedia

Tahar Ben Jelloun memaparkan, bahwa ia ingin mengerti apa yang telah mendorong tindakan itu. Terutama karena bunuh diri bukan bagian dari tradisi Arab, maupun Islam. Hasil eksplorasinya menjelma sebagai novel yang menggugah, tentang seorang akademisi tunakarya, yang setiap hari menghadapi tekanan dan penghinaan. Kebimbangannya membebani hubungan dengan istri yang ia cintai, mendorongnya memilih kematian.

Sebagai penulis dan psikolog,  Tahar Ben Jelloun juga memasuki alam pikiran kaum tiran. Dalam bukunya, kedua diktator Ben Ali dan Hosni Mubarak tampil merefleksikan sikap tidak berterima kasih yang ditunjukkan rakyat masing-masing negara.

Pendukung Raja Muhamad VI?

Pada tahun 60-an, Tahar Ben Jelloun termasuk kaum muda yang lantang. Keterlibatannya dalam aksi-aksi protes menentang kekerasan polisi Marokko, menyebabkan ia, seputar 1966 dijebloskan ke penjara militer selama dua tahun.  Kini banyak yang mengecamnya sebagai pendukung Raja Marokko,  Muhamad VI.

NO FLASH Ägypten Kairo Demonstration
Ribuan orang berunjukrasa di Lapangan Tahrir, Kairo, Mei 2011Foto: picture-alliance/dpa

Dalam bukunya, Jelloun memang memuji keputusan raja untuk memperkuat hak-hak perempuan dan menginvestigasi pelanggaran hukum yang dilakukan ayah raja.  Namun itu tak berarti Jelloun tidak kritis dalam penilaiannya. Ungkapnya, "Orang yang tidak meragukan, justru membahayakan kesejahteraan Masyarakat dan juga sastra. Karena menulis juga berarti  bergulat dengan kebimbangan. Dan keraguan ini lahir dari kesadaran bahwa kadang, kebenaran sengaja dikaburkan dan  kita berhadapan dengan ilusi.“

Meski menyambut proses reformasi di Marokko,  Jelloun berpegang teguh pada prinsip merefleksi, menyangsikan dan mempertanyakan.

Alexandra Scherle /Edith Koesoemawiria

Editor: Marjory Linardy