1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kamp Pengungsi Terbesar di Dunia

7 Agustus 2011

Lambat laut jangkauan bencana akibat kekeringan di daerah Tanduk Afrika semakin jelas. Kamp pengungsi Dadaab di Kenya sekarang menjadi kamp pengungsi terbesar di dunia.

https://p.dw.com/p/12Ce5
People queue outside a food distribution center as they wait to be registered as refugees in Dadaab, Kenya, Monday, Aug 1, 2011. Dadaab, a camp designed for 90,000 people now houses around 440,000 refugees. Almost all are from war-ravaged Somalia, with some having been here for more than 20 years, when the country first collapsed into anarchy. (Foto:Schalk van Zuydam/AP/dapd)
Pengungsi mengantri makananFoto: dapd


Mereka yang berhasil sampai ke sini untuk sementara selamat. Hampir setiap harinya, dari Somalia sekitar 2.000 pengungsi berdatangan ke kantor pendaftaran di tempat penampungan Dadaab. Banyak dari mereka berhasil tiba dengan kekuatan terakhir, setelah berjalan kaki berminggu-minggu melalui perbatasan menuju Kenya.

"Di kampung halaman, kami punya ternak dan menanami sebidang tanah. Semua onta, sapi dan kambing kami mati, dan tanah terpecah-pecah karena kekeringan. Kami tidak bisa membeli makanan di pasar, bahan pangan jadi tidak terbayar.“ Demikian dikatakan Fatuma. Tiga anaknya memeluk tubuhnya erat-erat. Di Dadaab, ia mendapat kartu untuk mengambil makanan. Itu adalah makanan pertama yang mereka peroleh sejak lama. Akhirnya ia juga dapat memberikan makanan kepada anak-anaknya.

Kekeringan Terburuk

Somalis fleeing hunger in their drought-stricken nation walk along the main road leading from the Somalian border to the refugee camps around Dadaab, Kenya, Wednesday, July 13, 2011. More than 11 million people in the Horn of Africa are confronting the worst drought in decades and need urgent assistance to stay alive, U.N. Secretary-General Ban Ki-moon said Tuesday. Ban called an emergency meeting Tuesday morning with the heads of U.N. agencies to discuss the worsening drought in East Africa, which along with fighting in Somalia has created a humanitarian crisis.(AP Photo/Rebecca Blackwell)
Warga Somalia yang berjalan menuju DadaabFoto: AP

Kekeringan kali ini adalah yang paling buruk sejak lama di daerah Tanduk Afrika. Beberapa musim hujan lewat tanpa turunnya hujan yang cukup. Ternak sudah lama mati, dan di ladang tidak ada lagi yang tumbuh. Yang paling terpuruk adalah Somalia selatan, daerah yang tanpa bencana saja sudah sengsara. Sejak puluhan tahun lalu, warga sudah menderita akibat perang dan bentrokan. Milisi radikal Islam, Al Shabaab menguasai wilayah itu dan menteror rakyat. Sampai beberapa hari lalu, mereka melarang masuknya bantuan. Fatuma Khalil yang baru tiba di Dadaab bercerita, "Al Shabaab dan kekeringan sama buruknya. Pertama-tama, Al Shabaab membunuh orang-orang tidak bersalah, sekarang kekeringan yang merenggut nyawa. Oleh sebab itu kami lari ke Kenya.“

Sekarang, milisi Al Shabaab juga meminta pertolongan, dan bahkan menawarkan dukungan logistik. Tetapi organisasi pertolongan tidak percaya dengan penawaran mereka. Untuk sementara, warga Somalia selatan terpaksa harus mengusahakan sendiri pertolongan. Bagi Jens Oppermann dari organisasi bantuan Jerman "Aktion gegen den Hunger“ ini situasi yang mengenaskan "Ini semua, bencana kekeringan yang kita lihat sekarang, bisa mencapai cakupan yang dapat dibandingakan dengan bencana di Ethiopia dulu, di tahun 1980-an. Ini situasi yang bagi penduduk, juga bagi kami dari organisasi kemanusiaan serta pekerja-pekerja kami, sering sangat sulit untuk dicerna. Itu saya katakan dengan jujur. Penderitaan warga sudah mencapai taraf yang sering tidak bisa dibayangkan lagi," demikian Oppermann

Two-year-old, Aden Salaad, looks up toward his mother, unseen, as she bathes him in a tub at a Doctors Without Borders hospital, where Aden is receiving treatment for malnutrition, in Dagahaley Camp, outside Dadaab, Kenya, Monday, July 11, 2011. U.N. refugee chief Antonio Guterres said Sunday that drought-ridden Somalia is the "worst humanitarian disaster" in the world, after meeting with refugees who endured unspeakable hardship to reach the world's largest refugee camp in Dadaab, Kenya. (AP Photo/Rebecca Blackwell)
Seorang anak di kamp pengungsi DadaabFoto: AP



Banyak dari pengungsi yang tiba di Dadaab memaparkan kisah mengerikan. Beberapa dari mereka harus meninggalkan anggota keluarganya untuk dapat menyelamatkan diri. Banyak ibu menceritakan bahwa anak-anak mereka meninggal di jalan karena keletihan.


Tidak Mampu Menolong Pengungsi


Allison Oman adalah penasehat bidang pangan dalam badan PBB yang mengurus pengungsi, UNHCR. Ia bekerja di klinik di Dadaab selama hampir 24 jam sehari. Meskipun demikian, Allison Oman, para pekerja lainnya dan para dokter tidak berhasil memberikan bantuan memadai kepada pengungsi. "Sekarang terutama berdatangan perempuan dan anak-anak. Anak-anak berada dalam keadaan yang sangat, sangat buruk. Kami berusaha untuk segera memeriksa mereka, agar mereka segera mendapatkan makanan yang dibutuhkan,“ demikian Allison Oman.

Tetapi para pekerja kemanusiaan tidak dapat menolong semua orang. Banyak dari mereka sudah terlalu lama menderita kelaparan, sebelum mereka pergi ke Dadaab. "Sayangnya banyak anak yang meninggal. Kebanyakan dari mereka dalam 24 jam pertama. Banyak orang ragu, sampai tidak ada jalan keluar lain, sebelum mereka meninggalkan Somalia. Kemudian mereka berjalan kaki dua sampai tiga pekan, sementara anak-anak kian melemah. Belakangan ini, jumlah kematian di kamp pengungsi meningkat enam kali lipat,“ demikian dijelaskan Oman.

Berapa jumlah orang yang menderita kelaparan di Somalia selatan, tidak dapat diperkirakan. Jika hanya berdasarkan penuturan para pengungsi, situasinya sangat buruk, tetapi kepastian hanya bisa diperoleh, jika organisasi-organisasi bantuan berani memasuki daerah yang sampai sekarang tertutup.


Situasi di Dadaab Semakin Sulit

Used food tins are stacked at a field hospital of the International Rescue Committee, IRC, in the town of Dadaab, Kenya, Tuesday, July 26, 2011. The U.N. will airlift emergency rations this week to parts of drought-ravaged Somalia that militants banned it from more than two years ago, in a crisis intervention to keep hungry refugees from dying along what an official calls the "roads of death." Tens of thousands already have trekked to neighboring Kenya and Ethiopia, hoping to get aid in refugee camps.(Foto:Schalk van Zuydam/AP/dapd)
Kaleng-kaleng kosong bantuan makanan bagi pengungsi di DadaabFoto: dapd


Di Dadaab situasi semakin meruncing, karena pengungsi sudah melebihi jumlah yang dapat ditampung. Saat ini memang semua orang dapat memperoleh bahan pangan. Tetapi organisasi bantuan khawatir, dalam beberapa pekan mendatang bantuan akan kurang. Demikian dikatakan Fafa Attidzah dari UNHCR. Ia menambahkan, "Jika situasi buruk ini masih berlangsung tiga sampai empat bulan, kita juga akan menghadapi krisis di sini. Yang kita bicarakan adalah 35.000 orang sebulan. Dalam empat bulan jumlahnya menjadi 140.000. Kita tidak mungkin memberi makan sebegitu banyak orang, juga memberikan obat-obatan, air dan tempat bernaung.“

Awalnya Dadaab dipersiapkan untuk 90.000 orang. Sekarang yang hidup di tempat penampungan itu sudah hampir 400.000 orang. Mereka yang baru tiba sering harus mencari tempat di luar kamp pengungsi. Mereka tinggal di tenda-tenda di daerah yang gersang, di mana hanya tumbuh sedikit semak


"Saya lari dari kelaparan di negara saya. Saya mencari bantuan di sini, tetapi tidak ada yang memberikan saya tempat untuk tidur. Sekarang saya tidur di langit terbuka.“ Demikian dikatakan Abdul Mohammed, seorang pria tua yang tampak lemah. Pengungsi berusaha membuat atap dari kantong plastik dan kain terpal. Tetapi situasi buruk membuat mereka tambah lemah. Saouda Mohamed, seorang pengungsi lain bercerita, mereka hanya punya pakaian yang ada di badan. Mereka perlu tenda, karena di malam hari suhu sangat dingin. Sembilan ribu tenda tambahan bagi para pengungsi sekarang sudah dikumpulkan. Tetapi karena yang datang puluhan ribu setiap pekannya, itu pasti tidak akan cukup.

Antje Diekhans / Marjory Linardy

Editor: Vidi Legowo