1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersIndonesia

Jurnalis Semakin Rentan Diserang di Ranah Digital

Betty Herlina
3 Mei 2022

Sasmito Madrim dari AJI yang sempat diserang di ranah digital tegaskan pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi guna menjamin data pribadi warga negara, termasuk jurnalis.

https://p.dw.com/p/4AiLq
Ilustrasi peretas
Ilustrasi peretasFoto: Robin Utrecht/picture alliance

Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim, tiba-tiba menerima notifikasi WhatsApp bahwa nomornya telah didaftarkan pada perangkat lain. Seketika nomor tersebut tidak bisa menerima panggilan telepon dan menerima SMS. Ini terjadi Rabu, 23 Februari 2022, sekitar pukul 18.15 WIB.

Tak hanya itu, upaya pembobolan juga menyasar ke akun Instagram, Facebook, dan Twitter milik Sasmito. Seluruh postingan Instagram dihapus, nomor pribadi disebarluaskan, hingga foto profil facebook diganti gambar porno.

Peretasan berlanjut pada 24 Februari 2022. Beragam informasi hoaks yang mencantumkan nama dan foto Sasmito terbit di media sosial dengan berbagai narasi. Mulai dari mendukung pemerintah membubarkan FPI, hingga mendukung pemerintah membangun Bendungan Bener di Purworejo.

"Semua pernyataan tersebut adalah palsu atau tidak pernah diucapkan. Hoaks. Ini dinilai ingin membenturkan AJI Indonesia dengan organisasi masyarakat sipil lainnya," kata Sasmito pada DW Indonesia.

Kejadian serupa tidak hanya menimpa Sasmito. Data Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, menunjukan tren kasus kekerasan berbasis digital cenderung meningkat. Sepanjang tahun 2020 tercatat 5 kasus. Tahun 2021 juga terjadi 5 kasus kekerasan berbasis digital. Sedangkan tahun 2022, hingga April sudah terjadi 3 kasus penyerangan digital terhadap jurnalis.

"Ini sangat mengancam kebebasan pers dan trennya meningkat," tutur Sasmito.

Tidak jauh disampaikan dosen Komunikasi Universitas Bengkulu, Verani Indiarma. Menurutnya, segala bentuk kekerasan digital yang dialami jurnalis ketika menjalankan tugas melayani kepentingan publik dapat mengancam kebebasan pers di Indonesia. Verani mengatakan pemerintah harus bersikap serius menghadapi ancaman ini.

"Jika jurnalis terancam maka independensinya menjadi terganggu, jurnalis takut untuk melakukan peliputan dan berita-berita yang sifatnya menyangkut kepentingan publik bisa-bisa tidak diliput lagi, karena jurnalisnya takut," ujar Verani Indiarma.

"UU No 40 (Tahun 1999) kita tahu belum mengatur secara detail tentang kekerasan berbasis digital, jadi sudah saatnya pemerintah, Dewan Pers, bersama pihak terkait untuk duduk bersama memikirkan regulasi seperti apa yang tepat sehingga ke depan tidak ada lagi kekerasan digital yang mengancam kerja jurnalis di Indonesia," ujarnya.

Pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi

Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet), Damar Juniarto, mengatakan saat ini satu-satunya acuan hukum dari kekerasan digital adalah UU ITE. Namun dalam pelaksananannya masih belum banyak membantu penyelesaian kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis di ranah digital.

"Semisal untuk doxing yang menempati problem serangan, sampai sekarang aduan jurnalis ke pihak penegak hukum belum ada kemajuan," katanya.

Sasmito dari AJI juga menyayangkan hal ini. Akibatnya, proses pengusutan ketika seorang jurnalis menjadi korban akan lamban dan sulit. Seperti halnya kasus peretasan yang pernah dialaminya. 

"Sepanjang tidak ada ancaman pembunuhan, atau sifatnya mengancam, maka prosesnya tidak akan berlanjut. Ini sebagai akibat dari segi regulasi masih sangat terbatas," ujar Sasmito. 

Ia mengatakan negara harus hadir untuk membuktikan dan mengungkap kasus kekerasan berbasis digital dengan cepat. "Lagi-lagi pentingnya UU Perlindungan Data Pribadi, untuk memberikan jaminan data pribadi setiap warga negara termasuk jurnalis."

Tantangan dalam ekosistem digital

Damar juga mengatakan ekosistem digital memberikan banyak tantangan bagi kerja jurnalisme. Mulai dari sisi teknis yakni dengan begitu mudahnya membuat media. Seperti bisa membuat situs web sendiri atau memanfaatkan platform teknologi yang tersedia wordpress, medium, youtube, dan lainnya.

"Ini membuat media daring tumbuh subur dan dalam konteks lanskap media di Indonesia, lebih dari 92% media di Indonesia adalah media daring atau menurut angka Dewan Pers ada sekitar 43.300," kata Damar.

Dari sisi hukum, instrumen perlindungan pers masih berbasis pada Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999, sehingga belum menjangkau pers dalam ruang digital. Akibatnya, batasan perusahaan pers seperti yang disyaratkan dalam Undang-undang Pers menemui tantangan dengan adanya media daring rintisan, komunitas, dan citizen journalism yang memanfaatkan kemudahan teknologi digital.

"Sehingga sisi hukum ini perlu lekas memayungi segala bentuk media digital ke depan. Selama ukurannya masih sama seperti yang lalu, ada ancaman hukum memakai UU ITE meskipun bentuk karyanya sesuai etika jurnalisme," kata Damar.

Model bisnis dan kompetisi dengan platform teknologi juga ikut memengaruhi popularitas media di ekosistem digital, kata Damar. Algoritma rujukan dan kompetisi yang tidak berpihak pada media kecil membuat praktik click bait dan sensasional menjadi semacam kiat sukses di ekosistem digital dan ini mengorbankan aspek etik jurnalisme, ujarnya.

Praktik kebersihan digital

Sasmito mengatakan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia terus melakukan peningkatan kapasitas bagi anggota, agar tidak menjadi korban kekerasan berbasis digital. Selain itu AJI juga menerbitkan buku Panduan Keamanan Digital untuk Jurnalis yang ditujukan untuk mitigasi menghadapi kemungkinan serangan digital atau doxing.

"Untuk pelatihan AJI sering melakukan ini. Namun ketika teman-teman jurnalis diserang dengan teknologi yang cukup tinggi ini akan sulit. Selain itu persoalannya tidak hanya pada jurnalis, masih ada potensi regulasi yang buram," paparnya.

Damar Juniarto dari Safenet mengatakan jurnalis harus bisa membekali diri dengan keamanan digital. Di platform digital bentuk ancaman akan berbeda dengan ancaman fisik dan psikis, sehingga jurnalis harus mengubah perilaku dasar untuk membiasakan diri bekerja dengan aman dengan mempraktikan kebersihan digital.

"Harus rutin ganti password, perkuat password dan kelola dengan baik, mengaktifkan two-factor authentification untuk semua akun email, instant messaging, dan media sosial, mengurangi jejak digital, mengontrol privasi, mencari alternatif teknologi yang lebih aman dari aplikasi populer yang sering dipakai," katanya. Organisasi kerja jurnalis juga perlu mempraktikan hal yang sama. "Salah satunya rutin melakukan audit keamanan platform," terangnya. (ae)