1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seni Panahan Kuno Jemparingan Hidup Lagi di Yogyakarta

16 Agustus 2016

Jemparingan adalah seni memanah gaya Mataram yang dulu sering digelar di seluruh wilayah kerayaan kuno Yogyakarta. Sekarang makin banyak anak muda yang tertarik dan ingin belajar.

https://p.dw.com/p/1Jj6f
Indonesien Jemparingan Traditioneller Bogenschießen Wettbewerb
Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Supadmi, 68 tahun, duduk bersila di bawah terik matari. Perempuan berusia lanjut itu berada di barisan sejumlah pemanah tradisional yang ikut turnamen Jemparingan di Yogyakarta. Pada akhir acara, ratusan anak panah beterbangan menuju langit diiringi gelegar terompet dan gemerincing alat-alat musik. Suasana terlihat meriah.

Peserta biasanya duduk bersila membentuk dua barisan, menghadap ke Barat. Posisi duduk dengan gaya mataraman. Jarak bandulan panjang yang jadi sasaran tembak sekitar 30 meter. Biasanya ada 20 putaran dan setiap peserta dapat meluncurkan lima anak panah pada setiap putaran.

Bandulan atau sasaran tembaknya adalah irisan serabut bambu yang diikat jadi satu. Ada tiga bandulan dengan panjang sekitar 40 cm. Di belakang bandulan, dipasang karpet karet tebal untuk menahan anak panah yang meleset.

Jemparingan awalnya hanya dimainkan oleh anggota keluarga kerajaan dan orang-orang lain yang dinaggap punya posisi sosial tinggi. Dalam perkembangannya, seni memanah ini menjadi olharaga bagi semua orang.

Indonesien Jemparingan Traditioneller Bogenschießen Wettbewerb
Turnamen Jemparingan di Yogyakarta, Mei 2016Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Tradisi panahan ini dulu selalu dilombakan di wilayah Kesultanan Yogyakarta. Namun kemudian peminatnya makin sedikit, dan tradisi seni memanah itu terancam hilang, terutama setelah meninggalnya Paku Alam VIII, salah satu pendukung seni memanah tradisional ini.

Padahal, panahan punya peran penting dalam prestasi internasional Indonesia. Sumbangan medali pertama di pesta olahraga olimpiade untuk Indonesia datang dari nomor panahan, di Olimpiade Seoul 1998.

"Olahraga ini adalah pelatihan untuk karakter, karena kita perlu mencapai kedamaian batin sebelum menembakkan panah," kata Supadmi.

Di Kraton Yogyakarta sekarang ada kegiatan jemparingan yang dilakukan setiap minggu. Dua tahun lalu terbentuk kelompok jemparingan dengan gaya memanah tradisi kerajaan.

"Target kami sekarang adalah generasi muda, dan kami ingin agar tradisi ini jadi sesuatu yang dianggap olahraga keren," kata Agung Sumedi dari grup jemparingan Langenastro, yang mulai melatih anak-anak di bawah 10 tahun.

Jemparingan yang sekarang dilombakan punya sasaran kayu yang dibungkus busa dan kain, membentuk boneka. Panjangnya sekitar 30 cm. Poin terbanyak diraih pemanah jika berhasil mengenai bagian "kepala", yang diberi warna merah. Kalau tepat mengenai sasaran, bel dibunyikan untuk memberi sinyal kepada pemanah, dia berhasil mengenai sasaran.

Indonesien Jemparingan Traditioneller Bogenschießen Wettbewerb
Sasaran panahan gaya Mataraman. Bagian warna merah mendapat poin tertinggi.Foto: Getty Images/AFP/G. Chai Hin

Jemparingan bukan hanya latihan fisik, tetapi juga latihan bagi jiwa. Dalam bentuk yang paling tradisional, busur panah ditarik ke dada, bukan bukan dagu atau mulut seperti dalam gaya modern. Metode tradisional perlu banyak ketenangan dan konsentrasi.

Turnamen akhirnya dimenangkan oleh Supadmi. Dia mendapat piala dan uang tunai Rp. 500.000. Dia juga mendapat bonus seekor ayam hidup, karena tepat mengenai sasraan tiga kali berturut-turut.

"Kita harus menjaga agar tradisi ini hidup terus," kata dia.

hp/rn (afp)