1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jilbab Warna-warni

Nong Darol Mahmada19 Juli 2016

Bila benar jilbab berhubungan dengan keyakinan & kesadaran, ia tak perlu peraturan. Sehingga jilbab bisa dipakai dan dipahami secara sehat sebagai ekspresi keyakinan dan kebebasan. Opini Nong Darol Mahmada.

https://p.dw.com/p/1JPSZ
Foto: Getty Images/AFP/C. Mahyuddin

Masih ingat ucapan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau akrab disapa Ahok, di depan ribuan kepala sekolah TK, SD, SMP, SMA, SMK, dan pejabat struktural eselon III serta IV di lingkungan Dinas Pendidikan DKI Jakarta soal aturan larangan pemakaian jilbab di sekolah?

Menurut Ahok, soal penggunaan jilbab merupakan hak pribadi seseorang. Sekolah tidak boleh mewajibkan siswinya untuk menggunakan jilbab. Dengan tegas Ahok mengatakan, "Anda mengimani kalau kerudung itu sebagai sesuatu yang bisa menyelamatkan Anda, ya silakan, tetapi Anda tidak bisa memaksa semua anak pakai kerudung." Saya sepenuhnya setuju dengan pendapat Ahok!

Penulis: Nong Mahmada
Penulis: Nong MahmadaFoto: Privat

Dari dulu pemahaman saya terhadap jilbab ya seperti itu: penggunaan jilbab bukanlah dengan pemaksaan misalnya lewat aturan, tapi atas keinginan diri sendiri, baik alasannya karena soal teologi atau hanya sekedar kenyamanan berpakaian saja.

Soal pemahaman cerdas dan bijak

Di tengah kecenderungan semua pihak dalam hal ini pemimpin daerah yang berlomba-lomba membuat aturan pemakaian busana Muslimah dengan alasan untuk melindungi perempuan, Ahok malah bersikap sebaliknya.

Ahok memang bukan tokoh Islam dan mungkin sebagian orang beranggapan atau bahkan geram karena dianggap tak layak dijadikan rujukan untuk mendasarkan pemahaman kita tentang jilbab. Namun pemikiran Ahok tentang jilbab ini mengingatkan saya pada pembaharu Islam seperti Muhamad Abduh , Gus Dur, Nurcholish Madjid, Quraish Shihab, Harun Nasution, dan pemikir Islam lainnya dalam melihat jilbab yang memang secara doktrin multitafsir. Untuk sejarah dan tafsir atas jilbab, saya sudah pernah menulisnya di sini: Jilbab, Kewajiban atau Bukan?

Jilbab, secarik kain untuk menutupi kepala dan rambut perempuan, tak bisa kita melihatnya secara hitam putih. Di Indonesia pun jilbab mengalami evolusi dalam pemakaiannya. Dulu hanya sehelai kain yang menutup kepala atau dikenal sebagai kerudung, karena itu untuk solat perempuan di Indonesia memakai mukena.

Tren Komunitas hijabers

Namun terjadinya Revolusi Iran di akhir 1970-an berpengaruh dalam mengubah model pemakaian jilbab menjadi lebih tertutup. Sekarang bahkan dengan aneka warna dan gaya yang dipopulerkan oleh komunitas hijabers yang membuat berjilbab sangat modis dan fashionable.

Dalam konteks itu, saya teringat dengan tulisan Mohamad Guntur Romli tentang Pelangi Tipologi Jilbab (2007) yang menjelaskan secara keseluruhan tren jilbab di masyarakat kita. Menurutnya, ada empat tipologi yang bisa dipakai saat melihat fenomena jilbab ini. Tipologi ini berhubungan dengan motif, bentuk jilbab, dan gaya hidup yang mengenakannya.

Pertama, jilbab atas alasan teologis, yaitu kewajiban agama. Mereka yang mengenakan jilbab ini akan memahaminya sebagai kewajiban yang tidak bisa ditinggalkan. Bentuk jilbab pun sesuai dengan standar-standar syariat, tak hanya menutup rambut dan kepala, tapi juga--menurut sebagian dari mereka--hingga sampai ke dada. Ini yang sekarang dikenal sebagai jilbab syar'i, jilbab yang lebar, yang menutupi seluruh tubuh. Perempuan yang mengenakan jilbab seperti ini juga akan berhati-hati bergaul di ruang publik.

Kedua, alasan psikologis. Perempuan yang berjilbab atas motif ini sudah tidak memandang lagi jilbab sebagai kewajiban agama, tapi sebagai budaya dan kebiasaan yang bila ditinggalkan akan membuat suasana hati tidak tenang. Kita bisa menemukan muslimah yang progresif dan liberal masih mengenakan jilbab karena motif kenyamanan psikologis tersebut. Bentuk jilbab yang dikenakan pun berbeda dengan model pertama, dan disesuaikan dengan konteks dan fungsinya. Demikian juga dengan gaya hidup yang memakainya, jauh lebih terbuka, dan pergaulan mereka sangat luas.

Ketiga, jilbab modis. Jilbab sebagai produk fashion. Saya memandang jilbab model ini sebagai jawaban terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan. Namun, di sisi lain, ada nilai-nilai agama yang berusaha dipertahankan dan sebagai merek dagang. Munculnya outlet-outlet dan acara-acara peragaan busana muslimah mampu menghadirkan model jilbab dan busana muslimah yang telah melampaui persoalan agama. Jilbab warna warni dan sangat menarik bisa bersanding bahkan bersaing dengan jenis busana lainnya.

Jilbab model ketiga ini sangat menarik saat ini untuk dikaji lebih lanjut. Arus modernisasi dan fashion tak bisa dibendung oleh apa pun. Ia bisa menciptakan fenomena baru. Dan asumsi-asumsi yang dipakai untuk memandangnya pun tak bisa seperti yang ditunjukkan oleh para ulama itu. Jenis jilbab inilah yang fenomenal, digandrungi kawula muda dan kalangan kelas menengah. Apalagi dengan banyaknya selebritas yang memakai jilbab dan tampil di media massa khususnya televisi. Dan bulan Ramadan merupakan moment yang sangat sempurna untuk menampilkan jilbab modis ini dengan pelbagai model & gaya disertai panduan cara memakainya. Jilbab dan busana model ketiga ini tak bisa lagi dilihat dengan perspektif teologis, karena dalam aturan syariat yang jumud, pakaian perempuan tidak boleh yang memancing perhatian publik.

Keempat, jilbab politis. Fenomena ini muncul dari berbagai kelompok Islam yang menggunakan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik. Contoh di Indonesia, bila ada itikad menerbitkan peraturan tentang moral ataupun syariah, mewajibkan perempuan berjilbab selalu menjadi agenda utama. Dalam konteks ini, jilbab tidak lagi menjadi persoalan keimanan, kesalehan, dan kesadaran pribadi, namun dipaksakan pemakaiannya ketika perempuan berada di ruang publik. Inilah yang terjadi di Aceh, Padang, dan beberapa daerah di Indonesia yang ingin menerapkan syariat Islam. Bahkan di sekolah-sekolah negeri di Jakarta pun, ada hari tertentu yang mewajibkan siswi memakai jilbab. Inilah yang dikritik Ahok.

Keyakinan tak perlu aturan

Ada juga jilbab yang dipakai sebagai bentuk perlawanan. Misalnya yang terjadi pada Revolusi Iran dimana perempuan memakai jilbab sebagai bentuk perlawanan terhadap penguasa diktatur saat itu. Juga terjadi di era Orde Baru terjadi perlawanan dalam rangka melawan pelarangan pemakaian jilbab di sekolah negeri.

Saya tidak setuju dengan dua cara ekstrim ini: mewajibkan atau melarang pemakaian jilbab. Bila benar jilbab berhubungan dengan masalah keyakinan dan kesadaran, ia tak perlu peraturan, baik yang mewajibkan maupun yang melarang. Dengan pemahaman seperti ini, jilbab akan dipakai dan dipahami secara sehat karena merupakan bentuk ekspresi keyakinan dan kebebasan. Jilbab dipakai sebagai model yang bisa memperkaya khazanah busana, apakah ia dipandang sebagai pakaian agama atau sekedar budaya belaka.

Saya pribadi sangat menghargai dan menghormati apabila ada perempuan Islam yang ingin mengenakan jilbab sebagai bentuk keyakinan pribadi, tanpa harus memakaikan atau memaksakan standar pribadi tersebut terhadap orang lain. Misalnya dengan pandangan sepihak, bahwa yang memakai jilbab lebih soleh dan terhormat dari yang tidak memakai. Jilbab sebagai keyakinan pribadi tak perlu dimusuhi. Bila hal ini terjadi, akan menjadi senjata bagi varian keempat untuk mempolitisasi peristiwa tersebut.

Namun, buat saya, jilbab tetaplah merupakan pakaian individu, yang tidak bisa dijadikan sebagai pakaian publik dan ukuran kesolehan seseorang. Saya sendiri biasa memakainya dalam situasi dan kondisi tertentu. Jilbab sebagai produk budaya seperti halnya pakaian lainnya akan senantiasa berubah mengikuti perkembangan zaman.

Catatan: Sejarah jilbab (tulisan terdahulu tentang jilbab) dapat Anda simak di sini: Jilbab, Kewajiban atau Bukan.

Penulis:

Nong Darol Mahmada adalah aktivis perempuan yang tulisan-tulisannya sering dimuat di media nasional, editor beberapa buku dan pembicara di berbagai konferensi internasional.

@nongandah

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.