1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Jepang Pangkas Dana Sekolah Pro-Pyongyang

Julian Ryall27 Februari 2013

Pemerintahan baru Jepang berencana merevisi undang-undang yang mengatur subsidi bagi sekolah-sekolah di Jepang yang mengajarkan sudut pandang Korea Utara terhadap sejarah dunia, ekonomi dan politik.

https://p.dw.com/p/17mR8
Foto: Eric Fish

Tampaknya pemerintah dan pembayar pajak Jepang tidak mau lagi mendanai sistem pendidikan paralel yang mengajarkan siswa-siswa Korea Utara mengenai 'kejahatan' Jepang dan warganya.

Rencana pemerintah pusat dan lokal Jepang untuk menarik dana bagi sekolah-sekolah yang dikelola Chosen Soren - asosiasi warga Korea Utara di Jepang - telah dikumandangkan bertahun-tahun. Namun setelah kembali terpilih Desember lalu, Partai Demokratik Liberal memutuskan untuk mengambil tindakan atas sekolah-sekolah pro-Pyongyang.

Menteri Pendidikan Hakubun Shimomura mengumumkan bahwa pemerintah tengah mengamandemen undang-undang yang mengatur subsidi sebesar 15.000 Yen bagi setiap siswa per bulan di 39 sekolah tinggi untuk siswa asing di berbagai penjuru Jepang. Sebagai tambahan, sejumlah pemerintahan prefektur mengatakan tidak akan lagi menyediakan dana bagi sekolah-sekolah yang mempromosikan sudut pandang Korea Utara terhadap dunia.

Komitmen terhadap Korea Utara

Kaum nasionalis menilai sekolah-sekolah Chosen Soren menyebarkan propaganda anti-Jepang
Kaum nasionalis menilai sekolah-sekolah Chosen Soren menyebarkan propaganda anti-JepangFoto: Getty Images

Di seluruh Jepang, ada sekitar 60 sekolah - mulai dari taman kanak-kanak hingga universitas - yang terafiliasi dengan Chosen Soren, dan benar-benar loyal terhadap rezim komunis di Pyongyang.

Komitmen terhadap Korea Utara tercermin pada mata pelajaran yang diajarkan dan juga di ruangan kelas selalu ada foto Kim Il-sung dan Kim Jong-il di atas papan tulis, persis seperti sekolah-sekolah di Korea Utara.

Para siswa diajarkan ekonomi, politik, ilmu sosial dan sejarah dari perspektif Korea Utara.

Contohnya, para siswa dalam mata pelajaran sejarah diajarkan bahwa Korea Selatan dan Amerika Serikat memicu Perang Korea tahun 1950 dengan menyerang Korea Utara.

'Diskriminatif'

Sekitar 10.000 siswa etnis Korea berguru di sekolah-sekolah ini, yang didirikan setelah Perang Dunia II untuk mengajarkan generasi penerus Korea yang dibawa ke Jepang sebagai pekerja paksa pada awal-awal dekade abad lalu. Pasca perang, sekitar 1 juta warga Korea memilih untuk menetap di Jepang.

Komunitas internasional mengecam uji coba nuklir Pyongyang baru-baru ini
Komunitas internasional mengecam uji coba nuklir Pyongyang baru-baru iniFoto: Reuters

Shin Gil-ung, kepala sekolah tinggi Korea di Tokyo, geram terhadap keputusan yang ia anggap terang-terangan sebagai diskriminasi terhadap para siswanya. Menurut Shin, konflik geo-politik dan perbedaan tidak boleh ikut campur dalam urusan pendidikan. Ia menyebut keputusan pemerintah sebagai "sangat kejam dan diskriminatif."

"Sekolah-sekolah Korea tidak berbuat ilegal," ujar Hiroshi Tanaka, seorang pensiunan profesor Universitas Hitotsubashi University, kepada DW. "Pendidikan seorang anak tidak boleh dicampuradukkan dengan urusan internasional."

Hiroshi menambahkan bahwa beberapa tahun lalu anak-anak perempuan Korea berhenti memakai pakaian tradisional "chima jeogori" ke sekolah karena membedakan mereka dari siswa-siswa lain dan menjadikan mereka target 'serangan' kaum nasionalis Jepang.