1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perubahan Iklim Zaman Purba

Rüdiger Schacht1 Oktober 2013

Delapan ribu tahun lalu, penghuni kawasan Laut Baltik terpaksa meninggalkan kampung halaman akibat perubahan iklim.

https://p.dw.com/p/19s7G
Foto: picture alliance/WILDLIFE

Memandang jauh ke ufuk Laut Baltik jarang ada yang menyadari bencana yang terjadi pada jaman purba di sini. Delapan ribu tahun lalu, di kawasan ini terdapat banyak pemukiman. Para penghuninya terpaksa meninggalkan kampung halaman seiring naiknya permukaan laut.

Budaya Eropa yang tenggelam

Perubahan iklim yang mengakhiri jaman es terakhir menenggelamkan kebudayaan jaman batu di kawasan Laut Baltik. Para ilmuwan yang bergabung dalam proyek penelitan pesisir yang tenggelam, SINCOS, di dataran Laut Baltik itu menemukan 6000 bukti arkeologi sehubungan kehidupan kelompok pemburu- pengumpul dan kelompok petani.

Temuan itu mengindikasikan banyaknya hunian, dan jumlah manusia yang menetap di kawasan itu jauh lebih banyak ketimbang perkiraan sebelumnya.

Karte Versunkene Siedlungen durch Klimawandel

Proses perubahannya bisa dilihat dekat pulau Poel, di kawasan Laut Baltik Jerman. Para arkeolog yang menyelam menemukan pemukiman-pemukiman yang bisa diurut mundur sesuai dengan tanda-tanda naiknya permukaan air laut.

"Yang kami teliti terutama pengarangan timbunan sampah purba ", jelas arkeolog Sönke Hartz di pusat arkeologi Baltik dan Skandinavia, ZBSA di Schleswig, Jerman Utara. "Selain sisa makanan, dalam timbunan karang itu terdapat perkakas kerja dan rumah tangga mantan penghuninya." Penelitian atas tulang binatang menunjukkan dengan jelas perubahan iklim di masa itu. "Di lapisan-lapisan yang lebih tua, kami menemukan ikan-ikan air tawar, di lapisan-lapisan yang lebih muda terdapat lebih banyak sisa ikan laut, ikan paus dan singa laut“, begitu ungkap Hartz.

Menyesuaikan Kehidupan

Temuan itu juga menunjukkan proses geologis anjloknya kawasan Laut Baltik itu dan pemanasan global yang menyebabkan melelehnya gletser es Skandinavia yang setebal 3 kilometer. Kedua peristiwa itu, anjloknya daratan dan naiknya permukaan air laut sebanyak 100 meter secara global, mendorong mereka yang mampu untuk mengungsi. Banjirnya kawasan buru dan tani pemukim purba itu merupakan salah satu skenario yang dihadapi setengah penduduk dunia saat ini, yang terancam hidupnya.

Bildergalerie Greenpeace-Aktionen
Aktivis menyemprot kulit guna melindungi singa lautFoto: Greenpeace/Pierre Gleizes

“Nenek moyang kita mengalami tahap-tahap perubahan di Laut Baltik", Jelas Ulrich Schmölcke dari ZBSA. Dari temuan proyek, ahli ilmu hewan itu mensketsa bayangannya tentang kehidupan sebuah komunitas purba: "Akhir zaman es sudah ada orang yang bermukim di kawasan ini. Komunitasnya kecil-kecil. Sekitar 20 orang pemburu-pengumpul berkehidupan nomadik, menjelajah di kawasan tundra Skandinavia Selatan."

Manusia di jaman itu menyesuaikan diri dengan alamnya. „Ketika memungkinkan, merekapun meninggalkan kehidupan nomad dan membangun desa-desa kecil dan hidup sebagai pelaut“, tambah arkeolog Sönke Hartz.

Satu Miliar Pengungsi Asia

Dibandingkan dengan sekarang, jumlah pemukiman dan penduduknya di jaman purba jauh lebih sedikit. Peluang bagi manusia purba lebih besar untuk mengungsi ke kawasan yang aman dari banjir.

Kini keadaannya berbeda, sebuah studi bank pembangunan, ADB, dari tahun 2012 meramalkan: dalam sepuluh tahun mendatang sekitar 400 juta penduduk kota-kota terbesar Asia, seperti Jakarta, terancam anjloknya daratan dan naiknya permukaan air laut. Diperkirakan dalam tigapuluh tahun ke depan, sekitar 1,1 miliar penduduk Asia akan mengalami imbasnya. Kota, lahan dan tempat kerja akan lambat laun terbenam di bawah permukaan air laut.

Ini merupakan dimensi bencana yang sangat berbeda dengan kondisi zaman batu di Laut Baltik.